Chapter 25: Penjelasan

1.3K 147 2
                                    

Kini, Amora berada di florist tempat Erik bekerja dengan Awan yang terus menggenggam tangan gadis itu. Setelah cerita singkat Erik di depan pos satpam setengah jam yang lalu, Amora meminta lelaki itu untuk menceritakan semuanya lebih detail.

Erik mengiyakan permintaan Amora. Lelaki jangkung itu sudah membuka mulut hendak menceritakan semua. Sayangnya, Awan mendahului. Pemuda tampan itu bilang untuk mencari tempat nyaman untuk bercerita. Ia tak ingin Amora merasa pegal dan tak nyaman karena polusi dari kendaraan terus terhirup oleh paru-paru.

Erik tersadar. Lelaki itu mengajak Amora dan Awan untuk 'mengobrol' di florist. Selain tempatnya yang nyaman, di sana juga Erik bisa sekalian menyambut dan membantu pelanggan.

Saat akan melajukan motor, lelaki berwajah manis datang berlari dengan senyuman lebar andalannya. Ia bertanya perihal keberadaan Erik dan merengek ikut sepupunya itu.

Tanpa keberatan sedikit pun Amora dan Erik menyetujui keinginan Bobby. Untuk Awan, lelaki itu tampak tak suka dengan keberadaan Bobby. Bahkan, sedari pemuda manis itu datang, Awan tak sedikit pun mengalihkan tatapan tajamnya dari Bobby.

"Bisa lo alihkan pandangan ke arah lain? Gue risih," ungkap Bobby. Berada di dekat Awan membuatnya merasa menjadi buronan. Tatapan Awan begitu tajam. Pun, aura yang dikeluarkan begitu mengintimidasi. "Gue gak bakal rebut pacar lo itu, kok." Bobby mengusap tengkuknya yang terasa dingin.

"Awan, kamu kenapa?" tanya Amora begitu menyadari tangannya digenggam semakin erat. Ia elus punggung tangan Awan agar lelaki itu tenang. Ia menatap Awan seraya mengerjap beberapa kali.

"Engga." Awan balik memandang Amora. Ia balas mengusap punggung tangan gadisnya seraya tersenyum manis.

Tentu saja kegiatan itu mampu membuat Bobby menghela napas lega. Akhirnya ia bisa terbebas dari tatapan tak mengenakan lelaki di depannya ini.

Erik datang sembari membawa empat gelas jus strawberry beralas nampan stainless. Menyimpan jus di meja dan mendudukkan bokong di samping Bobby.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi, Kak?" tanya Amora. Ia menerima sodoran jus dari Awan, kemudian memasukkan sedotan ke mulut dan menyedotnya hingga tandas.

Amora membatin lega. Akhirnya, rasa haus yang menyiksa sedari tadi lenyap juga. Ngomong-ngomong, Amora merasa belum cukup puas. Maka dari itu, ia memandang jus milik Awan dengan tatapan intens.

Beruntunglah Awan peka. "Nih, minum!"

"Boleh?" tanya Amora memastikan.

"Boleh." Awan tak terlalu menyukai makanan atau minuman berperisa stroberi. Menurutnya, rasa buah itu agak aneh serta tak cocok untuk lidahnya. Oleh sebab itu, Awan memberikan jatah minumnya untuk ditenggak habis Amora.

Awan mengelus lembut rambut gadisnya. Setelahnya, menegakkan badan seraya menanti cerita lebih jelas dari Erik.

Erik mendelik iri melihat interaksi manis itu. Erik teramat yakin jika ada pelanggan di sini, mereka pasti akan merasakan perasaan yang sama dengan pemuda itu.

Jika diingat, dulu saat dirinya berpacaran dengan Intan, tak pernah sekali pun berinteraksi semanis itu. Gadis itu memang manja. Namun, manjanya berbeda. Ah, Erik tak bisa menjelaskan itu secara jelas.

"Akhir-akhir ini, ibu sering ngeluh kalau perutnya sakit. Terutama di bagian kanan bawah perut. Serasa di tusuk-tusuk kalau kata ibu. Ibu juga sering muntah, diare, dan gak nafsu makan. Selain itu, ibu juga demam sama perut yang agak membengkak. Karena khawatir, saya bawa ibu ke Rumah Sakit. Dokter bilang, ibu kena Appendix vermiformis—"

"Hah?" Amora agak menjauh dari Awan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Kentara sekali jika rasa keingintahuannya tengah membumbung tinggi. "Namanya aneh. Penyebab penyakit itu apa?"

"Kamu gak tau penyakit itu?" tanya Awan heran. Ia yang melihat Amora menggeleng polos tertawa kecil. Wajah Amora yang kebingungan tampak lucu. Sangat amat lucu. "Appendix vermiformis itu nama lain dari usus buntu."

Amora ber-oh ria. Ia alihkan pandang. Menatap Erik lekat-lekat yang tampak tengah menggali ingatan. Erik memiringkan kepala sedikit, lalu menjawab pelan, "Adanya penyumbatan yang terjadi di lapisan usus buntu sehingga bakteri dapat berkembang biak dengan cepat yang akhirnya menyebabkan apendiks menjadi meradang, bengkak, dan penuh nanah. Penyakit usus buntu terjadi akibat infeksi di rongga usus buntu. Akibatnya, bakteri berkembang dengan cepat sehingga membuat usus buntu meradang, bengkak, dan bernanah—"

"Stop! Stop! Stop! Kenapa pembahasannya jadi meleber ke mana-mana? Sumpah, gue gak paham sama yang kalian bahas." Bobby tampak terengah setelah mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. Bobby lelah hanya diam menyimak apa yang kakak sepupunya bicarakan. Dia tampak bodoh jika pembahasannya terus membahas penyakit atau apalah itu.

"Maaf." Erik menghembuskan napas panjang. "Seperti yang saya bilang, Intan 'mengambil' uang tabungan bersama yang saya siapkan untuk pernikahan nan—"

"Lo bodoh, Bang! Sumpah! Bodoh banget! Lebih bodoh di banding gue!" Lagi-lagi Bobby memotong perkataan Erik. Ia tak habis pikir dengan pemikiran sepupunya. Bagaimana bisa Erik membuat tabungan milik bersama dengan pacarnya? Bukan itu yang jadi masalahnya, hanya saja—entahlah, Bobby tak bisa berkata-kata lagi.

"Bisa-bisanya percaya sama cewek yang belum tentu bisa lo nikahi. Pikirlah, Bang! Dia masih SMA. Gak mungkin lo bisa nikahin dia dalam waktu dekat. Gue tebak, pasti tabungan itu isinya uang lo semua? Si Intan-Intan itu gak pernah isi tabungan itu, kan?"

Tanpa Erik jawab pun, Bobby pasti sudah tau. Pertanyaan yang Bobby tanyakan itu tak butuh jawaban. Erik tau itu. Rasa-rasanya Erik ingin menendang Intan ke luar angkasa. Erik lelah menangisi nasib sialnya.

Bayangkan saja, uang hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun raib dalam waktu kurang dari satu hari. Nominal pun sungguh luar biasa bagi Erik. Terlebih, sekarang ia butuh uang itu untuk biaya operasi sang ibu tercinta. Erik tak memiliki pegangan sedikit pun—hal itu pula yang membuatnya stres berat. Sialan sekali mantan kekasihnya itu.

Awan yang sedari tadi menyimak akhirnya angkat bicara, "Dia sedari kecil punya kecenderungan untuk mencuri barang-barang kecil—semisal gula, garam, cemilan—dan bahagia melihat orang lain menderita."

"Tunggu!" Amora berdiri dan berseru heboh," Gue pernah baca satu artikel yang bahas tentang klep ... klep ...." Ucapan Amora terhenti, ia mencoba mengingat istilah yang ada pada artikel. "Klep-to-ma-ni-a. Nah, itu. Nama kerennya kleptomania."

"Kleptomania? Gangguan mental yang membuat penderitanya tak bisa menahan diri untuk mencuri?" sahut Erik tak percaya. "Tapi, selama berpacaran dengan saya, saya tak pernah melihat dia mencuri apa pun—selain yang sekarang, tentunya."

Amora tak menanggapi ucapan Erik. "Senang melihat orang lain menderita," gumamnya seraya mengingat sesuatu. "Yang nama kerennya 'schadenfreude' itu bukan?"

"Ya. Em, mungkin," jawab Awan sangsi. Pasalnya, ia tak yakin apa yang diderita Intan adalah emosi itu atau penyakit yang lain.

"Tapi, bukannya schadenfreude itu normal?" tanya Erik begitu paham.

"Memang normal. Hanya saja, Intan lebih parah dan lebih ekstrim. Dia sengaja membuat orang di sekitarnya menderita. Aku tak tau penyebutan yang sesuai atau nama penyakit yang tepat apa." Awan mengedikkan bahu acuh. "Dia tak ingin dibawa ke psikiater. Jadi, kami tak tau apa yang sebenarnya dia idap."

"Intinya dia gila," celetuk Bobby ringan. Sejujurnya, otak di kepalanya tak paham apa yang tengah mereka bahas. Terlebih nama penyakit itu susah diucapkan oleh lidahnya yang terkesan kampungan. Tapi, ada satu hal yang dapat Bobby tangkap; Intan gila.

____________________________________________
29 Agustus 2022

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang