18. BLANK

237 20 0
                                    

Aku kaget, Jacqueline memasang di Facebook storynya foto pasangan berciuman hot. Biasanya ia jaim, tulisan-tulisannya memang masuk ranah erotica, tapi beranda Facebook biasanya bersih.

[Line] sapaku melalui pesan Whatsapp, [kangen].
[Kalo kangen, ke sini dong] balasnya.
Aneh, ini pasti bukan Aline. Dia di Jawa Timur, aku di Jawa Barat, tak bisalah aku tiba-tiba ke sana. Mungkin ponselnya dihack.
[Udah sampe mana] imbuhnya sekitar satu jam kemudian.
Aku bertambah yakin yang mengirim pesan bukan dia. Dari Bandung ke Surabaya, sekalipun langsung berangkat naik pesawat, tak mungkin satu jam tiba. Pesan itu kuabaikan.

Beberapa hari kemudian.
[Line, kau baik-baik saja? Kok aku teringat dirimu terus ya?]
[Ya, kunjungi aku, di Baruk Utara] balasnya, padahal rumahnya di Rungkut.
[Kau pindah rumah?]
[Terpaksa, karena digusur]
Aku tertawa, tapi tak kulanjutkan rasa ingin tahu ini.

Setelah seminggu, Aline mengirim pesan suara.
[Suara siapa, Line?]
[Keponakanku]
[Mereka datang?]
[Aku yang ke Bali]
Aduh, gubrak! Sudah dua tahun bedrest, tak mungkin tiba-tiba perjalanan jauh.

Waktu pindah dari Surabaya, aku dan Alvin keluar dari group Whatsapp berempat dengan Jacqueline dan Martini, yang dipakai komunikasi pesan makanan. Tidak merasa perlu menyimpan nomor ponsel adiknya, sekarang aku kelabakan. Untungnya anakku masih menyimpannya.
Adik Jacqueline menjawab telponku dengan isak tangis. Sudah sebulan Aline tidak perduli sekitar, ibaratnya handphone ia hang.
"Mana kakakku yang pintar? Yang bersamaku sekarang ini idiot, pakai banget!" tangisnya, "teman-temanku menyuruhku minta maaf, mengikhlaskan, mungkin kontraknya di dunia sudah habis."
Makin lama aku tak bisa mengerti yang dibicarakannya, bercampur tangis kata-kata yang diucapkannya menjadi tidak jelas.

Aku menelpon pembantunya.
"Aline kenapa, Mbak War?"
"Nggak tahu, Pak Ralf, tiba-tiba saja seperti ini. Mbak Martini tiap hari menangis."
"Masih mau makan?"
"Kalau tidak ditungguin, tidak makan, Pak."
"Tapi sudah tidak pernah muntah toh?"
"Kadang-kadang ...."
"Ia sadar?"
"Maksud Pak Ralf mati suri? Nggak, Pak! Masih bisa bicara, tapi kita tanya a, jawabnya bisa z."
Aku galau.
Betapa inginnya aku terbang ke Surabaya dan menjaga Jacqueline.

[Bu Aline masuk rumah sakit, Pak.] Mbak War mengirim sms, aku langsung menelponnya.
"Mengapa perlu masuk rumah sakit?"
"Sering muntah-muntah, tidak bisa makan."
"Bagaimana kondisinya?"
"Saya belum dapat kabar dari Mbak Martini."

Malamnya aku menelpon Martini, menanyakan kabar kakaknya.
"Sudah nggak muntah, sudah bisa makan, tapi dokter nggak punya obat menyembuhkan idiotnya."
"Hus!" bentakku refleks, adik Aline tertawa getir.
"Loh, bener kok. Dokter internist yang merawat Jacqueline memberikan tes mudah, tapi ia tak bisa menjawab."
"Tes apa?"

"Seratus dikurangi tiga, Aline tertawa. Bukan mentertawakan pertanyaannya, tapi seperti mengulur waktu untuk berpikir, sebelum akhirnya menjawab dengan benar, sembilan puluh tujuh."
"Sembilan puluh tujuh dikurangi tiga? Sekali lagi Aline tertawa, tapi masih bisa menjawab dengan benar, sembilan puluh empat.
Begitu juga saat dikurangkan tiga lagi ... sampai sembilan puluh satu dikurangi tiga ....
Jacqueline masih tertawa, tapi menggelengkan kepala tanda menyerah, tidak tahu Dok, lupa."
"Kan keterlaluan banget!" Martini bercerita sambil tertawa bercampur tangis.
Aku juga tidak percaya, tapi kejadiannya nyata.

*

Beberapa hari di rumah sakit, Aline boleh pulang, tapi masalahnya belum selesai, ia tidak mau minum obat.
"Kenapa?" tanyaku.
"Katanya tidak bisa menelan. Sudah dihancurkan dan diberi sirup, kupaksa diminum. Walaupun murah karena pakai fasilitas BPJS, kan tetap sayang dibuang." Martini mengomel, "tapi malah muntah!"

Obat kimiawi tidak mempan, dicarikan alternatif lain. Martini meminta adiknya yang di Lombok datang membawa anak-anaknya. Waktu itu pertengahan Maret, sudah ada pandemi Covid, tapi belum ada larangan terbang dan aturan PSBB, baru himbauan memakai masker.
Mereka datang hari Sabtu, tanggal 21 Maret 2020. Sejak Senin sebelumnya, dua tiga kali sehari Aline menanyakan sudah hari apa.

Keponakannya datang, semangat Jacqueline bertambah, bisa makan banyak, dan nyawanya kembali!
Lalu ... masuk rumah sakit lagi, ICU.
[HAH?] Aku kaget.
[Sekarang masih di IRD, belum ditransfer.]
[Masalahnya apa, sampai masuk ICU?]
Awalnya mual seperti maag kambuh, Aline menduga lambungnya protes, biasa makan sedikit, selama ada keponakannya porsi makan menjadi normal. Ia juga lemas, tak punya tenaga, karena itu minta masuk rumah sakit. Keputusan yang tepat, tensinya drop 70/60, bila tidak segera ditangani, turun terus sampai pagi, bisa lewat deh.

Tiga hari di ICU, pindah ke IRNA, disapa perawat, "Bu Aline masih ingat saya?"
Dengan bangga --karena masih bisa mengingat-- disebutkannya nama perawat itu, padahal sudah satu setengah tahun mereka tidak bertemu.
"Nah, ini memang Bu Aline."
Jacqueline merasa heran dengan responnya, bertanya ke Martini apakah selama blank sempat masuk rumah sakit.
[Ia menjelaskan dengan ketus.] Aline mengadu kepadaku.
"Pantas nggak, kau diketusi?"
"Ya, kalau aku di posisinya, bisa ketus juga sih." Ia tertawa.

Dua hari di IRNA Aline sudah boleh pulang, sekarang kondisinya stabil, aku bisa menarik napas lega.

*

[Ralf, aku minta alamatmu.]
[Kau mau ke sini?]
[Nggak. Novelku ada yang terbit, aku mau kirim satu untukmu.]
[Ooo, kirain .... Btw makasih ya.]

Surabaya, 6 Juni 2020
#NWR

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang