28. FIRASAT

83 3 0
                                    

Renovasi sudah hampir selesai, tapi sepertinya Jacqueline tak bisa segera kembali ke Rungkut.
"Ada masalah apa, Line? Apa yang membuatmu tak bisa pindah bulan Desember ini sesuai rencana?"
Ternyata Martini menunggu pembantu dari Timur itu datang, karena perlu ada yang menjaga Aline sementara Martini dan Warti bersih-bersih dan menata perabot.
"Apa yang menghalangi dia datang? Suaminya tidak mengijinkan?" tanyaku, ikut gemas.
"Bukan itu. Terakhir kontak, malah aku sempat bicara dengan suaminya. Katanya di sana dia diporoti terus ama kakaknya, lebih baik menjauh."
"Lalu, kok blom berangkat?"
"Penumpang kapal harus sudah vaksin tiga kali, lah dia baru satu kali."
"Ya ... segera vaksin dong!"
"Vaksin kedua, sudah, awal Oktober. Begitu tahu syarat itu, dia segera vaksin. Tapi, kan harus selang tiga bulan untuk vaksin ke tiga. Nopember, Desember, Januari."
"Berarti, baru datang awal Januari, dong?"
"Ya," Aline mengangguk mengiyakan. Aku tersenyum getir.

"Cari pembantu lain?" usulku.
"Aku dan Martini itu orang yang sulit. Tidak gampang orang baru menyesuaikan diri dengan kami berdua."
Waduh! Susah juga kalau begitu. Syukurlah, walaupun dipenuhi drama setiap hari, Martini masih belum menyerah mengurus Aline.

***

Hari itu Jacqueline seharian lebih banyak melamun. Ponsel dipegang, tapi tidak diapa-apain. Ada pesan masuk pun tidak segera direspon seperti biasanya.
"Kamu kenapa, Line?"
Lama-lama aku gak tahan didiamkan.
"Eh .... Oh .... Nggak apa-apa, Ralf. Kenapa?"
"Kok sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu."
Aline menghela napas panjang.
"Iya, sih ...."

"Ini ...," katanya terbata dengan sendu, "kok aku merasa waktuku sudah dekat, ya."
"LINE!" tak sengaja aku membentaknya, ia hanya tersenyum getir.
"Nggak boleh ngomong begitu! Itu ngalup namanya!"

"Aku ingat Mama, terakhir dulu juga ada luka di pantatnya. Dengan telaten aku dan Martini merawat luka itu, dan perlahan mulai mengecil ... tapi ... sebelum menutup, Mama pergi."
Ada mendung bergayut di wajahnya.
"Line," bisikku, "kau harus yakin, luka ini akan sembuh."
"Cuma kuatir, tubuhku sudah tak mampu menyembuhkannya sendiri ...."
"Kan dibantu obat ...."
"Walaupun dibantu obat," perempuan itu menarik napas panjang, "kan Mama dulu juga begitu."
Aku speechless, tak sanggup berucap sepatah kata pun.

***

"Pa," Alvin menyodorkan ponselnya, terbuka di status Aline, keluhannya tentang firasat buruk itu.
Banyak teman fesbuknya berkomentar, membangkitkan semangatnya. Tampaknya berhasil, karena kunjunganku berikutnya, wajahnya sudah kembali ceria.
Syukurlah. Aku ikut senang, dan tak menyinggung hal itu sama sekali. Justru Aline yang membuka percakapan ke arah sana.

"Ralf," ucapnya membuka percakapan, "kamu tau nggak, kalau firasat buruk dicerita-ceritakan maka tidak akan terjadi."
"Ya," aku mengangguk, "kulihat kau sudah bersemangat lagi, apakah kau sudah cerita kesana-kemari?"
"Nggak secara langsung sih," Aline tersenyum lebar, "aku posting di fesbuk, dan banyak komentar positif. Dari situ, aku cerita ke Martini. Entah dia sudah baca di fesbuk atau nggak, tapi tanggapannya membangkitkan semangatku lagi."
"Puji Tuhan," aku ikut bersyukur.
Begitulah Jacqueline kembali ceria seperti biasanya.

***

"Line, Yessyca menawarkan pembantu yang menginap. Teman dari pembantu warnennya." Aku menginformasikan via telepon.
"Ya, Ralf. Dia juga WA aku."
"Lalu bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Aish! Maksudku, kamu mau?"
"Belum kurundingkan dengan Martini, dia lagi keluar."

Semoga Martini setuju. Kasihan Aline. Adiknya sudah pensiun, tidak ngantor lagi, tapi kan ....
"Dia pengacara," kata Aline sambil tertawa, "pengangguran banyak acara."
"Jangan ngomong gitu!"
Tak terduga Martini marah.
"Ucapan adalah doa! Kau nyumpahi aku pengangguran? Lalu darimana biaya hidup kita nanti? Biaya obatmu?"

Baru sekali itu aku melihat Martini membentak dan bicara dengan Nada tinggi. Selama ini Aline sering cerita tentang adiknya yang pemarah dan ditakuti di kantornya, tapi sejak aku mengenalnya ia selalu bersikap manis. Tak jelas karena aku dianggap pacar Aline, atau calon mertua.

Martini mengisi waktunya dengan membuat eco enzyme dan bertani hidroponik. Keduanya menyita waktunya.
Hidroponik harus mendapat cukup sinar matahari, karena halaman belakang sempit dan temboknya tinggi, dari waktu ke waktu ia perlu memindahkan tanaman-tanaman itu.
Eco Enzyme lebih santai, tapi tiap hari harus mengendorkan tutup wadahnya supaya tidak meledak. Martini sudah dua kali kena ledakan itu.

Kebutuhan primer Aline terpenuhi, tapi seharusnya tiap jam ia dibolak-balik miring kanan kiri, ini yang tidak bisa, Martini tidak punya waktu.
Kalau aku di sana, kubantu dia miring kanan, tak lama miring kiri, telentang lagi.

***

Seminggu kemudian, Aline mengabarkan, mereka memutuskan merekrut pembantu itu.
"Kapan mulai bekerja?" tanyaku.
"Minggu depan. Dia mau mengurus rumah dulu."
"Bagaimana dengan anak NTT itu?"
"Yang ini belum tentu cocok, Ralf. Andai cocok pun, ya dipikir nanti. Mau tetap dia atau dioperkan. Nggak mungkin bayar dua orang, duit darimana?"
"Kasihan si Timur itu dong. Sudah berharap kerja ikut kamu lagi, lalu dibatalkan."
"Lah kaukira aku gak jengkel diPHP selama ini? Mbuh, Ralf. Males mikir, aku."

Surabaya, 4 Nopember 2022
#NWR

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang