Chapter 18: Hal menyebalkan

2.5K 202 6
                                    

Jika ditanya apa cita-cita yang Amora inginkan, maka dengan lantang menjawab ingin menjadi seorang model. Amora ingin seperti sang ibu yang kehidupannya disorot kamera dan dipuja banyak orang serta bebas mengekspresikan diri.

Cita-cita itu tak pernah berubah. Dari kecil hingga dewasa. Amora berjuang sekuat tenaga untuk mencapai cita-citanya. Tapi mengapa? Di saat sedikit lagi impiannya akan terwujud, Amora malah mati dibunuh oleh wanita yang wajahnya saja tak Amora ingat.

Amora sudah lupa kapan terakhir kali menyebutkan keinginan atau pun tujuan hidupnya di kehidupan ini. Mungkin tak pernah sekali pun? Padahal, dulu dia sering mengatakan itu dengan bangga dalam setiap perbincangan.

Jika dipikir-pikir, di kehidupan saat ini Amora tak memiliki tujuan apa pun. Itu sebabnya Amora merasa kehidupan terasa monoton. Sangat berbeda dengan kehidupannya dulu yang penuh lika-liku.

Maka dari itu, sekarang Amora duduk di meja belajar seraya mencatat list keinginan, impian serta tujuan hidup. Ia sudah memikirkan ini secara matang. Amora memiliki beberapa tujuan, satu di antaranya  ia akan mendedikasikan waktu untuk mencari dalang di balik kematiannya. Ke dua, Amora ingin hidup bersama Awan sampai maut memisahkan. Dan, ke tiga, Amora ingin merubah kehidupan agar tak berantakan seperti dulu.

Cukup simpel, tapi tetap saja sulit. Terlebih, Amora sudah melupakan banyak ingatan saat duduk di bangku SMA. Satu-satunya yang Amora ingat hanya kebucinan Awan padanya.

"Sayang! Ada Awan, nih!"

Teriakkan sang ibu membuyarkan lamunan Amora. Ia berdiri seraya membereskan kertas binder yang berhambur di meja. Ia simpan kertas-kertas itu dalam laci, lalu menyambar ransel biru serta jepitan berhias mutiara. Setelah mengunci kamar, Amora berlalu ke lantai bawah.

Suara langkah kaki mengalihkan perhatian Awan. Lelaki itu mendongak, tak lama senyuman manis terbit. Awan mundur beberapa langkah saat Amora berlari dan melompat ke dalam pelukan.

"Kangen."

"Aku tau," jawab Awan. Tangannya membalas pelukan Amora.

Amora mendongak. "Kamu gak kangen?"

"Kangen banget malah." Awan semakin mengeratkan pelukannya. Lelaki itu beberapa kali mencuri cium pada puncak kepala Amora. Hidungnya menghirup rakus aroma lavender yang menguar dari tubuh Amora. Begitu candu juga menenangkan.

"Ekhem." Gilang berdehem seraya memandang Awan tajam. Ditariknya Amora agar terlepas dari pelukan Awan dan masuk ke dalam dekapannya. "Udahan pelukannya. Anak saya butuh sarapan bukan pelukan."

"Papi," protes Amora. Sedangkan Awan tersenyum kikuk seraya mengelus tengkuk yang tak gatal.

"Apa?!" jawabnya ketus. "Kamu bisa pelukan lagi nanti. Sekarang sarapan dulu!"

"Papi, anaknya jangan digituin, dong! Kasian, Mora! Liat tuh mukanya merah." Suci datang sembari membawa puding coklat dan menyimpannya di meja makan.

"Iya, tuh. Kayak yang gak pernah muda aja," kesal Amora. Ia berusaha agar terlepas dari pelukan Gilang. Sayangnya, tenaga Gilang lebih besar. "Papi! Lepas, ih! Ini sesek!"

Gilang melepaskan pelukan Amora setelah mendengar perintah anaknya. Memperbaiki posisi duduk, lalu memandang Amora dengan tampang sedih. "Papi gak nyangka anak Papi udah besar. Padahal baru kemaren Papi gendong kamu."

"Papi lebay." Amora memutar bola mata bosan. Mengapa ayahnya ini berlebihan sekali? Pakai acara hapus air mata segala. Padahal, tak ada air mata yang menetes sedikit pun.

o0o

"Awan!"

Teriakkan seseorang menghentikan langkah Awan serta Amora. Dengan serempak berbalik badan dan mencari sumber suara. Wajah Awan tertekuk begitu saja kala mendapati Intan berlari ke arahnya. Sedangkan Amora menampilkan senyuman sinis.

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang