A Selection

2.8K 355 10
                                    

Sebagai seorang dokter, dipercaya dalam memberikan pelayan terbaik adalah salah satu tugas penting. Apalagi jika pasien yang ia tangani bisa sembuh dan kembali beraktifitas seperti sedia kala setelah berobat dengannya.

Lalu, bagaimana jika yang sakit bukanlah fisik luarnya? Apakah masih bisa diobati? Apalagi sebagai dokter, ia tahu tidak ada obat untuk penyembuh sakit yang dialaminya saat ini.

Ginela. Dokter spesialis anak. Ia menjadi dokter favorit di rumah sakit Kasih Bunda karena ramah dan juga penyanyang anak-anak. Ia dengan mudah bisa langsung mengakrabkan diri terhadap pasien-pasiennya.

Gine adalah panggilannya sehari-hari. Ia sudah menikah. Suaminya juga seorang dokter dan pemilik rumah sakit tempatnya bekerja. Mereka bertemu 10 tahun lalu saat ia masih menjadi dokter muda di sini.

"Jadi gimana, Bu Dokter?"

Gine tersenyum ramah. Ia menatap anak kecil yang kini duduk berbaring di ranjang pasien. Ia belai pipi anak kecil itu dengan lembut.

"Perkembangannya sangat baik. Anak pinter ya."

Kata-kata pujian tidak pernah luput ia lontarkan untuk pasien-pasien yang ditanganinya.

"Puji Tuhan, Dokter. Saya sempat khawatir karena dia tidur terus belakangan ini."

Gine tersenyum lagi. "Efek obat, Bu. Memang ada obat yang bikin kita ngantuk terus. Makannya tetap dijaga ya, Bu. Jangan dikasih makanan cepat saji dulu."

Ibu pasien mengangguk dan mengucapkan terima kasih atas pemeriksaan yang Gine lakukan. Pasiennya itu melambai sambil tersenyum lebar pada Gine. Gigi-gigi ompongnya membuat Gine merasa gemas.

"Kamu kabari terus perkembangannya ke saya ya," kata Gine pada perawat yang mengikutinya.

"Baik, Dokter."

Gine menuju ruangannya. Jam kerjanya hari ini sudah selesai. Ia cukup merasa lelah karena lumayan banyak pasien yang harus ditangani.

"Halo, Ma?"

"Masih di rumah sakit, Kak?"

"Masih. Tapi mau balik ini. Kenapa? Jeno baik-baik aja, kan?"

Suara mama terdengar lembut di sebrang sana.

"Nanti malam makan di sini ya, Kak. Ajak Arka juga."

"Oke. Nanti malam aku ke sana. Jangan masak banyak-banyak, Ma. Mas Arka masih di Solo."

"Loh? Bukannya udah balik hari ini ya? Mama udah terlanjur beli banyak bahan makanan kesukaan suamimu, Kak."

Gine menghela napas. "Mama kebiasaan. Mas Arka balik besok, Ma, bukan hari ini. Pamela gak ke sana juga?"

"Enggak bisa. Udah ada janji sama Aufa dan Jeno mau dinner di luar."

"Lagian Mama mendadak banget ngasih tau. Kan bisa bikin janji dulu biar semuanya kumpul."

"Ya gimana. Mama tiba-tiba kangen anak-anak Mama."

Gine tertawa geli. "Yaudah, oke. Aku ke sana nanti malam. Tapi ini mau balik dulu. Mau rebahan bentar."

"Iya. Hati-hati di jalan, Kak."

"Iya, Ma."

Usai memutus sambungan telepon, Gine langsung meninggalkan ruangannya. Ia sudah tidak sabar ingin segera merebahkan diri.

"Iya, kan? Makanya gue juga penasaran alasannya. Punya istri secantik dokter Gine aja masih gak cukup ternyata."

Gine mengernyit. Ia mendengar suara-suara beberapa orang tengah berbicara saat sedang menunggu pintu lift terbuka. Gine tidak berani menoleh untuk mencari tahu siapa pemilik suara itu. Ia hanya diam mendengarkan.

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang