─; 27

2.4K 232 29
                                    

.
.
.

Ditengah aktivitas belajarnya di sekolah, Taejun terpaksa harus berhenti sebab ia telah dijemput oleh Jihan. Katanya ada kepentingan mendesak.

"Kenapa aku disuruh pulang cepat, Tante?" Taejun bertanya pada Jihan ketika mereka sudah menaiki taksi.

"Grandpa-mu itu meninggal." jawab Jihan setengah malas.

"Apa?" Taejun sempat terbengong mendengarnya. Rautnya berubah menjadi sedih. "Tante Jihan pasti bohong, kan?"

Jihan berdecak. "Sudah, ah, jangan banyak tanya! Grandpa-mu itu sudah mati, terserah mau percaya atau tidak."

Setelahnya Jihan berdecak lagi kala mendengar Taejun menangis.

•••

Sore ini jasad Baekhyun akan dikebumikan. Petinya mulai ditimbun oleh tanah, samar-samar Jihan menyeringai tipis. Sekarang siapa lagi yang akan memisahkannya dengan Taehyung?

***

flashback,

"Sebelum ke rumah sakit, aku sudah membuat teh hangat untuk Papa." Jihan melirik secangkir teh hangat buatannya diatas meja santai. "Diminum, ya."

Baekhyun melirik secangkir teh itu, kemudian kembali membaca majalahnya. "Tumben?"

Jihan tersenyum. "Mulai sekarang aku akan lebih rajin lagi dan melayani Papa mertua dengan baik."

"Hm, sana pergi. Katanya mau konsul ke dokter."

Jihan mengangguk. "Iya, aku berangkat dulu, ya."

Jihan sudah tidak berada dihadapan Baekhyun lagi, tapi bukan berarti ia benar-benar pergi. Dirinya masih memantau dan memastikan jika orangtua itu meminum teh buatannya.

Jihan sengaja menyajikan teh hangat itu untuk Baekhyun. Tehnya sudah tercampur dengan cairan racun yang mampu menghentikan detak jantung.

Hampir sepuluh menit ia menunggu, namun Baekhyun belum menyentuh cangkir tehnya.

"Sial, lama sekali. Cepat minum teh-nya, bodoh." Jihan menggerutu pelan. Ia was-was, takut Jungkook segera tiba di rumah.

Jihan mengepalkan tangan antusias ketika Baekhyun mulai menyeruput teh-nya. "Iya, bagus, minum, habiskan."

•••

Setelah bosan dengan majalahnya, Baekhyun beranjak untuk pergi ke kamarnya di lantai dua. Namun dipertengahan tangga, Baekhyun merasa napasnya sedikit tercekat.

Tangannya beralih mencengkram dada. "Sshh ... se-sak ..." Ingin berteriak meminta tolong pun ia tak mampu. Suaranya benar-benar tertahan ditenggorokan.

Baekhyun mencoba mengatur napasnya. Apa yang menimpa dirinya saat ini pun ia tak paham, mengapa tiba-tiba rasa sesak ini menyerangnya. Dadanya sakit, napasnya sesak, matanya memburam, pijakannya pun mulai tak beraturan sehingga membuatnya terjatuh dan terguling di anak tangga, kemudian tak sadarkan diri.

Jihan mendekati mertuanya yang sudah tak berdaya itu dengan bersedekap dada. Kakinya sengaja menyentuh lengan Baekhyun dan menendang kecil. "Hei? Masih hidup, kah?"

Tak mendapat respon, Jihan tertawa. "Sudah mati, ya? Bagus lah." Seringaian sinis ia layangkan pada sosok kaku dibawahnya. "Kau sendiri yang membuatku jadi tega seperti ini."

The Truth MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang