Chapter 23: Baikan

1.7K 151 4
                                    

Hai, semua!
Apa kabar? Semoga selalu baik, ya.

Maaf banget aku updatenya jadi gak menentu gini, selain karena tugas yang menumpuk, aku juga lagi kena writer's blok 😭. Tapi tenang aja, aku bakalan tetap usahain buat update sekurang-kurangnya dua kali dalam seminggu.

Dah, gitu aja curhatan di pagi yang indah ini :)

Happy reading and enjoy, guys!

Jangan lupa tinggalkan jejak!

____________________________________________

"Amora di mana?" tanya Awan begitu masuk ke rumah milik orang tua Amora. Ia terlampau senang. Saking senangnya, Awan sampai lupa untuk sekadar mengucapkan salam.

Jika di ingat, setengah jam yang lalu amarah masih mengerubungi hatinya. Tapi sekarang sudah menguap entah ke mana. Pengaruh Amora memang sebesar ini.

"Di kamarnya." Mawar menunjuk tangga di belakang sofa. "Dari tadi uring-uringan. Gue tebak, kalian pasti lagi ada masalah, 'kan? Saran gue, mending lo beresin dulu masalah itu—woy, Awan! Gue belum selesai ngomong!" protes Mawar begitu melihat Awan yang berlari menuju tangga tanpa mendengar seluruh perkataannya.

"Dasar bucin." Mawar geleng-geleng kepala. Tampak heran dengan kelakuan Awan yang terlampau bucin.

Hah, kapan, ya, dirinya bisa mendapatkan lelaki sebaik Awan? Jujur saja, ia iri dengan Amora yang memiliki kekasih yang sangat mencintainya dengan begitu tulus. "Awan itu bucin banget. Jadi, gak mungkin dia selingkuh. Tapi, yang waktu itu gue liat di depan minimarket siapa? Wajahnya mirip banget sama ... Awan."

Mawar terdiam. Ia tak tahu apa matanya yang salah melihat atau memang lelaki di depan minimarket itu Awan. Ah, sudahlah! Mawar yakin itu bukan Awan. Jika pun iya, Mawar tak ingin memikirkan itu. Biarlah waktu yang membongkarnya.

Ia meraih remote di meja, kemudian menyalakan televisi dan mencari siaran favoritnya. Dari pada memikirkan permasalahan apa yang tengah sepupu dan pacarnya alami, lebih baik menikmati waktu istirahatnya yang bebas dari tugas-tugas sekolah. "Huft, enaknya hari tanpa tugas!" seru Mawar seraya merentangkan ke dua tangannya bahagia.

Beralih pada Awan yang dengan semangat menghampiri kamar Amora. Di depan pintu, Awan berhenti. Ia mengatur napas dan mengetuk pintu bercat biru itu.

Semenit berlalu.

Dua menit.

Bahkan sampai di menit ke tiga, pintu tak kunjung dibuka. Pun tak ada jawaban dari dalam. Awan kembali mengetuk pintu. Kali ini lebih keras. Berharap Amora ke luar dan memeluknya.

Kenyataannya tak begitu. Bahkan pintu tak kunjung terbuka. Awan tak kehabisan akal, ia memegang kenop pintu dan membuka pintu kayu itu perlahan. "Gak dikunci," gumam Awan. Jika tau begini, Awan pasti sudah masuk sejak tadi.

Derit pintu menyadarkan Amora dari aktivitas memandangi layar ponsel. Ia berujar dengan posisi yang masih sama—menghadap dinding dan seluruh tubuhnya ditutupi selimut biru muda. "Udah gue bilang, gue gak nafsu makan, Mawar!"

Tak ada jawaban. Hanya terdengar derap kaki yang semakin mendekat juga suara grasak-grusuk yang Amora yakini berasal dari kantong plastik.

Amora penasaran dengan apa yang dibawa oleh sepupunya berbalik seraya berkata, "Gue gak mau maka—" Di saat itu juga mata Amora melotot kaget. Ia mencampakkan ponsel di genggaman dan menutupi kepalanya dengan selimut.

"Amora," ujar Awan lembut. Tangannya terulur untuk membuka selimut. Meskipun agak sulit karena Amora memegang ujungnya kencang. Awan menyerah, ia mendudukkan diri di sisi ranjang dan mencoba mengobrol dengan Amora.

"Amora, maafin aku. Aku gak maksud bikin kamu marah. Aku percaya kok sama kamu, gak seperti yang kamu pikirin. Seratus persen malah. Hanya saja, aku gak mau bikin kamu terbebani."

Awan menghela napas panjang. "Kamu pasti penasaran, kan, sama masalah yang aku alami?" Mungkin ini waktu yang tepat untuk Awan memberitahu semua yang ia alami. "Ayah punya hutang sama tante Ririn—ibunya Intan. Nominalnya emang besar. Karena itu tante Ririn minta jaminan. Ayah bilang, aku yang jadi jaminannya. Katanya, tante Ririn bebas nyuruh dan memperlakukan aku sesukanya."

Amora membuka selimut. Mendudukkan diri di samping Awan dan memandang lelaki itu dengan tatapan berkaca-kaca. "Kenapa kamu gak bilang dari dulu? Aku bisa bantu buat lunas-lunasin hutang ayah kamu."

Awan tersenyum menanggapi. Ia mengambil tangan kanan Amora dan mencium punggung tangannya beberapa kali. "Karena aku tau respon kamu bakalan kayak gini. Aku gak mau ngerepotin kamu. Aku pengen ngelunasin hutang-hutang itu dengan jerih payahku sendiri."

"Tap—"

"Udah! Gak usah bahas ini lagi." Awan membawa Amora ke dalam pelukannya. Ia menghirup aroma vanilla yang menguar dari tubuh gadisnya. Aroma itu begitu harum juga menenangkan. "Jadi, sekarang kita udah baikan, ya?"

"I–iya," jawab Amora gugup. Ia memilin kaos biru yang ia kenakan seraya berharap jika penampilannya tak buruk serta tak ada bau yang dapat tercium oleh Awan.

"Kata Mawar, kamu dari tadi uring-uringan. Kamu kenapa? Sini cerita!" Awan mengelus rambut Amora lembut. Kepalanya ditundukkan guna memandang wajah cantik Amora.

Pipi Amora bersemu merah. Ia memendamkan mukanya pada dada bidang Awan. Lantas terdiam tak ingin menjawab alasan dirinya uring-uringan sejak pulang sekolah.

"Kamu kangen aku?"

Pertanyaan Awan tepat sasaran. Memang itu alasan Amora uring-uringan sejak tadi. Yah, tampaknya tanpa Amora jawab pun, Awan sudah mengetahui alasannya. 

"Oh, ya." Amora mengurai pelukan. "Tadi kamu bilang kalau kamu jadi jaminan hutang ayah kamu. Kamu juga bilang kalau wanita—yang entah siapa namanya—itu bebas perlakuin kamu sesukanya. Aku cuma mau tanya, apa aja yang udah dia lakuin ke kamu?"

Amora hanya tak mau jika wanita tua itu menjadikan Awan budak seksnya seperti di novel-novel yang Amora baca. Atau dijadikan samsak tinju dikala emosi melanda.

Awan paham apa yang Amora khawatirkan. Jadi, dia menjawab, "Tante Ririn gak macem-macem, kok. Dia cuma nyuruh jagain anaknya dan ...."

"Dan?"

"Perjodohan."

Amora sontak berdiri dan menatap Awan tak terima. Jadi, Awan dijodohkan dengan anaknya yang notabenenya musuh Amora sendiri? Tak dapat dipercaya. Sungguh! Kejadian ini bahkan lebih buruk dari apa yang terjadi di masa lalu.

Mengapa semuanya malah menjadi semakin rumit? Di kehidupan dulu tak ada yang namanya 'Awan dijodohkan' dengan siapapun. Namun apa ini? Awan malah dijodohkan dengan sepupunya sendiri.

"T–tapi, aku udah tolak, kok. Aku bener-bener gak sudi nikah sama wanita mana pun selain kamu. Beneran," lanjut Awan cepat. Tak ingin Amora salah paham dan membuat semuanya bertambah rumit. "Jadi, perjodohan itu batal. Meskipun tugasku buat jaga Intan tetap harus berjalan."

Meskipun ragu, Awan harus meyakinkan hatinya bahwa perjodohan itu batal. Jika pun tidak, Awan tak masalah. Ia akan pikirkan segala cara agar terbebas dari perjodohan konyol itu.

"Kamu gak bakal kepincut lagi sama Intan, 'kan?" tanya Amora pelan.

Awan menggeleng tegas. "Aku gak bakal kepincut sama dia." Bahkan, untuk menyebut nama Intan saja, Awan tampaknya tak sudi.

"Oke. Aku percaya sama kamu."

Bukankah dalam sebuah hubungan harus memiliki rasa percaya antara satu sama lain? Maka apa yang dilakukan Amora tak salah. Dia memercayai Awan seratus persen. Begitu pun sebaliknya.

____________________________________________
24 Agustus 2022

Second Life: Breytast Awan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang