25. MENANTU IDAMAN

111 4 0
                                    

Dua kali seminggu Martini tidur di rumah sebelah, dan kudengar kesibukan di sana, perabot-perabot digeser, dan lain-lain.
Lalu ada seorang laki-laki datang menemui Martini, sepertinya calon kontraktornya. Setelah itu ... tak ada kelanjutannya, Martini tak pernah lagi menginap.
"Mengapa?" kutanyakan ke Aline.
Ternyata si pembantu yang merawat Aline berhenti.

"Kok gitu?" tanyaku via telepon, tak sabar kalau bertanya melalui pesan WhatsApp, "bukannya awalnya menantang teken kontrak tiga tahun?"
Aline tertawa ngakak.
"Jangankan tiga tahun. Kuberi kelonggaran pulang setahun sekali saja nggak kesampaian. Ini loh masih kerja tujuh bulan."
"Nggak dikasih THR dong."
"Yo, nggak! Waktu itu sudah kutanya, mau THR waktu lebaran atau akhir tahun? Soalnya kan dia mualaf."
"Dan dia pilih akhir tahun?"
"Ya. Soalnya aku akan berikan sebulan gaji untuk masa kerja full dua belas bulan."
Entahlah apa masalah yang membuatnya ngotot pulang sebelum tahun ini berakhir.

Aku minta diantar Alvin ke rumah Aline lagi, rindu.
Ternyata yang membukakan pintu mbak War.
"Loh, Mbak War di sini?" sapaku ramah.
"Cuma dua kali seminggu, Pak Ralf."

Sayup-sayup kudengar suara lelaki di kamar Aline.
"Ada tamu?" tanyaku.
"Iya, Pak. Non Martini sedang pergi."

"Tau, nggak. Kamu itu menantu idaman Mamaku," kudengar suara Aline. Aku yakin ia sedang memandangnya sambil tersenyum manis. Pujaanku itu paling pintar membuat hati lelaki melambung.
"Mamamu mana tahu aku?" suara lelaki membantah.
"Akhir semester satu kan Yoga mengajakmu dan Leo ke rumahku?"
"Nggak inget, aku."
"Soalnya buat kamu itu momen nggak penting," Aline tertawa kecil.
"Buatmu penting?"
"Pastilah!" Aline tertawa, "tiga cowok datang ke rumah."

"Setelah kalian pulang, Mamaku menganalisa kalian bertiga. Leo kekanak-kanakan, aku dilarang pacaran dengannya. Yoga lagaknya orang kaya ...."
Aline tertawa, "kubilang. Ya, iyalah, Ma, itu mobilnya punya Yoga. Lalu Mama bilang, satunya itu yang pendiam, kelihatannya bertanggungjawab."
"Oh, ya?" Lelaki itu menyambung tawa Aline.

Aku masih berdiri di pintu ketika Mbak War menyodorkan sebotol jus jambu.
"Makasih," ucapku tanpa suara.

"Kubilang ke Mama, tak mungkin Ardi mau denganku. Dia kan sahabat baik Yoga, pasti tahu Yoga pedekate, gak mungkin menikung."
"Betul," lelaki itu mengiyakan, dan berdua mereka tertawa bersama.

"CLBK, ya?" kataku sambil melangkah masuk ke kamar.
"Ralf," sapa Aline, "kenalkan, ini Ardi, teman lama yang akan membongkar rumahku."
"Ar," ganti menoleh ke lelaki itu, "ini Ralf, tetangga sebelah di rumah Rungkut."
Kami bersalaman.

"Mana ada CLBK," Aline merespon ucapanku tadi, "aku dan Ardi nggak pernah ada hubungan apa-apa."
"Oooh, berarti aku salah dengar, atau salah paham. Rasanya kau bilang dia menantu idaman Mamamu."
Aline tertawa.
"Dengar itu yang komplit. Ardi teman baik Yoga, nggak mungkin menikung sahabatnya, misalnya pun ia naksir aku."
Kulirik Ardi, lelaki itu meringis salah tingkah."

"Ralf pernah ketemu Yoga?" tanya Ardi.
"Tidak secara langsung," Aline mendahului menjawab, "mobilnya parkir di depan rumah Ralf. Keluar masuk ke mobil, dia bisa melihatnya."
"Yoga sering mengunjungimu?"
"Mana bisa?" Aline tertawa lebar, "istrinya cemburuan begitu."

"Waktu itu ditungguin istrinya di mobil," kataku.
"Hah?" Ardi tertegun, "mana enak bertamu ditungguin begitu."
"Ya. Kira-kira sesudah satu jam ditelepon." Pujaanku ngakak.

Lalu mereka membicarakan perbaikan rumah, sementara aku memandang keduanya bergantian. Mencari-cari pandangan penuh cinta dari keduanya, tidak ada! Tapi, mengapa aku dilanda rasa cemburu, ya?

"Mbak War!" Aline memanggil, "tolong ambilkan klemben yang baru datang tadi, dua."
Dua klemben berbentuk hati itu diberikannya kepadaku dan Ardi, masing-masing satu. Ada senyum dalam hatiku, andai hanya lelaki itu yang diberi, pasti aku blingsatan ingin marah.

Obrolan mereka mengalir terus, aku tersisih. Sepertinya sudah lama sekali mereka tidak kontak. Ardi hanya teman Yoga, bukan teman main Aline. Terakhir mereka bertemu ketika Aline melayat nenek istri Ardi, waktu itu ia datang berdua almarhum suaminya. Berarti sudah tiga belasan tahun.

Aku mengamati postur Ardi, lebih tinggi dari Yoga, lebih atletis, tapi menyembunyikan wajan di perut. Aih, itu kan tanda-tanda tua yang kurang olahraga, aku juga begitu, malah ini panci, bukan sekedar wajan.

"Kau cemburu, Ralf?" tanya Aline setelah Ardi pulang, sambil tersenyum lebar.
"Kentara, ya?"
"Banget. Wajahmu itu tak bisa menyembunyikan isi hatimu."
"Bagaimana tak cemburu, ada lelaki mengobrol akrab denganmu."
"Aku kenal dia sudah empat puluh tahun, Ralf, jauh sebelum aku ketemu denganmu."
"Ya, ya." Aku mengangkat bahu.

Sampai di rumah aku masih terbayang sosok menantu idaman Mamanya Aline. Ardi memang menawan, di umur menjelang enam puluh ia masih gagah, sehat dan ramping.
Apakah aku dulu juga punya sosok menantu idaman? Entah, sudah lupa.

Surabaya, 7 Juli 2022
#NWR

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang