"Awan?" Amora menatap tak percaya pada Awan yang berada di depan rumah. Matanya berbinar cerah, meskipun tak menutupi keheranan. "Mau apa ke sini?"
"Dasar pikun," ketus Awan. "Kerkom."
Amora terdiam. Mencoba mengingat apa yang dia lupakan. "Ah, iya! Gue inget!" teriak Amora setelah mengingat apa yang ditugaskan oleh gurunya.
"Ganti baju sana! Jangan lama-lama!" perintah Awan ketus.
Amora mengangguk, lalu masuk ke dalam dan menutup pintunya tepat di hadapan Awan. Hingga menyebabkan lelaki itu mengelus dada seraya menggerutu kesal.
Pintu berdaun dua terbuka kembali. "Lo tunggu di sini! Gue ganti baju dulu!" Setelah mengatakan itu Amora lantas menutup pintu dengan keras.
Selang lima menit, Amora ke luar dengan kaos besar dan celana pendek di atas lutut. Penampilan Amora sangat imut sekarang. Apalagi dengan poni yang tersisir apik di dahinya. "Yuk, berangkat!" ajak Amora sembari menggandeng tangan Awan yang langsung di tepis kasar oleh pemuda tampan itu.
"Jangan pegang-pegang! Kamu itu virus!" sentak Awan kasar.
"A–ah, maaf." Amora menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bila ditanya apa hatinya sakit dihina oleh Awan, jawabannya jelas sakit. Dulu, sewaktu pacaran Awan tak pernah berbicara kasar. Bahkan, nada suaranya sangat amat lembut. Berbeda dengan sekarang.
Tapi, untuk apa meratapi kematian sifat Awan yang dulu? Ini memang kesalahannya. Gara-gara mulut sialannya dulu, Awan mati. Meskipun keajaiban terjadi—Awan hidup kembali—tapi tetap saja sifat Awan mati di saat itu juga.
"Kak, Mawar ikut, ya? Mawar kan sekelompok sama kalian," ujar Mawar yang tiba-tiba ada di belakang Amora. Mawar memandang Awan dengan mata berbinar.
Sedangkan Awan memandang Mawar kesal. Apa lagi ini? Tak bisakah Awan hidup tenang sebentar saja? Maksudnya, tanpa kehadiran wanita tak tau malu seperti Amora dan Mawar. Terlebih, pakaian Mawar yang terlalu terbuka membuat Awan mual.
Amora menoleh, lantas mengeluarkan wajah julidnya. "Gak sudi! Udah gue bilang gue gak sudi sekelompok sama cewek munafik kayak lo! Udah munafik, matre, sasimo lagi. Ah, ya. Lo juga murahan!" semprot Amora seraya memandang Mawar jijik.
"Tapi, Kak—"
"Gue bilang engga, ya, engga! Ngerti bahasa manusia gak, sih?!"
"Kak Awan," cicit Mawar pelan. Berharap lelaki itu membelanya. Namun sayang, pemuda itu abai. Seakan tak melihat kejadian tadi.
"Apa?! Mau minta pembelaan?! Gue masih dendam, ya, sama lo! Gara-gara lo gue di skor! Padahal jelas-jelas itu salah lo! Main nyalahin orang yang gak tau apa-apa. Emang bener lo itu cewek munafik!"
Setelah mengeluarkan unek-uneknya, Amora menarik lengan Awan. Lalu, Amora mendorong Awan untuk masuk ke dalam mobil tepat pada kursi kemudi. Kemudian, Amora melempar kunci mobil pada Awan. "Jalanin mobilnya, Wan! Lo bisa ngendarain mobil, kan?"
"Bisa. Tapi, motor—"
"Biarin aja. Nanti ada yang nganterin ke rumah lo." Amora memandang ke luar jendela dengan tampang datar. "Oh, ya. Gue minta maaf buat yang tadi. Sorry juga udah megang tangan lo. Tangan lo pasti gatel, ya? Itu wajar hahaha. Tadi kan dipegang sama virus. Gue saranin buat mandi kembang tujuh rupa, biar kulit lo kembali suci dan bersih."
Keheningan melanda setelah perkataan Amora terlontar. Tak lama deru mesin memenuhi indera pendengaran mereka. Mata Amora memandang kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali menghembuskan napas panjang.
Awan yang melihat itu merasa aneh. Tak biasanya Amora yang bawel terlihat begitu lemas tak bertenaga. Ingin menanyakan apa yang terjadi, tapi gengsi menguasai. Alhasil Awan tetap mengendarai mobil dengan sesekali melirik ke Amora.
"Wan."
Awan berdehem malas. Kemudian menjawab panggilan Amora. "Kenapa?"
"Lo belum cinta sama gue?"
Awan tak menjawab. Ia bingung ingin menjawab apa. Ia bahkan tak tau perasaan yang sebenarnya bagaimana. Yang Awan tau, dia tak menyukai Amora. Gadis itu terlalu berisik, selalu bergelayut manja seperti parasit, dan menempeli ke mana pun Awan pergi layaknya lintah. Tapi anehnya, Awan tak suka melihat Amora dekat dengan orang lain.
Awan menginjak pedal gas. Mobil mereka sudah sampai di depan halaman rumah. Awan membuka mulutnya hendak menjawab. "Ak—"
Namun, ucapannya terpotong oleh suara pintu yang ditutup kencang. Awan menghela napas panjang. Mungkin, Amora belum siap mendengar jawaban yang tak sesuai keinginan.
Tok! Tok! Tok!
Awan menoleh. Lantas mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya.
"Lo gak mau keluar, Wan?" tanya Amora dengan senyuman manis. Wajahnya di dekatkan dengan kaca di sebelah Awan hingga keningnya menempel. Setelah mengatakan itu, Amora berjalan ke pekarangan rumah Awan dan duduk di single kursi dekat pintu masuk.
Netra Amora menatap ke segala penjuru. Rungunya menangkap desir angin yang berembus pelan. Menerbangkan tiap helai rambut Amora. Jari Amora diketukkan pada meja kayu di sebelah. Decakan kagum terus Amora keluarkan.
Rumah Awan tampak sederhana nan minimalis. Desainnya sama dengan rumah-rumah lain di komplek perumahan ini. Pohon palem tertanam di setiap sisi pagar sepanjang jalan. Rumput-rumput tumbuh dengan leluasa di halaman yang lumayan luas. Sangat nyaman untuk dipandang. Amora jadi berpikir untuk membeli rumah di komplek ini.
"Wan, lo belum suka sama gue?" tanya Amora lagi saat melihat Awan duduk di kursi samping. Tatapannya terlihat kosong. Seolah tak memiliki jiwa.
Amora lelah. Sudah lebih dari dua Minggu Amora mengejar Awan. Tapi, tak ada perubahan sedikit pun. Awan selalu mendorong Amora untuk menjauh dengan kata-kata pedasnya. Namun dilain waktu, Awan bisa bertingkah seolah menyukai Amora. Lelaki itu plin-plan dan begitu membingungkan.
Amora tak tau harus menyerah atau terus berjuang. Amora juga merasa harga dirinya hilang begitu saja demi Awan. Padahal, sudah kodratnya Amora sebagai perempuan yang dikejar, bukan mengejar.
Pernah suatu hari, Amora menembak Awan di kelas. Dan, kalian tau apa jawabannya? Saat itu Awan menjawab, "Aku gak sudi pacaran sama kamu. Kamu gak lebih dari cewek murahan, Mor. Udah aku bilang untuk berhenti ngejar-ngejar, tapi nyatanya apa? Kamu tetep nempel kayak lintah. Kalau bukan murahan namanya apa? Cabe-cabean? Lonte? Jalang?"
Hati Amora serasa di remas kuat saat itu. Seluruh persendiannya lemas. Dia marah, tapi tak tau harus melampiaskan pada siapa. Amora nyaris menendang selangkangan Awan. Untungnya, dia masih bisa mengendalikan emosinya. Alhasil Amora hanya menonjok wajah Awan hingga hidungnya patah dan meneteskan darah.
Sekarang, Amora akan menanyakan isi hati Awan untuk yang terakhir. Jika kali ini masih tetap sama, dia akan menyerah. "Jawab, Wan! Lo bisa maki gue lagi, kok!" Biar gue tau harus berhenti atau lanjut, batinnya. Amora menundukkan wajahnya. "Ini pertanyaan terakhir, apa perjuangan gue selama ini belum cukup untuk memperlihatkan rasa cinta gue?"
Lagi-lagi hening. Amora menghela napas panjang. Amora sering kali menanyakan dirinya sendiri apa yang membuat Awan sebegitu bencinya pada Amora. Padahal, gadis itu sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik.
Pernah suatu waktu Amora mendengar obrolan Awan dengan temannya yang entah siapa, dia bilang, dia menyukai gadis imut dengan rambut berponi. Amora rela merubah kebiasaannya—memakai jepit rambut guna menghalangi poni—demi Awan. Tapi, lelaki itu tetap tak menyukai Amora.
Amora mencoba untuk menyukai mata pelajaran matematika serta kimia demi Awan. Agar obrolan mereka bisa nyambung. Namun, tetap saja tak ada perubahan.
"Rasa cinta kamu gak tulus, Mora."
Hei! Apa-apaan itu? Sudah jelas Amora menyukai Awan tulus. Amora hendak melayangkan protes, namun ia urungkan. Amora malah menatap Awan yang hendak melanjutkan ucapannya.
___________________________________________
15 Juli 2022

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life: Breytast Awan! [END]
Teen Fiction"Hadiah yang gue mau cuman satu. Lo hilang dari kehidupan gue untuk selamanya! Lebih bagus lagi kalau lo mati!" Amora kira ucapannya tak akan dianggap serius oleh Awan. Amora pikir, Awan akan mengerti jika keinginannya hanyalah omong kosong belaka...