Chapter 16: Menikah tak seindah keliatannya

3.9K 275 5
                                    

Setelah dijejali rentetan pertanyaan oleh Awan, kini Amora tiduran seraya memeluk perut lelaki favoritnya erat. Ia mendusel mencari kenyamanan. Tak menghiraukan Awan yang mungkin saja terganggu oleh aksinya.

Posisinya, Amora tidur di paha Awan seraya memeluk perut sang pacar di sofa. Sedangkan Awan, lelaki itu sibuk menghapal berbagai teori serta rumus-rumus untuk olimpiade tiga hari mendatang.

Amora kesal. Meskipun ia tau ini sangat kekanakan. Tapi serius, ia kangen setengah mati dengan kekasih kutu bukunya ini. Seharusnya sekarang menjadi ajang melepas rindu atau apalah itu sebutannya.

Amora mendengus. Lantas menjauhkan wajahnya dari perut Awan. Ia memperbaiki posisi tubuhnya menjadi terlentang. Amora mendongak menatap wajah tampan Awan dari bawah. "Wan, kamu gak capek?"

"Engga," jawab Awan singkat. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari berlembar-lembar kertas di depan.

"Kamu jangan terlalu memforsir tenaga. Inget, ya! Kamu itu butuh istirahat! Otak kamu juga." Amora tau jika Awan sering begadang. Ia tak habis pikir dengan kekasihnya itu. Apa mata Awan tak pusing seharian menatap angka dan huruf. Jika Amora jadi Awan, sudah dipastikan ia tumbang sejam setelahnya.

"Iya, Mora."

"Liat, nih! Bawah mata kamu jadi item gini. Mirip panda." Tangan Amora menyentuh bawah mata Awan yang menghitam.

"Gak papa. Yang penting masih imut, kan?" Awan terkekeh kecil. Merasa geli dengan ucapannya sendiri.

"Bener, sih." Amora mengangguk setuju. "Wan, nikah, yuk, pas udah lulus?"

Awan terdiam mendengar pertanyaan Amora. Ia menjatuhkan pulpen yang dia pegang saking terkejutnya. Awan menunduk. Menatap manik coklat Amora dengan tatapan tak terbaca.

"Kamu tau 'kan nikah itu gak seindah keliatannya?" Awan bertanya lembut.

"Tau."

"Kamu juga pasti tau kalau nikah itu butuh persiapan yang gak mudah." Awan berusaha agar berkata selembut mungkin. Ia tak ingin Amora merasa sakit hati akibat penolakannya. Meskipun Awan sadar beberapa Minggu yang lalu ia berkata kasar tanpa berpikir terlebih dulu.

"Menikah adalah ibadah terpanjang dan terlama. Karena perjalanannya cukup panjang, artinya kita butuh bekal. Entah itu ilmu, mental, finansial dan persiapan diri-"

"Aku udah lebih dari siap, kok. Masalah finansial gak perlu dikhawatirkan, aku siap bantu masalah ekonomi keluarga kita nanti," potong Amora. Ia mendudukkan dirinya dan berhadapan dengan Awan.

"Gini, Amora sayang. Pernikahan itu bukan pencapaian tertinggi dalam hidup, kok. Jadi gak usah terburu-buru buat nikah. Kamu harus nikmati dulu masa mudamu, puas-puasin main, kuliah, kerja, nyenengin orang tua dan diri sendiri, belajar ilmu agama dan parenting. Ya, intinya, kamu puas-puasin dulu masa mudamu."

Awan menghela napas panjang. "Oke, mungkin untuk urusan finansial udah gak perlu dikhawatirkan. Tapi, mental dan emosi kamu udah siap?"

Amora diam. Ia tertampar oleh ucapan Awan. Amora tak pernah berpikir sejauh itu.

Awan yang melihat itu meneruskan ucapannya. "Menikah bukan hanya tentang dua manusia yang saling mencintai, tetapi juga keseriusan dari komitmen di lain hari. Lagi pula, aku belum pantas menjadi suamimu. Aku ingin jadi orang sukses dulu agar layak bersanding denganmu, Amora."

"Kenapa kamu bilang gak pantes?" tanya Amora tak suka.

"Realistis aja, Mor. Kamu terlahir dari keluarga kaya, sedangkan aku lahir di keluarga sederhana. Aku merasa gak pantes kalau belum jadi manusia sukses. Aku gak mau ngajak kamu dalam kesulitan. Aku harap, alasanku bisa kamu terima."

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang