Chapter 39: Eksekusi rencana

3.9K 168 0
                                    

Taman, 24 Agustus
Pukul 17.56

"Tenang, Amora!" bisik Awan lembut. Matanya mengarah ke pepohonan di sisi taman, lalu beralih pada wajah Amora secepat kilat. "Bertindak seperti tak mengetahui apa-apa." Awan usap punggung tangan Amora yang ia genggam. Tak lupa senyuman yang terulas indah. "Dia ngawasin kita dari sekitar lima menit yang lalu, di balik pohon beringin."

Amora hendak menoleh ke pohon yang Awan sebut. Namun, pergerakannya terhenti oleh sepasang tangan yang menangkup wajah. "Jangan liat! Kamu hanya perlu bersiap untuk nanti."

Bersiap? Bersiap untuk apa? Apa gue siap untuk hal buruk yang akan datang? Apa gue bisa? batin Amora skeptis.

"Kamu pasti bisa. Semangat, Amora!" ujar Awan seakan tau apa yang ada dipikiran Amora. Ia mengepalkan kedua tangan dan mengangkatnya ke udara.

Amora mengangguk. Ia menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Berulang kali melakukan itu agar debaran di jantungnya tak berdetak kencang. Setelah degupan itu dirasa cukup normal, Amora menghentikan aksinya dan bernapas seperti biasa.

Ponsel Amora berdering tak lama dari itu. Semua usaha Amora—untuk menormalkan detak jantung—tak berguna. Jantungnya malah berdetak tak karuan, serta bulir keringat yang mulai bercucuran.

"Hal—" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, perkataan Amora dipotong oleh si penelepon. Badan Amora melemas mendengar kabar jika sang ayah ditabrak oleh pengendara tak bertanggung jawab.

Amora langsung berlari tergopoh-gopoh meninggalkan Awan yang masih terduduk di bangku taman. Amora tak peduli jika dirinya jatuh berkali-kali di trotoar hingga lututnya berdarah. Yang ada di kepala Amora saat ini hanya keselamatan sang ayah. Hanya itu.

o0o

Rumah, 24 Agustus
18. 56 WIB

Amora duduk di samping ranjang Gilang seraya menggenggam jemari besar sang ayah. Pikirannya melayang. Mengapa Intan mencelakai papinya? Apa ini yang membuat Intan bahagia? Mengapa bukan dirinya saja yang ditabrak?

Mata Amora tak sengaja menangkap siluet seseorang di belakang pohon palem dari bingkai jendela. Tanpa perlu berpikir pun Amora tau itu adalah Intan. Maka setelah ia menangis dan menyalahkan dirinya sendiri di hadapan Suci, Amora menguatkan hati untuk memulai pertengkaran dengan Awan.

Begitu Awan memanggil namanya, Amora menatap lelaki yang begitu Amora cintai dengan pandangan tajam.

"Semua ini salah sepupu lo, sialan!" Amora berteriak lantang sembari mengacungkan jari telunjuk. "Gara-gara sepupu gila lo, papi gue ditabrak!"

"Ma-maaf, Mor—"

"Alah! Gue gak butuh permintaan maaf lo!" potong Amora. "Ini semua gara-gara lo! Seandainya gue gak ngejar-ngejar lo, Intan sialan itu gak bakal bertindak senekat ini!" Amora meraup oksigen. "Seandainya gue pura-pura gak kenal, dia gak bakalan nyelakain keluarga gue! Seandainya gue gak berusaha ngerubah takdir, ini semua gak bakal terja—"

Berulang kali Amora mengucapkan 'maaf' dalam hati sebelum mengatakan kalimat paling menyakitkan bagi dirinya, pun Awan. Meskipun ucapan itu hanya akting semata, tetap saja rasanya begitu menyesakkan. Apalagi bagi Awan. Amora dapat melihat dengan jelas mata Awan yang berkaca-kaca.

"Mora!"

Amora harus merelakan dirinya dibentak, juga pipi yang mulus jadi sasaran kemarahan sang ibu—yang tak tahu-menahu perihal rencana Amora dan kekasihnya.

Tak tahan melihat Awan yang menyedihkan karena ucapannya, Amora memilih berlari menuju kamar dan menangis sepuasnya di sana.

o0o

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang