Chapter 30: Penjelasan

1.3K 134 0
                                    

"Pas pulang sekolah gue liat Intan." Perkataan Bobby sontak membuat ruangan hening. Baik Amora, Awan, maupun Erik menghentikan kegiatan makannya. Dengan serempak mereka memperbaiki posisi duduk dan menatap Bobby.

Bobby menarik napas sekali lagi dan berujar, "Dia ke luar dari Hotel Cempaka, terus naik ojek online. Karena dari awal udah ada niatan buat nagih uangnya Kak Erik kalau ketemu, ya otomatis gue ikutinlah. Awalnya, gue gak ada pikiran aneh sedikit pun sama tuh cewek. Tapi makin lama, kok, penipu itu ngarah ke suatu tempat sepi. Gue mulai ngerasa gak enak."

Bobby meraup oksigen sebanyak yang dia bisa. Ternyata, bercerita panjang-lebar melelahkan juga. "Gue pikir dia sadar kalau ada yang ngikutin, soalnya jalan motor itu muter-muter. Dari situ perasaan was-was mulai muncul. Tapi karena udah setengah jalan, gak mungkin gue berhenti gitu aja."

"Terus? Kelanjutannya gimana?" sambar Amora penasaran.

"Ternyata perkiraan gue salah. Dia gak sadar kalau lagi diikutin. Tapi emang jalan ke tujuannya itu belok-belok. Singkat cerita, Intan turun di satu gang. Gue yang liat itu ngikutin dia ke dalam gang. Pas di sana, gue kaget." Ada sedikit jeda sebelum Bobby melanjutkan ucapannya. "Kalian tau apa yang gue liat?"

Amora menggeleng. Ia semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Bobby. Penasaran. Satu kata itu yang mampu menggambarkan keadaannya saat ini.

Bobby melirik ke arah Erik. "Bang! Ambilkan gue minum, dong. Haus, nih!"

Erik mendengus. Meskipun tak ayal mengasongkan segelas air pada adik sepupu tercintanya. Sesudah itu, Bobby membuka mulut dan mengalirlah cerita tanpa dikurang atau ditambahkan.

"Mana?" tanya Intan pada sekumpulan pria berwajah garang.

Beberapa meter di belakang, terdapat pohon beringin besar yang menjadi tempat persembunyian Bobby. Ia mengusap bulir-bulir peluh di dahi seraya mengipasi tubuhnya dengan kelima jari.

Ternyata, mengikuti gadis itu sangat menguras tenaga. Terlebih saat Intan berbalik tanpa aba-aba. Bobby perlu mempunyai refleks yang kuat untuk bersembunyi. Baik itu di tiang listrik, tong sampah, atau benda apapun yang ditemui dan dirasa cukup untuk menyembunyikan tubuhnya.

Bobby menyembulkan sedikit kepala, menatap empat pria dengan pandangan ngeri. Pandangan Bobby jatuh pada sebuah botol kecil yang disodorkan salah satu pria.

Ia menyipitkan mata mencoba memindai botol. Sayangnya, karena tulisan di botol itu sangat kecil, Bobby tak mampu membaca satu pun kata yang ada di permukaan botol.

"Efeknya udah terbukti?"

"Udah, Bos! Tiga tetes aja udah bisa bikin yang minum gak sadarkan diri."

"Bagus! Ini bayaran buat kalian." Intan menyerahkan amplop coklat pada seorang pria yang Bobby yakini ketuanya.

"Asyik! Makan-makan kita," seru pria lain antusias.

Sang ketua menggeplak kepala si pria, lantas bertanya, "Obat itu buat apa emangnya, Bos?"

"Kalian gak perlu tau," jawab Intan tak acuh. Ia memandangi benda di tangannya dengan senyuman yang tak kunjung luntur. "Tapi, karena gue baik, gue kasih tau alasannya."

"Gue pengen bikin perebut cowok gue hancur-sehancur-hancurnya. Gue pengen dia dibenci banyak orang, dijauhi dan dibuang sama orang yang dia cinta dan ...," Intan menggantung ucapannya sembari tersenyum miring.

Si ketua menimpali. "Dan?" 

"Dan menyingkirkan satu-satunya saingan yang gue punya. Gak sampai mati, kok. Cukup sampai masuk ke RSJ seperti apa yang pernah gue rasa ... dulu."

Bobby yang sedari tadi diam menyimak kontan membulatkan matanya terkejut. Amora. Satu nama itu yang muncul tiba-tiba di kepala Bobby. Ia sangat yakin gadis yang Intan sebutkan adalah Amora.

Bobby menggeleng, ia tak habis pikir dengan gadis itu. Ini tak bisa dibiarkan. Ia harus segera memberi tahu Amora sebelum terjadi hal yang tak diinginkan.

Sayang, nasib baik tak berpihak padanya. Seekor anak kucing dengan bulu tebal berwarna hitam legam jatuh tepat di atas kepala. Tanpa bisa dicegah, ia berteriak kegelian.

Bobby berdehem kecil menahan malu. Wajahnya merona. Terlebih saat Amora tertawa terbahak-bahak ketika Bobby menceritakan bagian memalukan itu.

"Aduh, aduh! Masa badan gede takut sama anak kucing," ejek Amora di sela tawa. Ia memegang perutnya yang terasa keram.

Bobby membuang pandang. Mencoba mengabaikan olokan Amora, meskipun tak bisa. Lalu melanjutkan ceritanya. "Seperti yang kalian bayangkan. Tindakan ceroboh gue—yang refleks teriak—ngundang perhatian mereka. Alhasil gue dihajar sama keempat preman itu. Terus, Intan tiba-tiba mukul tangan kanan gue pake balok kayu. Setelah itu, mereka pergi gitu aja tanpa rasa bersalah sedikit pun."

"Sialan banget kan 'tu cewek?" Bobby mendengus kesal mengingat kejadian itu.

"Kalau kata Mawar, 'dia gila'. Jadi gak heran sama tindakannya yang di luar nalar," sahut Amora setelah tawanya mereda. "Kenapa lo sembunyiin ini?" Alis Amora terangkat.

"Siapa bilang?"

"Lo budeg apa gimana?" kesal Amora. Wajahnya ditekuk dengan bibir mengerucut lucu. Tampaknya, berbicara dengan Bobby perlu kesabaran ekstra. Tolong berilah kesabaran lebih pada Amora yang mudah terpancing amarah ini!

Bobby terkekeh geli. "Tapi sekarang udah tau, kan? Berarti gak gue sembunyiin dong," balas Bobby.

"Awalnya lo niat mau nyembunyiin ini, kan? Cuma gara-gara gue sama yang lain terus desak lo buat cerita, akhirnya lo ceritain semuanya," jawab Amora dengan suara keras.

Bobby menggaruk tengkuknya seraya tersenyum kikuk. Sejujurnya, apa yang Amora ucap tepat sasaran. Ia tak tau harus menjawab apa. Sampai akhirnya, ia mampu merangkai kata untuk menjawab perkataan Amora.

"Awalnya emang gitu. Gue gak pengen bikin kalian—terkhusus Amora—kepikiran. Pikir gue, biar gue aja yang nanggung semua itu, kalian jangan. Biar gue yang usut sampai tuntas. Gue gak mau kalian luka kayak gu—"

"Kayak lo maksudnya?" sela Amora. "Kak, lo gak boleh sembunyiin apapun kayak gini! Keselamatan lo bisa terancam, Kak!"

"Gue ta—"

Lagi dan lagi ucapan Bobby dipotong. Kali ini Erik pelakunya. "Apa yang Mora bilang, bener. Orang yang kita hadapi gak bisa dianggap sepele. Dia gila dan bisa ngelakuin apapun di luar pikiran kita."

Awan sedari tadi hanya diam menyimak. Pikirannya melayang, ia tak menyangka jika sepupunya akan melakukan hal senekat itu.

Untung saja waktu itu Amora tak pergi menemui Intan. Andai, saat itu Amora tak menolong Bobby dan pergi menemui Intan, tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Bisa saja Amora diculik, lalu dibuang ke tengah hutan. Atau yang lebih parah, Amora diculik dan disiksa sampai mati.

Uh, membayangkan itu saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri. Awan tak bisa hanya sekadar membayangkan jika ia akan kehilangan Amora kembali. Itu sungguh-sungguh menyeramkan.

Sudah diputuskan! Awan akan melindungi Amora selama 24 jam penuh. Ia tak akan membiarkan Amora terluka barang segores pun. Tidak akan!

____________________________________________
11 September 2022

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang