Siapa bilang menikah itu cuma tentang enak dan senangnya saja? Siapa bilang menikah itu solusi tepat untuk sebuah masalah?
Menikah bukan sebuah solusi. Apa pun masalahnya, menikah bukan lah jalan keluar untuk merasa bebas dan aman. Menikah itu butuh kesiapan yang matang. Selain siap mental, harus siap juga secara finansial. Menikah juga bukan ajang uji coba.
Dalam menjalani status pernikahan hingga akhir hayat juga butuh pasangan yang sepadan. Yang paham artinya sebuah komitmen dan tangung jawab. Yang mengerti juga arti prioritas dan kenyamanan keluarganya. Misalnya seperti Nura.
Nura adalah salah satu wanita beruntung karena mendapatkan seorang pria bernama Gusti sebagai pasangannya. Sudah 10 tahun mereka menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Selama itu pula Nura belum pernah merasa sedih akan sikap atau pun sifat suaminya.
Gusti pria yang sangat penyayang meski ia tumbuh bukan dari keluarga harmonis. Belajar dari rumah tangga orangtuanya, Gusti berusaha untuk tidak mengalaminya. Tidak ingin ada pertengkaran apalagi sampai melakukan kekerasan.
Tapi yang namanya kehidupan pasti tidak ada yang sempurna. Bagi Nura, kehidupannya dengan Gusti akan sempurna kalau saja pria itu tidak memiliki sepupu menyebalkan yang suka ikut campur dan perusak suasana.
"Mas," Nura tersenyum menyapa suaminya.
"Belum tidur?"
Suami Nura bertanya sambil melirik anak ke-4 mereka yang masih menyusu. Gelengan kepala yang Nura berikan sebagai jawaban membuatnya tertawa. Ia menutup pintu kamar, lalu mendekati Nura yang setengah berbaring di atas kasur.
"Sini biar main sama Mas aja," tawarnya.
Anak balita di dekapan Nura sontak menoleh pada sang ayah. Ia menggeleng kuat, lalu kembali menyusu dengan lahap. Bahkan satu tangan mungilnya menghalangi payudara Nura dengan posesif.
"Dih, takut banget Papi ambil," ejek Gusti yang membuat balita itu melirik tajam.
Nura tertawa dan membelai rambut anaknya dengan sayang.
"Yang lain masih di luar?"
Gusti mengangguk. Ia merebahkan diri di sebelah Nura. Matanya menatap Nura dengan berbagai perasaan. Bukannya bosan melihat sang istri setiap hari, Gusti malah semakin jatuh hati.
"Habis ini stop produksi dulu ya, Sayang."
Nura mengerutkan kening. "Gak jadi mau saingan sama gen H?"
Gusti meringis. "Gak kuat liat kamu lahiran lagi. Mas yang takut," katanya.
Nura tertawa. "Padahal aku nagih loh hamil lagi."
Kedengarannya memang aneh. Tapi Nura tidak berbohong dengan ucapannya. Ia menyukai masa-masa kehamilan yang dialami selama ini.
"Mas juga nagih liat kamu dengan perut besar begitu. Tambah cantik dan seksi."
Gusti mengulurkan tangan untuk membelai pipi Nura. "Tapi ngeliat kamu kesakitan pas lahiran beneran deh, Sayang, Mas gak kuat. Kalau bisa dibagi, kamu yang lahiran, sakitnya biar Mas yang rasain gak papa."
Nura terbahak. Ia menyisir rambut Gusti, lalu menjepit bibir pria itu.
"Mana bisa," ujarnya gemas.
"Pi ... Pi ...."
Balita yang tengah menikmati ASI itu ikut bersuara di antara percakapan orangtuanya. Ia mengulurkan tangan yang segera disambut Gusti, kemudian mengecupnya dengan gemas.
"Berapa kali minum susu sehari ini, hm? Ini tangan udah kotak-kotak, Dek."
Balita itu menarik tangannya untuk kemudian memukul wajah Gusti dengan kepalan tangan mungil miliknya. Gusti dan Nura tertawa dengan kelakuan gemas anak keempat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...