Chapter 34: Bertengkar

1.8K 130 3
                                    

Awan terdiam di ambang pintu. Matanya memanas melihat gadis yang begitu ia cintai terpuruk seperti ini. Ia tak tau harus berbuat apa. Menyemangati? Itu sia-sia. Selama hidupnya, Awan tau jika Amora akan menganggap angin lalu ucapan semangat dan motivasi. Katanya, itu tak berguna. Amora lebih suka tindakan, bukan sekadar kata-kata ampas seperti itu.

Beberapa meter di depan, Amora terduduk di samping ranjang. Ia genggam tangan sang ayah dengan perasaan yang tak bisa diutarakan. Rasanya begitu sesak kala melihat sosok pahlawan dalam hidupnya, terbaring lemah di atas kasur dengan luka-luka di seluruh tubuh.

Sedari tadi, Amora tak henti menangis. Berkali-kali ucapkan maaf pada sang ayah yang jelas tak akan dijawab. Amora jadi merasa anak paling durhaka. Ia lebih mementingkan pacar dibanding ayahnya.

Disamping Amora, Suci-sang ibu-mengelus punggung Amora agar gadis itu tenang. "Udah, jangan nangis terus! Papi kamu bakalan marahin Mami kalau tau anak satu-satunya nangis gini. Papi kamu cuma pingsan, bukan mati," ucap Suci lembut diselingi sedikit candaan. Ia berharap Amora sedikit terhibur dan menghentikan tangisnya.

Sayang, harapan Suci hilang begitu saja. Amora malah mengencangkan tangisnya, membuat telinga Suci sedikit berdengung.

"Mi, i-ini sa-salah Mora," adu Amora dengan sesegukkan. Enggak! Ini gak sepenuhnya salah gue. Ta-tapi, gara-gara gak anggap serius ancaman Intan, papi jadi korban kegilaan dia.

Suci menghela napas panjang. Hapal betul dengan sikap anaknya yang kepalang keras kepala. Jika Amora merasa ini salahnya, mau diterangkan sejelas dan sedetail apapun, Amora bakalan kekeuh menganggap ini salahnya.

Meskipun begitu, Suci tetap akan mencoba untuk memberi pengertian. "Sayang ... ini bukan salah kamu. Papi kamu kayak gini karena udah takdirnya—"

"Takdir?" Amora memotong. Lantas tersenyum getir. "Jelas-jelas ini salah Mora." Ia memeluk tubuh ibunya dan menangis kembali.

Di sisi lain, Awan masih diam ditempatnya semula. Tak bergeser barang sejengkal pun. Pandangannya pun masih sama-memandang Amora dengan mata memerah dan berkaca-kaca.

"Lo gak mau nenangin kak Mora?" ucap Mawar yang tiba-tiba ada di belakang Awan. "Lo ngalangin jalan, btw."

Awan terkejut. Terlalu fokus menatap Amora membuatnya tak menyadari kedatangan Mawar. Kontan menatap gadis itu tajam seraya sedikit menyingkir.

"Sorry ngagetin. Gue gak tau kalau lo bakal sekaget itu. Lagian, lo ngapain diem aja? Mending tenangin kak Mora, gih! Siapa tau, pacar lo bisa berhenti nangis." Mawar melenggang masuk setelah mengatakan itu. Ia menyodorkan segelas susu hangat pada Amora seraya berucap dan mengharap harapan yang sama dengan Suci.

Awan menimang ucapan Mawar. Apakah ia harus pergi ke sana? Atau lebih baik diam membatu seperti ini? Awan tau jika dirinya pengecut yang hanya diam dikala sang kekasih terpuruk. Tapi, ada sesuatu yang menyuruhnya agar tak melakukan apa-apa. Sesuatu itu adalah ....

Ketakutan.

Ya, Awan memiliki ketakutan luar biasa yang melarangnya bertindak. Ketakutan akan kemarahan dan kehilangan Amora untuk kesekian kali, kembali timbul mengambil kewarasan. Ketakutan itu mengendalikan otak Awan, membuatnya tak bisa berpikir logis untuk saat ini.

Seain itu, Awan takut akan memperburuk suasana hati Amora dan malah membuat semuanya makin kacau. Bagaimana jika Amora memutuskan dirinya? Bagaimana jika Amora kembali membenci? Kali ini, kepala Awan dipenuhi berbagai pertanyaan; bagaimana jika ini, bagaimana jika itu, dan bagaimana jika lainnya.

Setelah perdebatan yang cukup panjang-antara hati dan pikiran, Awan memutuskan. "Apa yang Mawar bilang benar. Siapa tau, Mora bisa berhenti menangis." Awan hanya tak mau Amora jatuh sakit karena terus-terusan menangis.

"Ayo, Awan! Gak bakal terjadi hal buruk, kok. Tenang aja," gumam Awan menyemangati dirinya.

Dengan langkah ragu Awan mendekati Amora. Ia berdiri di samping Suci, lantas melirik calon mertuanya itu.

Seakan paham, Suci melepaskan pelukan Amora yang masih menangis sesenggukan. Awan tersenyum takzim yang dibalas anggukan Suci. Wanita dengan daster merah jambu itu mundur memberi ruang pada dua anak Adam untuk berbincang.

"Mora," lirih Awan. Tangannya hendak memegang bahu Amora yang langsung ditepis sang empu. "Kenapa?" lanjutnya tak kalah lirih.

Amora menatap Awan teramat tajam bak memandang musuh. Tangannya terangkat memberi kode agar Awan tak lagi bertanya. Ia berdiri hingga kursi yang diduduki terdorong dan menghasilkan derit lumayan kencang.

"Semua ini salah sepupu lo, sialan!" Amora berteriak lantang sembari mengacungkan jari telunjuk. "Gara-gara sepupu gila lo, papi gue ditabrak!"

Badan Awan menegang mendengar teriakkan Amora. Terlebih saat mendengar panggilan Amora yang biasanya aku-kamu terganti dengan lo-gue. Awan yakin jika Amora benar-benar murka saat ini.

Awan menunduk, tak berani menatap mata Amora yang melayangkan tatapan benci. Dadanya terasa sesak menyadari tatapan penuh puja tergantikan oleh rasa benci dan amarah. Dengan tergagap Awan menjawab, "Ma-maaf, Mor—"

"Alah! Gue gak butuh permintaan maaf lo!" potong Amora. "Ini semua gara-gara lo!" Amora menyesali keputusan untuk kembali menjalin kasih dengan Awan di kehidupan kali ini. Sebab, semua permasalahan rumit berakar pada Awan. Entah di kehidupan kali ini, maupun di masa lalu. Awan benar-benar pembawa bencana bagi hidupnya.

"Seandainya gue gak ngejar-ngejar lo, Intan sialan itu gak bakal bertindak senekat ini!" Amora meraup oksigen. "Seandainya gue pura-pura gak kenal, dia gak bakalan nyelakain keluarga gue! Seandainya gue gak berusaha ngerubah takdir, ini semua gak bakal terja—"

"Mora!" bentak Suci yang sedari tadi diam menonton. Awan semakin menunduk. Sedangkan Amora menoleh dengan tampang terkejut.

"Mami ... bentak Mora?" tanyanya tak percaya. Seumur hidup, Amora tak pernah dibentak sekali pun oleh Suci maupun Gilang. Jangankan dibentak, Amora bahkan tak pernah mendengar suara tinggi dari Suci. Ibunya itu selalu mempertahankan nada suaranya agar selalu lembut.

Tanpa sadar air mata kembali menetes. Matanya bergetar-menatap Suci takut-takut.

Suci menghela napas panjang. Ia memijat pangkal hidung guna meredam emosi. Setelah sedikit tenang, Suci berujar, "Mami gak bermaksud buat bentak kamu. Mami cuma gak suka sama ucapan kamu."

"Kenapa? Semua yang Mora ucapin bener! Dia pembawa si—"

"Mora!" Lagi-lagi Suci kelepasan membentak putri semata wayangnya itu. "Mami gak pernah ngajarin kamu buat bicara kasar!"

Amora tersenyum getir. "Bukannya, Mami, gak pernah ajarin Mora itu? Mami terlalu sibuk sama dunia sendiri, sampai-sampai Mami lupa kalau punya anak lucu yang selalu nunggu kepulangan Maminya di depan gerbang."

"Perkataan Mora juga bener. Dia pembawa sial. Liat aja! Mami yang gak pernah bentak Mora, sekarang malah ngebentak. Sebenarnya, anak Mami siapa, sih? Mora atau dia?" lanjutnya.

"Mor—"

Amora kembali memotong ucapan Awan. Tak memberikan kesempatan untuk pemuda itu berbicara. "Bahkan, ayahnya pun bilang kalau dia pembawa sial, pembawa bencana."

"Selamat, Awan! Lo berhasil ngambil simpati Mami dan bikin Mami bentak gue! Selamat juga udah buat papi kecelakaan! Besok-besok, apa yang bakal lo buat, hm? Bikin gue matikah?" sarkas Amora seraya bertepuk tangan.

____________________________________________
20 September

Yuhuuuuu! Konflik, konflik, konflik! Udah puncak konflik, nih. Itu artinya apa?

Yup! Betul! Bentar lagi ending, mwehehe. Gak kerasa udah dibagian ini aja. Semoga kalian masih betah buat baca. Makasih buat yang bertahan baca sampai sini. Sayang banyak-banyak buat kalian 💜

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang