Matanya menatap sekeliling lorong dengan perasaan campur aduk. Rasanya ini sudah keputusan tepat yang pernah ia buat. Memang bukan kali pertama ia ke sini. Tapi kini tujuannya jelas berbeda dari sebelumnya.
"Ayo, Di, lo pasti bisa."
Berulang kali ia meyakinkan diri agar tidak goyah. Semoga saja kali ini semuanya terungkap dan bisa selesai secepatnya. Ia juga tidak suka jika harus melakukan hal seperti ini. Tapi demi keluarganya, ia harus melakukannya.
Dari jarak 5 meter, ia bisa mendengar suara tawa beberapa orang. Sepertinya dari salah satu ruangan di sebelah kiri lorong. Langkah kakinya kian melambat saat jaraknya dengan suara tawa itu makin dekat.
"Jadi, Pak Alex akan menjadikan Sitha istri siri?"
Suara tawa kembali terdengar. Tapi kali ini hanya dari satu orang saja. Langkah kaki yang tadi masih bergerak mendekat seketika berhenti ketika mendengar suara tawa itu berhenti.
"Tidak. Tentu saja tidak. Saya mencintai istri saya. Ada putri yang harus saya jaga juga. Saya tidak ingin merusak kehidupan putri saya."
"Lalu?"
"Sitha akan saya pindahkan ke luar negeri. Dia bisa hidup tenang di sana dengan bayinya. Lagi pula, saya tidak ingin dia merusak rumah tangga saya. Sitha wanita yang berbahaya. Dia pernah mengancam akan menyakiti Diora jika saya tidak mengikuti permintaannya."
"Benar. Sitha wanita yang terobsesi dengan Bapak. Wanita seperti dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kemauannya."
"Saya harap masalah ini tidak diketahui oleh keluarga saya. Apalagi Diora. Kamu tau sendiri bagaimana dia akan bersikap jika tau tentang Sitha."
"Ba— ...."
"Tapi aku udah tau. Aku dengar semuanya."
Kedua pria yang tengah membahas hal serius itu seketika menoleh dengan terkejut. Ada raut wajah tidak senang yang ditunjukkan oleh orang yang baru saja bicara.
"Papi gak tau aku ini keturunan siapa? Gak ada yang gak aku ketahui," katanya dengan kedua tangan bersilang di dada.
Pria yang ia panggil 'papi' itu menghela napas sambil melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidungnya.
"Duduk," suruhnya.
Pria itu tersenyum tipis saat mendapatkan lirikan bingung dari pria lain yang tengah bersamanya.
"Jadi, apa saja yang sudah kamu ketahui?" tanya pria bernama Alex.
"Sitha yang ke luar negeri dengan bayinya. Sitha yang terobsesi dengan Papi. Mami yang gak tau masalah ini dan—"
"Oke," potong Alex sambil menghela napas panjang.
"Aku gak akan ngasih tau mami asal Papi biarin aku yang beresin soal Sitha itu."
Alex menggeleng. "Dia gak bisa ditangani dengan kekerasan."
"Tenang aja. Aku gak akan pakai kekerasan fisik."
Kening Alex berkerut. "Jangan terlibat—"
"Papi meragukan kemampuanku?"
"Diora, saya dan papi kamu sangat tau bagaimana kamu biasanya mengatasi masalah. Tapi kali ini tidak akan berhasil dengan cara kamu."
Diora menatap pria yang sejak tadi bersama Alex. "Biar saya saja yang bereskan. Kamu tidak perlu turun tangan," lanjut pria itu.
"Benar. Biar Ginda saja yang urus semuanya sampai selesai. Kamu lebih baik fokus pada kerjaanmu. Papi dengar ada tawaran baru untuk film selanjutnya."
"Papi lebih percaya Ginda daripada aku?"
Alex tanpa ragu mengangguk. Hal itu membuat Diora mendengus. Jadi, kecurigaannya sejak minggu lalu hanya sebatas ini? Diora pikir, ia bisa mendapatkan hal yang lebih mengejutkan.
"Oke." Diora menyerah. Ia tidak mau bersikeras untuk masalah Sitha.
"Aku akan syuting tahun depan. Naskahnya perlu perbaikan sedikit sebelum syuting dimulai. Ada beberapa adegan yang ... aku rasa Papi gak akan suka."
Kening Alex sontak mengerut dalam. "No kissing and bed scenes," tegasnya.
Kepala Diora mengangguk paham. "Makanya harus direvisi sedikit. Awalnya mau aku tolak. Tapi kata mami ini tawaran bagus. Kalau semisal tim mereka gak mau revisi, baru aku mundur."
"Tapi mereka mau. Artinya pendapat kamu lebih penting daripada ganti pemain," puji Alex dengan nada bangga.
Diora tersenyum. "Info tambahan. Mami dapat tawaran iklan."
"Papi tau."
"Dari?"
Alex menatap Ginda dan Diora tahu siapa pelakunya.
"Ya udah, aku balik. Tadinya mau mergoki Papi lagi selingkuh atau hal menarik lainnya. Ternyata pembahasan wanita gak jelas kayak Sitha."
"Kamu ini ngomong sembarangan. Kamu kira Papi akan tertarik dengan wanita lain?"
Diora mengdikkan bahu. "Siapa tau puber kedua. Biasanya kan emang dibikin buta. Awas aja kalau Papi macam-macam. Papi gak akan bisa dapetin wanita sempurna seperti mami lagi. Tapi mami bisa dapetin yang lebih kaya dari Papi."
Alex memelototi Diora. "Kamu jangan asal bicara, Diora. Mami kamu itu cuma milik Papi."
Diora mencibir sambil beranjak dari duduknya. Ia hendak berbalik pergi, tapi masih ada yang mengganjal di hatinya. Dengan raut wajah tenang, Diora menatap Ginda, pria kepercayaan Alex.
"Don't you have something to explain to me?"
"Hm, sorry?" Ginda mendongak dengan tatapan bingung.
"Tentang apa?" tanyanya menatap Diora yang kini menghela napas.
Diora rasa Ginda benar-benar melupakan sesuatu yang menurutnya cukup fatal. Tapi mau bagaimana lagi, pria itu terlihat santai saja saat bertemu dengannya. Berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kan?
"Nothing. Never mind."
Diora berlalu dari sana meninggalkan Alex dan Ginda yang kini terbatuk.
"Sepertinya dia tidak melupakan apa pun," kata Alex sambil menyeruput kopi di cangkirnya.
Ginda berdeham. "Saya tidak punya penjelasan apa pun untuk kejadian itu, Pak," ujarnya jujur.
Alex mengangguk menahan senyuman geli. "Kamu tau siapa yang kamu hadapi, kan? Diora bukan gadis yang mudah memaafkan."
Raut wajah pias Ginda membuat Alex menyemburkan tawa. Ia tidak tahu kalau pria muda di depannya ini akan terjebak dalam pesona putrinya.
"Kalau tidak ada yang mau Bapak bahas lagi, saya pamit undur diri."
Alex mengangguk dan mengibaskan tangannya untuk mempersilakan Ginda pergi. Ginda menunduk sopan, kemudian keluar dari ruangan tersebut. Wajah Ginda terlihat tenang ketika di hadapan Alex. Tapi saat pria itu sudah berada di luar, wajahnya menjadi tampak khawatir.
Langkah kaki Ginda terayun dengan lebar. Tangannya merogoh saku jas untuk meraih gawai miliknya. Ia mendial nama seseorang sambil sesekali memperhatikan sekitar lorong.
"Kamu di mana?" tanyanya saat panggilannya terjawab oleh orang di sebrang sana.
"Tunggu di sana."
Ginda semakin melangkah dengan lebar menuju tempat yang orang itu sebutkan. Ia menghela napas lega ketika melihat sebuah mobil terparkir di sebelah mobilnya. Kaki Ginda berlari kecil menuju ke sana.
Ia mengetuk kaca di sebelah kemudi. "Pindah," suruhnya saat kaca tersebut diturunkan sedikit.
"Stop bossing me around, Ginda!"
Ginda menghela napas, kemudian membuka pintu mobil dan mengulurkan tangan.
"I'm sorry, Princess," katanya dengan senyuman manis yang mampu meluluhkan hati lawan bicara.
***
Haiiii, welcome back to here❤️
Jangan lupa vote dan komennya ya sayang ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
عاطفية[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...