22. CEMBURU DAN CORONA

115 11 0
                                    

Ada dua teman Jacqueline datang berkunjung, membawakan lontong kupang dan sate kerang.
Keduanya masih muda, akhir tiga puluh atau awal empat puluhan. Merasa tidak dianggap, aku pamit pulang, apalagi tak ada tempat untukku, mereka duduk di ranjang yang biasa kupakai rebahan.

Datangnya sekitar setengah empat, tapi sampai setengah tujuh mereka belum pulang. Mbak War pulang setengah lima seperti biasa.
[Siapa nanti yang bukain pintu pagar?]
Tak ada balasan, sepertinya mereka mengobrol seru.
Aline selalu begitu, ponsel diabaikan bila ada tamu.

Mendekati pukul tujuh mereka pulang, ternyata pintu pagar tidak dikunci, gembok hanya dicantolkan saja. Jacqueline tidak suka gembok semacam itu, dulu ia memakai gembok yang kuncinya tidak bisa dicabut bila gemboknya terbuka.
Sebelum sempat aku mengirim pesan ataupun menelpon, Martini datang. Adik Aline memang selalu datang menjelang pukul tujuh. Maklum, membelah kota dari barat ke timur, malah agak ke selatan sedikit. Kantornya di Jl. HR. Mohammad, lebih ke Barat dari Jl. Mayjen Sungkono.

**

"Siapa tamu-tamu kemarin, Line?" tanyaku besoknya.
"Teman-teman penulis," jawabnya.
"Keduanya penulis?"
"Ya."
"Tinggal di Surabaya?"
"Cuma satu, lainnya di Solo. Kenapa?"
"Kepo."
"Bukan cemburu, kan?" godanya, aku tertawa.

Rasa cemburu itu muncul menjelang pergantian hari, aku melihat pose mesra foto-foto Jacqueline dengan kedua tamunya.
Ingin protes, tapi apa hakku? Aku kuatir dia malah marah ....

"Kasihan Papaku ini," kata Alvin waktu aku mengadu.
"Kalau aku menikah, aku tak akan cemburuan begitu, Pa, karena aku sudah puas bermain sebelum menikah. Berteman dengan lawan jenis itu biasa, Pa, jangan cemburu. Lagian, Aline kan invalid. Selain Papa, lelaki mana lagi yang mau mendekatinya?"
Aku tidak memotong kalimatnya yang panjang, walaupun hatiku ingin membantah.

**

Hasil swab Martini positif, Jacqueline panik, kuatir siapa yang akan mengurus bila masuk rumah sakit. Apalagi bila ia juga harus dirawat, siapa yang mengurus, biasanya selalu adiknya.
"Kan ada aku, Line."
"Lalu? Kalau ditanya hubungan kita?"
"Aku bilang saja, aku suamimu ...." sahutku sambil tersenyum lebar.
"Kau tahu kenapa LGBT gigih memperjuangkan bisa menikah?"
Aku menggeleng.
"Pada saat kondisi gawat di ICU, hanya keluarga yang bisa menandatangani surat untuk melepaskan alat bantu. Kalau tidak menikah, kan secara hukum mereka tak ada hubungan kekerabatan."
"Kau terlalu banyak berpikir," hiburku, "tidak semua pasien covid yang masuk rumah sakit pulang tak bernyawa."

Kekuatirannya beralasan, awal 2021 itu berita-berita yang muncul adalah berita duka. Apalagi ada teman kuliahnya yang memakai ventilator.
Aku ikut bersyukur, Martini bisa sembuh dengan isolasi mandiri, pisah kamar dengan Aline. Seharusnya aku tetap bebas bertandang ke sana, tapi Alvin menentang keras, sangat menguatirkanku. Terpaksa aku berkomunikasi jarak jauh, layaknya pasangan LDR.

Setelah Martini sembuh, mulailah sana-sini menyelenggarakan vaksin. Aline ditolak dengan alasan komorbid, ada penyakit bawaan. Aku disarankan konsultasi ke dokter, dan entah kenapa tidak merekomendasikan vaksin. Aku tidak ngotot, juga tidak bertanya.
Hidup berjalan seperti biasa.

***

Suatu hari Aline tampak murung. Biasanya ia tidak memperdulikanku karena sibuk dengan ponsel, tapi kali ini hanya termenung, melamun.
"Apa yang mengganggu pikiranmu, Line?"
Aline tidak langsung menjawab, ia menarik napas panjang.
"Seorang teman SMP meninggal," katanya setelah beberapa lama.
"Cowok?"
"Ya," desahnya penuh kesedihan.
"CLBK?" tanyaku tersenyum, "cinta lama belum kelar."
"Cerita lama belum kelar," koreksinya menarik napas panjang lagi.
Aku diam, menunggunya melanjutkan cerita.

"Yuki temanku SMP ...."
"Wow! Cinta monyetmu?"
"Tapi bukan cinta pertama, karena aku jatuh cinta pertama kali di umur sebelas ...."
Aku tertawa, "seperti lagunya Farid Hardja, Karmila."
Aline tersenyum masam.
"Bukan jodoh. Walaupun bukan ranking pertama, nilai-nilaiku di peringkat atas, sedangkan Yuki hanya rata-rata. Mungkin itu yang membuatnya minder mendekatiku."
Ia menarik napas panjang lagi.
"SMA Yuki pindah ke Surabaya. Ia tidak melanjutkan kuliah, harus bekerja karena sudah yatim piatu. Mungkin karena itu ia masih minder. Hanya memantauku dari jauh, tak ada keberanian pendekatan."
"Waktu aku punya pacar, iapun berpacaran dengan adik temannya, yang lebih muda, lebih cantik, dan bodynya lebih bagus dariku.
Lulus kuliah aku putus, lalu ingat dia, berusaha telepon tapi tak pernah ketemu. Ternyata ia sibuk mempersiapkan pernikahan.
Aku tidak hadir karena bekas pacarku menolak menemani. Sejak pacaran, aku menutup diri dari teman-teman cowok. Jadi, tak ada yang bisa kuajak.
Itu menimbulkan salah paham, dipikirnya aku masih ada rasa kepadanya."
Aline menarik napas panjang lagi.

"Kontakku dengan Yuki on and off. Terakhir aku minta maaf karena pernah memaki-makinya. Saat itu, bicara panjang lebar di telepon, akhirnya ia percaya aku sakit. Ajakannya bertemu hilang dihembus angin."
Aline tertawa getir.
"Merasa sakit hati, nomornya sempat kublokir, walaupun kubuka lagi setelah beberapa bulan. Belakangan akun facebooknya kuunfriend. Percuma kan, tidak ada interaksi?"
"Lalu, aku melihat foto-foto teman SMA yang mengenalnya, sesama karateka. Kostum karateka membuatku teringat kepada Yuki, kuintip akunnya ... dan aku terkejut!"
Hampir kutanyakan mengapa, aku tak sabar ingin mengetahui kisahnya.
"Seorang teman SMP menuliskan di beranda Yuki, ia sudah meninggal seratus hari."
"Kau sedih? Kehilangan?"
"Kaget dan ada sedikit penyesalan, tapi bukan merasa kehilangan."

**

Kita tak pernah tahu umur manusia. Sebelum dijemput, sebaiknya kita tetap menjaga silahturami, agar tak ada penyesalan seperti yang dirasakan Aline.

Surabaya, 3 Januari 2022
#NWR

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang