21. BIMBANG

144 11 5
                                    

#21+

Aku menyayangi Aline, ingin merawatnya, tapi tak punya cara menghadapi penolakannya.
"Apakah kau masih mencintai almarhum suamimu?" tanyaku suatu ketika, "sehingga kau selalu menghindari ajakanku menikah."
"Mengapa ditanyakan, Ralf? Tidak cukupkah persahabatan kita ini?"
"Aku ingin selalu bersamamu, Line."
"Apa bedanya dengan sekarang?"
"Aku ingin bisa tidur memelukmu ...."
"Gak mungkin itu! Ranjang pasien semuanya ukuran single."
"Tiap malam kupindahkan kau ke ranjang biasa."
"Kau lupa, aku gak pakai kateter ...."
"Kan pakai pampers."
"Sering meluber loh!"

Aku hanya bisa menghela napas panjang, kewalahan menghadapinya.
"Lagian Ralf, aku tak bisa menjalankan kewajiban sebagai istri ...."
"Maksudmu ... sex?"
Perempuan itu mengangguk.
"Kan kau cuma diam saja, aku yang aktif."
"Ralf, di lorongku itu ada fistel .... Ada dinding yang ambrol ...." Aline tertawa, "aku tak tahu panjang maksimalmu, tapi aku yakin kau tak bisa masuk sampai full .... Mana enak?"

Ganti aku yang tertawa. Perempuan ini memang tak terduga, hal seperti itu bisa dipakai bahan bergurau.
"Line ...," panggilku pelan, mendekatkan wajahku kepadanya.
"Mau apa? Cium?" Ia tertawa lagi, aku terdiam. Bisa-bisanya Aline merusak suasana romantis.
"Ralf, aku sudah lama tidak gosok gigi, mulutku pasti bau sampah. Lihat nih, gigiku sampai geripis."
"Dimana sikat gigimu? Mulai hari ini aku layani gosok gigi, ya?"
"Nanti malam aku tanya Martini, entah diletakkan dimana. Sudah terlalu lama ...."
"Kalau begitu, kuminta Mbak War belikan yang baru."
Aku langsung mengambil keputusan, tidak mau ditolak lagi.

***

Setelah seminggu gosok gigi tiap hari, kutanyakan apakah ada perubahan.
"Mulutku terasa lebih segar," sahutnya.
Aku tersenyum senang.

"Lalu ... tentang itu ...," aku melirik ke arah pusat tubuhnya.
"Jelas tidak bisa!" Aline tersenyum lebar.
"Yakin, tidak bisa diperbaiki? Besok kuantar periksa ke rumah sakit, ya."
"Blom lagi ini," tunjuknya ke perutnya, "lagi ena-ena lalu kautindih ... ambrol."

***

"Aline betul, Pa," kata Alvin waktu aku mengadu, "mestinya Papa cari perempuan yang sehat jasmani rohani."
"Contohnya ...."
"Martini!" jawabnya mantap. "Lebih baik Papa menikah dengannya daripada Aline. Masih bisa serumah dengan Aline juga."
"Nggak mau! Selama Martini dekat denganmu, apa blom pernah kau grepe-grepe?"
"Pa!"
"Kau normal, kan? Kulihat Martini itu hot, pasti pernah kaumanfaatkan."
Alvin ngakak.
"Apakah itu yang membuatmu mundur? Kau berharap ia masih perawan?"
"Perawan tua biasanya antik, Pa. Kuper dan tidak modis."
"Hmmm ...."

"Martini hot, kata Papa?" Alvin menyeringai, "berarti Papa ada rasa tertarik, kan? Kan?"
"Alvin!" seruku, "aku mencintai Aline!"
"Tertarik dan mencintai itu dua hal yang berbeda," anak sulungku ngotot. Mengapa?
"Nggak mau!"
"Pasti Papa kuatir aku ke kamarnya ngajak selingkuh ketika Papa asyik dengan Aline."
Alvin tertawa jahil, aku cemberut.
"Itu kalau Martini mau!" ketusku.
"Ya pasti maulah," sahutnya kepedean, "aku lebih muda, pasti lebih kuat tanpa minum Viagra ...."
"Alvin!"
Perjaka tua itu tertawa terbahak-bahak.
Sialan!

"Pasti sudah pernah test drive," tuduhku.
"Pa," mimiknya berubah serius, "aku dan Martini melakukan yang biasanya dilakukan pasangan pacaran. Aku menjauh karena kulihat Papa tak terpisahkan dengan Aline."
"Bayangkan rumitnya keluarga kita kalau aku menikah dengan Martini dan Papa dengan Aline," imbuhnya sambil tertawa, "aku panggil istriku tante, karena dia adik ibu tiriku. Aline panggil Papa om, karena mertua adiknya."
Sialan!

Surabaya, 14 Nopember 2021
#NWR

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang