24. STADIUM EMPAT

93 8 3
                                    

Hampir empat bulan Jacqueline pindah ke Citraland. Terbiasa melihatnya setiap hari membuatku didera rasa rindu. Akhirnya aku ngotot minta Alvin membawaku ke sana di pagi hari saat berangkat kerja, dan menjemput ketika pulang.

Sampai di rumah Aline masih pukul tujuh lewat sedikit, Alvin langsung melajukan mobilnya pergi setelah aku dibukakan pintu.
Pujaanku baru selesai diseka, dan aku akan menemaninya sampai dijemput anakku di sore hari.

Seharian bersama Aline, banyak cerita mengalir, salah satunya membuatku kaget.
"Ternyata aku sudah stadium empat, Ralf," katanya dengan nada seperti biasa, tak ada putus asa.
"Tahu darimana?"
"Minggu lalu Martini cerita."
"Lalu ...?"
"Lalu apanya?" Aline tertawa.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Biasa saja tuh," tuturnya cuek.
"Martini tahu darimana?"
"Dari dokter bedah usus yang bikin lubang di perutku. Sudah tiga setengah tahun, akhirnya tidak tahan dia memendamnya lebih lama."
Senyum di bibirnya tidak memudar.

"Kau inget pensil? Mulai dari HB, B, 2B dan seterusnya aku lupa paling tinggi berapa B."
"Setelah operasi, karena sering ditanya stadium berapa, akhirnya aku tanya ke dokter bedah tulang yang menanganiku. Waktu itu, mungkin tahun 2009, dia bilang aku stadium 2B."
Aku menahan napas, tak tahu harus berkomentar bagaimana.
"Dari 2009 ke 2018, sembilan tahun .... Naik dua level. Berarti kira-kira satu level per empat tahun."
"Ah, tidak pasti begitu. Banyak faktor," potongku.
"Sekarang ini 2022," lanjutnya mengabaikanku, "mungkin sudah stadium lima ...."
"Aline!" seruku setengah membentak untuk menutupi rasa haru. Kedua pelupuk mataku terasa panas, ada air mata yang mendesak ingin keluar.

"Woiii! Ralf!" serunya membalas bentakanku, "aku belum akan mati besok."
Aline tertawa terbahak-bahak.
Sialan! Aku hampir menangis, perempuan yang terbaring di ranjang dengan posisi setengah duduk itu malah tertawa.
Suaranya masih menggelegar. Full power.

"Ralf," katanya lembut, "dulu ... stadium empat itu stadium akhir, sebentar lagi mati. Tapi, itu sudah tiga setengah tahun lalu. Dan aku masih penuh semangat!"
"Kamu itu memang die hard, Line. Orang Jawa bilang angel matine, gak gampang mati."
Akhirnya aku bisa ikut tersenyum.

"Seperti Hepatitis, tahun tujuh puluhan hanya ada sakit kuning. Berikutnya muncul Hepatitis B, bahkan sepupu mamaku tahun sembilan puluhan meninggal karena Hepatitis C. Konon sekarang sudah sampai K."
"Ya," aku setuju, "corona saja sudah bermutasi, yang lalu disebut delta, yang sekarang merajalela disebut omicron."
"Begitu juga stadium kanker, pasti sudah berkembang entah sampai angka berapa.
Kembali ke pensil tadi, katakanlah aku sekarang stadium 5B, kan belum akhir? Masih ada 6B, 7B ...."

Surabaya, 18 Maret 2022
#NWR

Catatan penulis.
Belakangan ini hidupku datar saja, karena itu tak ada inspirasi melanjutkan kisah ini.
Ceritanya belum berakhir, karena aku masih hidup. Penuh semangat 💪.
Tidak percaya? 🤣🤣
Tinggalkan nomor ponsel, akan kutelepon supaya kau bisa dengarkan suaraku yang menggelegar!

Salam dari Kota Pahlawan.

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang