Chapter 38: 3 Hari sebelumnya

2.5K 115 0
                                    

Taman, 24 Agustus
Pukul 17.26 WIB.

Sore itu, Amora masih mengukuhkan niat agar tak menceritakan ancaman yang didapat pada Awan. Sebisa mungkin Amora bersikap seperti biasa. Meskipun Amora yakin, Awan tau akan sikapnya yang sedikit berubah. Ia hanya ... tak ingin membebani Awan untuk kesekian kali.

Harusnya begitu .... Sampai beberapa menit setelahnya, Amora mendapatkan pesan dari Intan. Isinya hanya beberapa foto Amora dan Awan dengan background taman juga sedikit ancaman. Sontak, Amora memandang ke segala arah guna mencari keberadaan Intan.

"Kenapa?" tanya Awan. "Kamu nyari apa? Wajah kamu kenapa pucat? Ada yang sakit? Sini bilang! Jangan buat aku khawatir, Amora!" Wajah Awan berubah panik kala mendapati muka pucat Amora. Pun, kepanikannya bertambah ketika memegang tangan dingin juga lembab sang kekasih.

"Amora!" seru Awan. "Hei?"

Tak mendapati jawaban, Awan memeluk tubuh Amora dari belakang guna memberikan rasa aman serta nyaman.

Amora tak bereaksi. Netranya masih bergerak liar mencari keberadaan Intan. Nihil. Ia pun mendongak dan bersitatap dengan mata hitam Awan. "Wan ... Kita udah gak aman. Aku, keluargaku, dan kamu," bisiknya.

"Maksudnya?" tanya Awan tak paham.

"Intan ... dia makin gak terkendali. A–aku gak mau orang-orang yang aku sayang celaka." Wajah Amora kian mengetat. "Ta–tapi, aku gak mau jauh dari kamu." Amora menyodorkan ponselnya yang diterima Awan dengan wajah bingung. "Baca aja! Selain dari nomor itu, ada beberapa pesan masuk dari nomor yang gak dikenal. Kamu bisa baca semuanya."

Awan dengan sigap membaca serentetan pesan di ponsel Amora. Dari pesan yang dikirim paling awal.

0851********

.... Gak perlu banyak basa-basi. Gue cuma ngingetin, apa yang harusnya milik gue bakalan tetep jadi milik gue. Apapun yang terjadi. Termasuk Awan. Entah pakai cara baik atau pun buruk. Gue gak peduli. Gue gak segan buat nyelakain lo. Oh, atau pakai cara yang lebih menarik? Seperti ... nyelakain keluarga lo misalnya?

Awan mengernyit. Mengapa Intan bisa segila ini? Pantas saja Amora terlihat tertekan beberapa hari belakangan. Sepupu gilanya makin menjadi. Awan menggulirkan layar, kali ini pada pesan dengan nomor yang berbeda.

0852********
Berapa kali gue bilang? Jauhin Awan, brengsek! Kenapa lo gak ngerti-ngerti? Gue harap, peringatan terakhir ini bikin lo sadar. Oh, ya. Gimana sama 'hadiah' yang gue kirim? Gue harap, lo seneng, hahaha.

"'Hadiah'?" Awan menatap Amora meminta penjelasan. "Hadiah apa? Kapan dia kasih? Kok kamu gak pernah cerita ke aku? Isinya gak aneh-aneh, 'kan?"

Amora mengalihkan pandang. Segan menatap mata Awan. "Gak tau. Aku gak sempet buka kotak dari dia. Tapi, baunya nyengat banget. Kayak bau bangkai." Amora berharap jawabannya bisa membungkam pertanyaan Awan yang lain.

Awan menghela napas lega. Untunglah Amora tak membuka hadiah itu. Karena dapat Awan pastikan isinya bukanlah hal yang bagus. Mungkin, bangkai tikus dengan darah atau binatang menggelikan semacam ulat?

Jarinya kembali menggeser layar. Kali ini pada pesan terakhir yang Intan kirim. Di sana terdapat beberapa foto dirinya dengan sang kekasih. Sontak, ia melakukan hal yang sama dengan Amora tadi—melirik ke segala arah.

0853********
Coba tebak apa yang bakal gue lakuin nanti? Berhubung gue orangnya demokratis, jadi gue bakalan tampung masukan lo. Menurut lo, lebih baik gue tabrak atau kasih racun?

"Gila!" seru Awan. "Ini gak bisa dibiarin. Keselamatan kamu—dan juga orang terdekat kamu—taruhannya!"

Amora tersenyum miris. "Apa yang bisa aku lakuin? Lapor polisi?" Amora menjeda ucapannya. Kemudian, ia lanjutkan perkataannya tatkala Awan hendak bersuara. "Gak bisa." Tenggorokannya tercekat. "Di—dia ancam aku, kalau aku sampai berani lapor polisi, dia ... gak segan bunuh mami sama papi."

Tangis Amora pecah seketika. Amora tak pernah menyangka akan selemah ini ketika berhadapan dengan Intan. Kemana perginya sifat bar-bar Amora? Kemana perginya sifat tak kenal takut Amora? Kemana?! Mengapa ketika dibutuhkan, sifatnya itu malah hilang?

Amora benar-benar merasa tak berdaya. Hendak membalas pun tak kuasa. Amora hanya takut ke dua orang tuanyalah yang terkena imbas. Bagaimana jika Amora salah ambil langkah? Bisa-bisa nyawa ke dua orang tuanya yang dipertaruhkan. Memikirkan semua itu membuat tangis Amora semakin kencang.

Awan yang melihat Amora pun panik. Ia berjalan memutari ayunan dan berhenti di depan Amora. Awan memeluk tubuh gadis yang ia cintai itu sepenuh hati.

"Aku punya rencana," ucap Awan seraya mengelus punggung bergetar Amora.

"Apa?" tanya Amora dengan suara teredam.

"Jalan satu-satunya cuma lapor polisi—"

"Itu terlalu beresiko," potong Amora. "A–aku gak mau kamu atau siapa pun jadi korban," lanjut Amora dengan tangis yang perlahan berhenti. "Aku gak mau."

"Tenang, Mora!" perintah Awan lembut. "Aku udah pikirin cara biar dia gak bertindak lebih jauh."

"Gimana caranya?"

"Kita harus turutin kemauan dia—"

"Maksudnya?" potong Amora tak suka. "Maksudnya kamu minta aku buat jauhin kamu?!"

Amora menggeleng. "Engga! Aku gak mau! Aku gak bisa, Awan." Ia tak bisa berjauhan dengan Awan barang semenit pun. Berlebihan memang. Namun, ini yang Amora rasakan.

"Cuma ini satu-satunya cara, Amora." Awan menguraikan pelukan dan menggenggam tangan Amora. Awan tau dengan menggenggam tangan Amora akan membuat gadis itu menerima masukannya. "Cuma ini yang buat dia merasa menang." 

"Dan merasa bahagia karena melihat kita terpuruk," lanjutnya. "Dengan begitu, bakalan memudahkan buat ngalahin dia. Ibaratnya, biarkan dia merasa berada di atas langit tertinggi. Setelahnya, kita jatuhkan sejatuh-jatuhnya ke inti bumi."

"Tapi ...." Amora tampak ragu dengan rencana Awan. Bagaimana jika Intan tau mengenai rencana ini dan malah semakin nekat?

"Percaya sama aku! Gak bakal terjadi apa-apa."

"Oke, aku bakalan coba buat percaya sama rencana kamu."

"Makasih. Aku gak bakal biarin kamu celaka, Amora. Itu janji aku."

Salah satu beban yang Amora tanggung berkurang sore itu. Sedikitnya, Amora merasa lega mendengar semua respon yang Awan beri. Lelaki itu tau bagaimana cara menenangkan dan meyakinkan Amora dikala menghadapi masalah seperti saat ini. Dan Amora amat sangat bersyukur atas itu.

Yang harus Amora lakukan sekarang  adalah percaya pada semua yang Awan katakan. Ia hanya perlu meyakinkan hati agar menyerahkan semuanya pada sang kekasih. Amora tau Awan tak mungkin membiarkan dirinya celaka. Maka dari itu, tak ada satu alasan pun untuk tak mempercayai Awan.

Pun, Amora perlu menenangkan hati dan pikiran agar tak memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin saja akan terjadi.

Percaya sama Awan, Amora! Dia tau apa yang terbaik, batin Amora.

____________________________________________
30 September 2022

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang