23. PINDAH KE BARAT

113 9 1
                                    

Aku menatap rumah kosong itu, kecil, lebarnya hanya tujuh meter. Memang sih bangunannya dua lantai, tapi aku mana sanggup naik turun tangga?
"Ayo, Pa!" suara Alvin menyentakkanku, "mau turun atau balik ke Rungkut?"
Bergegas aku turun dari mobil dan mengekori anak sulungku.

Martini pindah tugas ke Bukit Palma. Sangat jauh dari Rungkut, sekitar tiga puluh kilometer, butuh waktu satu setengah jam perjalanan dari rumahnya ke kantor.
Jacqueline menyuruhnya kos, akhir pekan pulang. Namun Tuhan memberkatinya, ada teman punya rumah kosong di Citraland, dipinjamkan tanpa bayar. Gratis tis, tinggal beli token listrik dan bayar iuran yang termasuk air bersih. Nilai uang yang dikeluarkan tiap bulan sih sama dengan kos, tapi kan area jajahannya lebih luas.

"Kamu nggak ikut pindah, Line?" tanyaku tengah tahun lalu.
"Masalahnya, tak ada yang merawatku di sana."
"Mbak War?"
"Kan ia melayani beberapa rumah. Majikan-majikan lain itu keberatan ia berhenti. Selain itu, bapak mertuanya sudah meninggal. Tak mungkin suaminya tega meninggalkan ibunya hidup sendirian."
"Cari pembantu atau perawat lain, Line."
"Aku dan Martini punya kebiasaan yang berbeda dengan orang lain, Ralf. Terakhir aku masuk rumah sakit, pulangnya kan memanggil perawat untuk seminggu. Eh kurang dua hari dia minta pulang setelah dibentak Martini."
"Lalu perawat yang sexy itu?"
Aline tertawa ngakak.
"Nggak mau. Masaknya ngawur, kalau keasinan ditambahin gula, bukan air. Dan dia selalu kekurangan uang, berusaha ngutang terus. Belum lagi ancamannya ...."
"Dia berani ngancam?"
"Cuma bilang ibunya sakit. Bila drop dia akan pulang, tak bisa dicegah. Lah aku kan tidak tenteram."

"Bagaimana dengan pembantumu yang dulu?"
"Pilihan pertama, Nurul, tak bisa dihubungi. Mungkin sudah ganti nomor ponsel."
"Si bedinde ajaib?"
Aline tertawa ngakak lagi.
"Martini yang keberatan dengan bau badannya."

Saat mempertimbangkan mengambil pembantu baru, Rita menghubungi Aline.
"Nah, kan ada tuh yang mau."
"Aku yang tidak mau. Dia itu sekarang sarjana, Ralf. Dan tiga tahun lalu itu, aku dapat nomor ponselnya, kupikir Rita yang akan bekerja, ternyata ia mengantar Rosma. Yang berhenti mendadak karena tersinggung ucapanku."

"Lalu, ketika paman Idah meninggal, perlu libur seminggu, aku memanggil Rita. Aku tak keberatan dia malam kuliah, tapi malah menyodorkan Rosma lagi. Kami berdamai, dan dia mau bekerja seterusnya, bukan cuma seminggu itu."
"Kemudian Rita sakit, minta Rosma merawatnya di kos. Lah aku bagaimana? Aku suruh ajak Rita ke rumah. Rosma bisa merawat kakaknya dan tetap bekerja. Tapi Rita menolak.
Untuk orang seperti itu, tentu saja aku tak mau mempekerjakannya."

Akhirnya pilihan jatuh ke Rosma. Gadis itu sudah menikah dan punya anak, tapi mau bekerja kembali. Masalahnya, karena corona, tak ada kapal dari sana ke Surabaya.
Rencananya, Aline pindah ke Citraland dan atap rumah Rungkut yang rayapan diperbaiki.
Persiapannya sudah lengkap, yang merawat Jacqueline tidak segera datang. Sudah berlalu lima bulan sejak rencana pindah, rasa sedihku sudah sirna, terkikis pelan oleh waktu.
Musim kemarau hampir berakhir, musim hujan segera datang. Langit Surabaya sering mendung, hawanya puanaaas pol. Bagaimana akan mengganti rangka atap di musim hujan? Sementara itu, masa kerja Martini tidak lama lagi. Aku ikut pusing memikirkannya.

"Sudah ada kabar dari Rosma?" tanyaku suatu hari.
"Tidak ada," sahutnya agak ketus.
Woiii Line, kan bukan salahku.

"Lalu bagaimana barang-barangmu yang banyak sekali?" tanyaku di hari yang lain.
"Pengennya kutitipkan di rumahmu. Boleh?"
Aku menoleh, Aline tersenyum lebar.
Walaupun aku tak keberatan, anak-anakku bagaimana?

Akhirnya Rosma datang akhir Nopember, dan Martini memboyong kakaknya pindahan, pakai ambulans dua minggu kemudian.
Ranjang rumah sakit tidak dibawa, di rumah baru ada yang baru, pakai remote, sumbangan teman-teman yang dulu kos bareng di Jakarta. Aku salut. Mereka sekos di tahun sembilan puluhan, sudah tiga puluh tahun loh, tapi perhatian tidak pudar.

***

[bagaimana di tempat baru? Betah?] tanyaku.
[seperti pindah ke pedalaman. Suepiii] jawabnya, disambung tawa.
Rumah ini hanya dua kamar. Dari pintu masuk, ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan. Di sebelahnya kamar Aline, bersebelahan dengan tangga, dapur, dan kamar pembantu yang difungsikan sebagai gudang. Kamar mandi ada di bawah tangga.
Kamar Martini di loteng, lebih besar, dan ada kamar mandi dalam. Tentu saja aku hanya mendengar ceritanya saja, tidak mengintip ke dalam.

Terbiasa dengan kamarnya yang berukuran tiga kali empat meter, Aline mengeluh kamarnya sempit. Sudah penuh dengan ranjang rumah sakitnya dan sebuah lemari dua pintu.
Ada kasur digelar dekat jendela, tempat tidur Rosma.

***

Sekali lagi aku mengamati rumah kosong di seberang itu sebelum masuk ke mobil.
"Papa pasti ingin pindah ke rumah kosong itu," tebak Alvin.
"Kau toh akan pindah tugas di Gresik, lebih dekat dari sini."
"Jarang rumah di sini dikontrakkan, Pa. Dan kita tak punya uang untuk beli ... kecuali menjual rumah Rungkut."
"Jangan!" seruku, spontan, "tahun depan Aline balik ke Rungkut. Jual saja rumah yang di Kupang Indah."
"APAAA?"

Alvin menginjak rem dengan tiba-tiba. Untung pakai seat belt, jadi aku tak terbanting ke kaca depan.
"Apa-apaan, Vin? Untung tidak ada kendaraan di belakang kita," tegurku.
"Pa ..., rumah Kupang Indah itu adalah rumah masa kecil kami, penuh kenangan dengan Mama."
"Tapi, tak satupun dari kalian berempat yang mau menempatinya."
"OK, kita pindah ke sana?"
"Nggak mau! Lebih baik tetap di Rungkut."

Kalau pindah ke Kupang Indah, tak ada harapan untuk pindah lagi ke Rungkut ketika Aline kembali menempati rumahnya.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
"Pa, kan tidak harus bertetangga dengan Aline? Kalau kangen kan bisa video call?"
Aku cuma mendengkus.
"Misalnya nih, kita beli rumah di seberangnya itu .... Papa mau di kamar mana? Kalau di atas, bisa saling memandang lewat jendela. Tapi ... sanggup turun naik mengambil kiriman makanan?
Kalau di kamar bawah, jelas sama saja seperti tinggal di Rungkut, tak bisa saling memandang."
"Dan kasur di lantai itu tempat tidur Rosma, apakah Papa mau rebahan di situ tiap hari? Nggak pantas, Pa."
"Mbuh! Mumet aku."

Surabaya, 6 Januari 2022
#NWR

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang