Chapter 8: Jadian?

7.2K 450 17
                                    

Happy reading and enjoy, guys!

Awan tak tau isi hatinya sendiri. Bahkan, ia tak tau mengapa dirinya sangat membenci Amora. Padahal, sudah sangat jelas mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Aneh memang.

Awan tak bisa mengontrol ucapannya saat berhadapan dengan Amora. Dia selalu mengeluarkan kata-kata tajam nan pedas yang tak pantas dilontarkan.

Awan selalu merasa dirinya lelaki yang aneh. Di suatu waktu Awan bisa berlaku kasar, tapi dilain waktu bisa berkebalikan dari itu. Awan seakan memiliki kepribadian ganda dalam dirinya.

Pemuda itu memang tak menyukai Amora. Tapi, di sudut hatinya ada sesuatu yang Awan sendiri tak tau. Seakan ada kekosongan. Seakan ada yang hilang. Dan, begitu bertemu dengan gadis super berisik bernama Amora, bagian yang hilang itu seketika terisi.

Awan akui jika dirinya plin-plan. Ia mendorong Amora menjauh. Namun, dia juga memberi harapan pada Amora agar gadis itu tak menyerah.

Ada satu pertanyaan yang Awan hindari, pertanyaan itu yang selalu Amora tanyakan perihal isi hatinya. Seperti saat ini, Awan tak tau harus menjawab apa. Ia hanya mampu untuk menunduk guna merenungkan jawabannya.

"Jawab, Wan! Lo bisa maki gue lagi, kok!"

Berhenti! Awan tak kuasa mendengar nada keputusasaan dalam pertanyaan Amora. Hatinya berdenyut nyeri. Padahal, jelas Awan tak memiliki perasaan apa pun pada Amora. Hal ini membuatnya semakin bingung.

"Ini pertanyaan terakhir, apa perjuangan gue selama ini belum cukup untuk memperlihatkan rasa cinta gue?"

Kalau boleh jujur, perjuangan Amora sudah sangat cukup. Bahkan, bila yang Amora kejar adalah lelaki lain, bisa Awan pastikan lelaki itu akan luluh dengan mudahnya.

Tapi ini Awan. Lelaki yang entah bagaimana bisa begitu membenci Amora. Awan benci melihat perjuangan Amora untuk meluluhkan hatinya. Karena ... apa yang Awan lihat sungguh berbeda.

"Rasa cinta kamu gak tulus, Mora." Hanya itu yang Awan lontarkan setelah sekian lama diam. "Kamu ngejar aku karena rasa obsesi. Aku gak tau apa penyebabnya, tapi perkiraanku, ada suatu hal di masa lalu yang hanya kamu tau."

"Dan, aku benci mengetahui hal itu. Aku pikir rasa cinta kamu emang tulus, tapi nyatanya engga. Jadi, aku mohon untuk berhenti," lanjut Awan.

Dapat di lihat jika Amora tak menyukai jawaban Awan. Amora berdiri, lantas menyugar rambutnya ke belakang. "Wan, rasa cinta gue itu tulus! Bener-bener tulus, Awan!"

Awan ikut berdiri. Menghadap Amora seraya menatap tepat pada manik coklatnya. "Kamu terobsesi, Mora!"

"Mau lo anggap terobsesi atau apa, gue gak peduli! Yang pasti, gue bener-bener cinta." Amora berlalu melewati Awan. Namun, baru beberapa langkah tangannya di tarik dengan kuat. Amora jatuh terduduk di pangkuan Awan.

"Mau tau alasan kenapa aku benci kamu?" Awan menampilkan seringai. Tangannya terulur guna mengelus pipi chubby Amora. "Aku sering mimpi mati karena kamu."

Bohong! Yang Awan katakan hanya kebohongan belaka. Nyatanya, lelaki itu sering bermimpi jika Amora yang mati karena ulah Awan. Lelaki itu hanya ingin tau reaksi Amora. Dan, seperti yang Awan duga. Gadis itu tampak terkejut atas pernyataannya.

"Sesuai apa yang aku duga, reaksi kamu pasti akan kayak gini. Pasti ada hal di masa lalu yang ngebuat kamu tergila-gila sama aku."

"Wan—"

"Syut! Aku belum beres. Aku tau apa rencana kamu. Setelah kamu nanya perihal isi hati aku, kamu bakalan menyerah kalau jawabannya gak sesuai sama keinginan kamu? Setelah kamu berantakin kehidupanku, dengan mudahnya kamu nyerah? No! Aku gak ijinin itu. Aku udah terbiasa dengan kebisingan kamu."

Awan menyampirkan rambut Amora pada belakang telinganya. "Kamu suka boneka?"

Meskipun bingung dengan pertanyaan Awan, Amora tetap menjawab. Ia menganggukkan kepalanya pelan.

"Aku juga suka boneka," Awan menjeda ucapannya, "apalagi kalau kamu yang jadi bonekaku." Awan tersenyum amat manis setelah mengatakan itu.

"H–hah?" Amora semakin tak paham dengan perkataan Awan. Lelaki itu tampak terkekeh kecil. Amora sempat terpesona karena ketampanan Awan yang bertambah berkali-kali lipat.

Tangan Awan terulur untuk mencapit ke dua pipi Amora. "Kamu jadi bonekaku. Aku bakal atur semuanya buat kamu. Ingat, semuanya! Dan, aku akan kasih kamu waktu satu bulan untuk membuatku jatuh cinta. Bagaimana?"

"Penawaran yang menarik," ujar Amora dengan bibir yang bergerak lucu. Tangan Awan masih ada di pipi dan menekan pipi Amora ke dalam. Hingga menyebabkan bibir Amora mengerucut. "Tapi gue gak suka di atur. Gue sukanya ngatur. Gimana dong?"

Amora memegang tangan Awan. "Tapi, demi Awan ... gue rela di atur semuanya."

Awan melebarkan senyuman yang terkesan menakutkan. "Oke! Kalau kamu gagal, kamu harus pergi sejauh-jauhnya dari kehidupanku—"

"Dan kalau gue berhasil, lo gak boleh pergi dari kehidupan gue," potong Amora.

"Deal!"  Awan memainkan rambut Amora. Dari jarak sedekat ini, Awan bisa mendengar dengan jelas degupan jantung Amora. Ia tersenyum simpul. Pilihannya untuk membatalkan rencana plan B tampaknya tepat. Dia tak sabar menjalankan rencana yang lain.

"Sedikit informasi, aku gak suka milikku disentuh oleh siapa pun. Termasuk kamu. Karena kamu bonekaku. Jadi, aku harap kamu gak kegatelan sama lelaki lain. Jika itu terjadi, aku gak segan buat hukum kamu, Sayang."

Wow, apa tadi Awan baru mengatur Amora? Amora merasa senang. Ah, ya, mengapa senyuman Awan tampak menakutkan? Senyuman itu mirip dengan seringai khas psikopat yang mendapat mangsa. Amora tak menyangka Awan akan segila ini. Tapi tampaknya, Awan lupa jika Amora bisa lebih gila dari Awan.

"Gak adil kalau cuma gue yang jadi milik lo. Lo juga harus jadi milik gue, Awan. Gue gak suka kepunyaan gue di pegang sama orang lain. Dan, yah. Gue benci sama lelaki murahan. Jadi, gue harap lo gak caper ke cewek mana pun."

"Aku bukan lelaki seperti it—"

"Dan gue bukan tipe cewek kegatelan," potong Amora. Ia berdiri dari pangkuan Awan. Merapikan pakaiannya yang kusut. Kemudian, mendudukkan diri di kursi samping. "Ngerjain makalahnya kapan, Wan?"

"Sekarang. Tunggu bentar! Aku bawa laptop sama buku paketnya." Setelah mengatakan itu, Awan berlalu masuk ke rumahnya. Tak berapa lama, Awan keluar dengan barang yang dia sebutkan tadi.

"Gak papa ngerjainnya di teras? Di rumah gak ada siapa-siapa, takutnya para tetangga ngegosip yang engga-engga," tanya Awan dengan pandangan yang fokus pada layar.

"Gak papa." Amora membuka halaman demi halaman buku paket bahasa Indonesia. Lalu mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu pada kolom pencarian. Amora membaca satu per satu artikel guna membantu Awan untuk mengumpulkan informasi.

"Btw, gak ada minum atau camilan, nih, Wan? Pacarmu yang imut ini kelaparan," celetuk Amora memecah keheningan. Pacarnya ini sungguh tak peka. Mengapa tak ada inisiatif untuk memberikan cemilan atau minuman?

Suara perut Amora terdengar setelahnya. Wajah Amora memerah. Ia malu. Sungguh. "Dasar perut sialan! Gak bisa diajak kompromi! Dasar! Gue malu anjir!" maki Amora dalam hati.

"Bentar. Aku ambil dulu."

____________________________________________
18 Juli 2022

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang