27. CERPEN

45 4 0
                                    

Alvin mengirimkan sejumlah skrinsyut cerpen di Facebook yang menjadi pemenang pertama suatu event.
"Bagus, nggak, Pa?" tanya anakku di hari berikutnya.
"Papa nggak suka baca fiksi."
"Itu yang nulis Aline, Pa."
Aku tersentak, lalu segera membacanya.

***

TANIA, PEJUANG KANKER

[tidak, aku tidak ikut] tulisku di WAG teman SMA.
Yang komentar banyak sekali, susul-menyusul. Rata-rata menganggapku sombong karena aku lulusan Perguruan Tinggi Negeri terkemuka, yang zaman orang tuaku kuliah masuk dalam jajaran Proyek Perintis Satu.

[Nia, kau harus ikut!!!]
Edo, sahabat sebangku, mengirim pesan melalui jalur pribadi, diakhiri dengan tiga tanda seru.
[TIDAK BISA] balasku.
[beri alasan yang masuk akal]
[aku tinggal di pulau lain]
[kau itu! Zaman now, banyak tiket pesawat murah, cari tuh di aplikasi travelanu atau cicakdotcom]
Hanya kubaca.
[kalau kendalanya di biaya, aku mau kok belikan tiket pesawat pergi pulang, berikut hotelnya.]
[asal jangan hotel bintang lima, bisa bangkrut aku.] sambungnya diakhiri emoji tertawa.
[masalahnya bukan itu, Do. Kau tidak mengerti.]
[buatlah aku mengerti, Nia.]

Ponsel yang kuatur metode diam bergetar, Edo memanggil, tak sabar menungguku menjawab melalui aplikasi WhatsApp.
"Halo, Edo," sapaku menjawab panggilan itu.
"Tania!" pekiknya menyerukan namaku, "aku rindu! Lebih dari satu dekade kita tidak bertemu. Ayolah .... Kalau kau tak merindukan guru-guru, tak ingin bersua teman-teman .... Apakah kau juga tak ingin bertemu denganku? Tak ingin mengunjungi kota kelahiranmu?"
Bertubi-tubi kata-katanya terucap bagai rentetan tembakan senapan mesin. Tanpa jeda, tak memberi kesempatan membantah.

"Sekarang aku tak leluasa bepergian sendiri, Do."
"Suamimu tak mengijinkan? Eh, kau sudah menikah? Waduh! Padahal aku masih mengharapkanmu, loh."
Lelaki itu terbahak-bahak menggodaku.
"Suamiku sudah meninggal, Do."
"Ouw! Maaf."
Agak lama Edo kehilangan kemampuannya berbicara.

Semasa SMA, sahabat yang selalu duduk sebangku denganku itu memang pernah menyatakan cinta. Aku menolaknya karena sifatnya yang memberikan harapan ke banyak gadis.
"Kau itu playboy!" kataku waktu itu, "aku tak sanggup dimusuhi banyak siswi lain."
"Aku bukan playboy. Aku hanya ikan hiu," tangkisnya bangga.
"Ikan hiu?"

Edo membuka buku pelajaran yang membahas simbiosis mutualisma antara ikan hiu dan remora.
Ikan-ikan kecil itu membersihkan tubuh ikan hiu, sebaliknya mereka mendapatkan perlindungan dari predator lain. Ikan hiu mengabaikan remora, ia lebih menyukai mangsa yang lebih besar.
"Oh. Jadi kauanggap gadis-gadis itu ikan remora?"
"Ya. Aku tak pernah pacaran dengan mereka."
"Tapi kau selalu mengantar pulang. Nonton bioskop bareng."
"Mereka yang mengajak. Dan tidak gratis."
"Maksudnya?"
"Mengantar pulang kan mereka mengajakku makan siang di rumahnya. Nonton kan mereka yang bayar, aku hanya mengawal."

"Apakah ...," suara Edo menyentakkan lamunanku, "anakmu tidak bisa ditinggal?"
"Aku tidak sempat punya anak."
"Lalu, masalahnya apa?"

Bagaimana menjelaskannya? Reuni sekolah ini harus datang sendiri, tidak boleh membawa pendamping. Kondisi kesehatanku mengharuskanku duduk di kursi roda. Datang sendirian, siapa yang membantu menguruskan naik-turun pesawat? Yang mendorongkan kursi roda?
"Aku bisa menjemputmu, Tania!" janji sahabatku, mantap.
Itu juga tidak menyelesaikan masalah. Dengan segala keterbatasanku, ke kamar mandi pun aku perlu dibantu. Jadi, bagaimana?

***

Beberapa hari kemudian, Edo membuatku kaget. Ia terbang menyeberang lautan datang ke rumahku.
"Tania!"
Ia menyerukan namaku ketika aku muncul berkursiroda. Tampaknya ingin memelukku, tapi posisiku duduk menghalanginya.
Lelaki itu berlutut di depanku, memegang kedua tanganku, menciuminya.
"Edo!"
Aku menarik tanganku yang basah, sahabatku mencucurkan air mata melihat keadaanku.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya setelah berhasil mengendalikan emosinya dan duduk di seberangku.
"Kau masih secantik yang kuingat," imbuhnya sebelum aku menjawab, "sayangnya aku tidak membawa cincin untuk melamarmu."
"Jangan!" tolakku, tak ingin membebani hidupnya.
"Aku masih mencintaimu, Tania. Dulu kau menolakku karena kauanggap playboy. Sekarang aku sudah tobat, anakku dua-duanya perempuan, bisa kualat nanti."
"Nah! Kau sudah punya anak, berarti punya istri dong. Tidak mungkin anak adopsi dari Panti Asuhan."
"Istriku meninggal dua tahun lalu ketika melahirkan anak kedua. Sekarang aku duda, Tania, bebas menikah lagi."

"Edo," aku menarik napas panjang, "lelaki menikah pasti butuh hubungan intim. Dengan segala keterbatasanku, aku tak bisa melakukannya."
"Kau sakit apa, sih?" Ia mengernyitkan kening.
"Aku kena kanker," aku tersenyum, "chordoma yang menyerang tulang ekor. Tumornya meremas saraf kaki, karena itu aku tak bisa jalan."
Edo membuka mulutnya, tapi aku mendahuluinya berbicara.
"Dan ada tumor yang menekan liang peranakan, membuntunya. Mana bisa berhubungan intim?"
Aku tertawa, dia tersenyum masam.

"Oke, oke, aku bisa menerima penolakanmu. Tapi, kau harus ikut reuni!"
"Banyak hal tak bisa kulakukan sendiri ...."
"Aku akan membantumu naik turun kendaraan," potongnya.
"Termasuk ke kamar mandi?"
Aku tertawa lagi.

"Biasanya, siapa yang membantumu?"
"Pembantu."
"Kita ajak dia."
"Selama reuni? Kita kan harus datang sendiri. Aku tak tega meninggalkannya di hotel sendirian."
"Kalian menginap di rumahku. Ada pembantuku yang akan menemaninya," tutupnya tak mau dibantah lagi, "ayo! Persiapkan pakaian dan perlengkapanmu!"
Aku mengangkat bahu, tak berdaya.

"Siapa nama pembantumu? Aku mau memesan tiket pesawat."
Tak lama kemudian.
"Penerbangan sore ini penuh. Kita pergi besok pagi."
"Reuninya kan besok malam?"
"Ya, waktunya mepet."
Ya ya ya, teman-teman, sampai jumpa besok.

Surabaya, 31 Maret 2022

***

Ada sedikit perbedaan dengan kisah hidup Aline, tapi membaca cerpen itu serasa membaca kisah nyatanya.
Aku terharu, tak terasa mataku basah.

"Line," aku meneleponnya, "selain cerpen yang menang lomba, mana lagi ceritamu? Aku ingin membacanya."

Surabaya, 16 Oktober 2022
#NWR

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang