Chapter 24: Erik frustasi

1.4K 146 1
                                    

Bel pulang berbunyi pertanda pembelajaran hari itu telah usai. Semua murid berbondong-bondong ke luar gerbang dan pulang ke rumah masing-masing.

Begitu pun dengan Amora dan Awan. Ke duanya berjalan seraya bergandengan tangan menuju parkiran sekolah. "Akhir-akhir ini, ayah kamu kayaknya jarang mabuk," celetuk Amora membuka obrolan.

Amora paham celetukannya mungkin saja sensitif untuk dibahas. Tetapi, keingintahuan mengalahkan nalar. Hal ini sebenarnya ingin Amora tanyakan dari beberapa Minggu yang lalu, namun terhalang rasa tak enak.

Dan entah mengapa seutas kalimat terlontar begitu saja di detik, menit, dan hari itu juga. Amora hanya berdoa semoga Awan tak murka.

"Beberapa hari ini, ayah keliatan aneh. Gak mabuk, gak judi, dan gak marahin aku lagi. Padahal, sehari sebelumnya, beliau masih bersikap kayak biasa." Awan merogoh saku celana guna mengambil kunci sepeda motor. "Ayah kayak yang diguna-guna."

Amora mengangguk paham. Ternyata rencananya berhasil. Amora tak bisa menahan senyumnya lagi. Detik itu pula senyumnya berkembang indah.

Ingatan Amora terbawa ke kejadian tiga hari sebelum Awan olimpiade. Saat itu ....

"Jadi, apa yang aku bilang tentang 'jangan sekali-kali siksa Awan', Om?" tanya Amora seraya menatap pria setengah baya di depannya yang bergetar ketakutan. Pistol hitam diputar-putar di depan wajah.

Ia bertopang dagu menunggu jawaban dari calon mertuanya itu dengan senyuman devil yang menghiasi wajah cantiknya. "Apa ucapan Amora saat itu, Om, anggap angin lalu? Engga, Om! Mora gak segan-segan buat balas segala yang Om lakuin. Om, tinggal pilih antara membusuk di penjara atau ...." Ucapan Amora tergantung. Ia memandang ujung pistol dengan seringai yang kian menakutkan.

Pria yang duduk bersimpuh di lantai tampak menunduk. Wajahnya pias. Ke dua tangan mengepal di atas paha. Buku-buku jarinya memutih. Sedang dahinya dipenuhi keringat dingin.

Ia tak menyangka jika pacar anaknya sekejam ini. Ia berpikir jika Amora sama seperti gadis di luaran sana yang gemar berfoya-foya serta merengek pada orang tuanya.

Karena anggapannya itu, Wijaya tak menghiraukan ancaman Amora untuk menghentikan kebiasaan buruknya; mabuk, berjudi, serta menyiksa Awan di kala amarah melanda.

Ternyata praduga Wijaya selama ini salah besar. Amora, gadis itu terlalu menyeramkan untuk seukuran gadis berusia tujuh belasan tahun. Mengapa anaknya bisa jatuh cinta dengan seorang gadis kejam seperti ini?

"Om! Ayo, jawab!"

Tak ingin membuat gadis di depannya bertambah marah, Wijaya menjawab dengan terbata, "Bu–bukan begitu. Sa–saya tak bermaksud un—"

"Perlu Amora ingatkan, jika Mora gak suka penipu. Kecuali, jika ingin berciuman dengan peluru kesayanganku."

"Ma–maaf—"

"Om itu laki! Masa ngomongnya gugup kayak gitu? Malu sama otot dong, Om!" Lagi-lagi, ucapan Wijaya Amora potong. Gadis itu tampak menikmati wajah ketakutan Wijaya. Terlihat dari senyumnya yang tak kunjung pudar juga matanya yang berbinar.

Wijaya memejamkan matanya dengan napas berburu. Menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Diulangi kegiatannya itu sampai deru napasnya kembali normal. "Maaf. Saya berjanji tak akan menyakiti anak saya lagi."

"Dan?"

"Saya juga berjanji untuk menghilangkan candu saya pada alkohol dan judi."

"Bagus!" Amora mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan mematikan rekaman suara. "Kalau, Om, melanggar perjanjian ini, siap-siap nerima konsekuensinya, Om!"

Amora beranjak dari duduknya. Berjalan memutari Wijaya dan ke luar dari rumah minimalis tersebut. "Gak sia-sia gue pinjem pistol mainan milik anak tetangga." Amora tertawa cekikikan seraya memandang pistol mainan itu. "Tapi, kalau diliat-liat emang beneran mirip sama pistol revolver asli. Gue harus minta papi beliin ini, buat jaga-jaga kalau ada yang macem-macem nanti."

Sepeninggal Amora, Wijaya terbaring lemah di lantai keramik. Seketika itu pula rasa dingin membelai kulit. Ia syok berat. Terlebih saat mengingat ujung pistol itu ditempelkan di jidatnya. Gadis itu gila. Benar-benar gila. Apa ini karmanya karena terlalu banyak dosa? Wijaya berjanji agar segera bertobat. Ia tak ingin berurusan dengan gadis gila itu lagi.

Mata Amora tak sengaja menangkap siluet seseorang di pos satpam. Ia merasa familiar dengan postur tubuhnya yang menjulang. Matanya memicing tajam mencoba memperjelas penglihatan.

Dia ... Erik? Si pegawai florist itu? Tapi, motif apa yang membuatnya datang ke SMA Bina Bangsa? Apa Amora harus pergi ke sana dan bertanya? Tampaknya harus. Maka dari itu, Amora menyerahkan kembali helm yang hendak ia pakai pada Awan.

"Tunggu bentar!" Amora hendak berjalan menjauhi parkiran, tetapi urung karena Awan memegang pergelangan tangannya. "Apa?"

"Kamu mau ke mana?"

"Mau ke pos satpam. Bentaran doang," jawab Amora memberi penjelasan.

"Ikut."

Amora menghela napas panjang. Jika pun ia larang, Awan pasti akan kekeh untuk ikut. Maka dari itu Amora mengiyakan permintaan Awan. Mereka berjalan beriringan ke arah pos satpam tanpa melepas tautan tangannya.

Begitu sampai, Amora langsung menodongkan pertanyaan pada Erik. "Kak, lo ngapain di sini? Oh, gue tau. Lo mau jemput Kak Bobby 'kan? Tapi kenapa lo keliatan gelisah kayak gitu?"

"Kamu liat Intan tidak?" tanya Erik tanpa mempedulikan pertanyaan Amora sebelumnya. Ia mengetuk-ngetuk kakinya di tanah seraya menggigit bibir bawahnya. Kentara sekali jika pria itu tengah gelisah. Terlebih matanya yang terus bergerak liar mencari keberadaan seseorang.

"Tadi ketemu, sih, di koridor."

"Kapan?" Erik memandang Amora dengan tampang menuntut jawab.

Amora mengernyit heran. Meskipun tak ayal menjawab pertanyaan Erik. "Pagi-pagi. Sebelum masuk kelas. Emangnya ada apa, Kak?"

Erik merosot dan jatuh terduduk di tanah. Ia tak peduli jika bajunya kotor atau mungkin terdapat kotoran hewan di bawah sana dan terduduk oleh bokongnya.

Amora berjongkok guna menyeimbangkan tingginya dengan Erik. Diikuti Awan setelahnya. Amora menatap heran Erik yang mengacak rambutnya frustasi, lalu meraup muka dan menenggelamkan wajahnya di lipatan lutut.

Beberapa menit berlalu. Amora masih menatap Erik menunggu alasan pria itu tampak stres. Dan, mengapa pula lelaki di depannya ini bertanya tentang keberadaan Intan? Bukan kah mereka telah putus?

"Dia ... ngambil tabungan saya," ucap Erik setelah beberapa saat memejamkan mata. Suaranya terdengar pelan serta serak. Ia mendongak, memperlihatkan mata yang memerah.

Amora kasihan melihat Erik yang menyedihkan seperti ini. Ia hendak mengelus bahu Erik, sayangnya tak diperbolehkan oleh Awan. Lelaki itu meraih tangan Amora dan memegangnya erat. Sudah Awan bilang, ia tak sudi berbagi Amora dengan siapa pun. Untungnya Amora paham. Jadi gadis itu mengurungkan niatnya.

"Kenapa bisa?" tanya Amora.

"Kami punya tabungan berdua. Tabungan pernikahan jelasnya," Erik menjeda ucapannya, "jangan bilang saya bodoh karena saya sangat tahu itu. Singkatnya, dia membawa kabur semua uang tabungan yang didominasi tabungan milik saya. Saya harus sesegera mungkin menemukan dia .... Ibu saya harus operasi, dan itu membutuhkan uang yang gak sedikit jumlahnya."

____________________________________________
27 Agustus 2022

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang