Amora menaiki satu persatu anak tangga menuju roof top cafe milik sang ayah. Amora mendongak menatap puluhan anak tangga di depan sana. "Kenapa tangganya banyak banget?" gerutu Amora dengan napas ngos-ngosan. Ia mengusap keringat yang bercucuran di sekitaran dahi.
"Perasaan, dulu gak sebanyak ini." Amora kembali melanjutkan langkahnya. "Ini mah kayak bukan mau naik ke lantai lima, tapi dua puluh. Ya, coba aja pikirin, masa dari tadi gak nyampe-nyampe?" gerutu Amora sembari memegangi pinggangnya yang lumayan pegal. Dasar remaja jompo.
Meskipun tak henti menggerutu, Amora tetap melangkahkan kedua kaki. Hingga pada akhirnya, semua perjuangan Amora terbayar sudah kala pintu roof top tampak dengan begitu jelas di depan mata.
Tangan Amora menarik pintu besi. Seketika itu pula tiupan angin kencang menyambut menerbangkan tiap helai rambut sebahunya.
Amora merogoh saku celana mengambil ikat rambut bermotif bunga-bunga, lalu mengikat rambut sebahunya.
Pandangan Amora langsung disuguhi gemerlap lampu-lampu kota yang sedap dipandang. Di ujung rooftop terdapat satu meja bundar putih beserta vas kaca serta dua tangkai mawar di atasnya. Tak lupa lampu hias berbentuk persegi dengan cahaya remang juga dua buah kursi jati di sisi kanan serta kiri.
Dari depan pintu sampai meja putih tersebut terdapat karpet merah beserta lampu lilin di setiap sisinya. Lampu-lampu kecil dengan pencahayaan temaram ditempel dengan pola tertentu hingga menambah kesan romantis.
Di ujung roof top bagian barat terdapat tenda putih minimalis dengan beberapa alat musik—biola, gitar, piano—yang tersimpan apik di dalamnya.
Amora menarik napas panjang seraya menguatkan hati. Ini pertama kalinya Amora menginjakkan kaki di roof top cafe setelah kembali ke masa lalu. "Masih sama seperti dulu," gumam Amora seraya berjalan di atas karpet merah menuju meja bundar. Amora menatap meja serta kursi itu dengan mata memerah.
"Banyak kenangan indah gue sama Awan di sini," lirih Amora sembari berjalan memutari meja, lalu memegang pagar pembatas. Setelahnya, Amora mencondongkan tubuh dengan mata memandang ke bawah. Amora ingat di tempat ini Awan menjatuhkan diri hingga nyawanya melayang.
"Dan kenangan buruk," lanjutnya. Ingatannya dipaksa memutar memori dulu kala, ketika ia dan Awan bertemu untuk pertama kalinya di sini—sebagai anak atasan dan pegawai biasa. Ketika Amora jadi lebih sering datang berkunjung ke cafe untuk sekadar mengobrol dan mendengar suara merdu dari lelaki ramah itu. Serta ketika Awan dengan rona merah di kedua pipinya sewaktu mengutarakan perasaan pada Amora.
"Semangat, Mora! Lo pasti bisa move-on dari Awan!" monolog Amora dengan kedua tangan yang dikepalkan dan diangkat ke atas.
Sejujurnya, memutuskan hubungan dengan Awan tak semudah apa yang dibayangkan. Memang benar dia membenci Awan—sangat—tapi tetap saja melupakan semua kenangan yang sudah mereka lalui bersama sangatlah susah.
Telinga Amora menangkap suara langkah kaki yang kian mendekat. Jantungnya berdetak kencang seketika. Amora sangat ingat jika tadi ia sudah mengunci pintu dan meminta pada karyawan agar tidak mengijinkan siapa pun ke sini. Jadi, siapa dia? Tak mungkin ayahnya atau karyawan.
Insting Amora mengatakan jika ada sesuatu yang tak beres. Namun, ia tetap berusaha terlihat santai seakan tak mengetahui apa-apa. Meskipun pegangan pada pagar pembatas kian menguat.
"Hai, Amora!"
Suaranya terdengar halus dan menakutkan secara bersamaan. Amora terdiam dengan wajah mengetat. Situasi ini benar-benar mengingatkan Amora pada keadaan sebelum seseorang menusuk perutnya.
Jika mengandalkan ingatan itu—yang masih samar-samar teringat, Amora tak boleh membalikkan badan! Tak boleh! Maka, yang Amora lakukan—setelah mendengar sapaan dari saudara malaikat pencabut nyawa itu—adalah menggeser badan ke samping kanan dengan gerakan kilat.
Suara dentingan benda logam dengan pagar besi merambat cepat ke telinga. Amora memandang gadis berjaket hitam dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya tajam. Napasnya terdengar tak beraturan kini.
Si gadis menggeram kesal, lantas menoleh seraya menyeringai lebar. Amora ingat, seringaian itu dia tunjukkan sesaat sebelum mendorong tubuh Amora ke balik pagar pembatas. "Bagaimana ... terkejut?" tanyanya disertai kekehan ringan.
Amora merasa deja vu. Benar-benar mirip dengan kejadian waktu itu. Hanya saja, mengapa harus sekarang? Bukannya delapan tahun lagi? Apa ini ada kaitannya dengan beberapa peristiwa yang Amora ubah? Mengapa semuanya bertambah rumit?
Amora hanya mampu bergumam tak jelas menjawab pertanyaan si gadis. Pegangan pada pagar pembatas semakin mengerat. Tubuhnya bergetar dan tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya.
"Si–siapa?" tanya Amora pada akhirnya. Amora Kira, jika ia berhadapan dengan si gadis lagi, ia akan jauh lebih siap. Nyatanya, rasanya masih sama. Begitu menegangkan dan menakutkan.
Si gadis memiringkan kepala—masih dengan seringaian yang terlihat begitu menakutkan. Lantas membuka tudung jaket perlahan bak sengaja di-slow motion. Tangan si gadis tergerak guna menghalau rambut yang menghalangi setengah dari wajahnya.
Seketika itu, mata Amora melotot kaget. Satu persatu ingatan berdatangan secara acak dengan warna hitam-putih layaknya film di era tujuh puluhan. Ingatan itu berputar-putar di kepala disusul suara-suara yang terdengar super kencang.
Kontan Amora menutup ke dua telinga, berharap suara-suara itu berhenti. Kepalanya berdenyut nyeri kala satu persatu memori mulai Amora ingat. Tanpa bisa dicegah tubuhnya luruh ke lantai.
Amora tak peduli dengan apa yang hendak gadis itu lakukan ketika melihatnya jatuh kesakitan di lantai—yang mungkin akan gadis di depannya yakini tanpa adanya penyebab yang jelas. Jika mau menusuknya seperti dulu, tak masalah bagi Amora. Toh, mungkin itu sudah takdirnya.
Selepas dua menit—yang terasa bagai berjam-jam—berlalu, suara dan gambar perlahan menghilang.
Setelah Amora mampu mengendalikan tubuhnya lagi. Ia mendongak menatap wajah gadis itu dengan tatapan tak percaya."Intan?" Mengapa gadis itu? Tak pernah terlintas sekali pun di kepala Amora jika gadis itu yang mendorongnya. Amora pikir, gadis di roof top kala itu adalah Mawar—melihat dari trauma yang muncul kembali ketika Mawar menepuk bahu di suatu pagi dan kebencian yang bersarang di hatinya.
Intan menendang perut Amora hingga gadis itu terdorong mundur. Kepalanya terantuk lantai hingga menyebabkan bagian belakang kepala berdenyut nyeri. Dengan susah payah Amora menegakkan badannya. Lagi, Intan kembali menendang Amora. Kali ini mendarat di pipi.
"Udah gue bilang kalau Awan itu milik gue." Intan berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Amora. Lalu, mencengkeram dagu gadis itu hingga kuku panjang berlapis kutek merah menyala tertancap di kulit mulus Amora. "Lo gak seharusnya hidup! Jadi ... dengan baik hati gue cabut nyawa lo." Intan mengacungkan pisau buahnya tinggi-tinggi—bersiap menancapkan pada kepala Amora.
"Ta–tapi kenapa?" tanya Amora terbata. Berhadapan dengan ancaman besar seperti ini tak pernah ada dalam kamusnya. Hidup jauh dari kekerasan membuat Amora tak tau harus melakukan apa untuk melindungi dirinya sendiri. Yang lebih menyebalkan, secara tiba-tiba tubuhnya kaku dan tak bisa digerakkan.
____________________________________________
25 September 2022
![](https://img.wattpad.com/cover/315633772-288-k936619.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life: Breytast Awan! [END]
Teen Fiction"Hadiah yang gue mau cuman satu. Lo hilang dari kehidupan gue untuk selamanya! Lebih bagus lagi kalau lo mati!" Amora kira ucapannya tak akan dianggap serius oleh Awan. Amora pikir, Awan akan mengerti jika keinginannya hanyalah omong kosong belaka...