19. SUSTER GENIT

559 16 0
                                    

"Sekarang ada suster kok, Pak Ralf, jadi bisa mampir jam berapa saja," kata Warti saat kutelpon.
Aku berhasil merayu Alvin supaya cuti seminggu dan mengantarku ke Surabaya. Aku kangen Jacqueline.
"Kenapa pakai suster, kondisinya memburuk?" tanyaku kuatir.
Waktu terasa berjalan lambat, aku masih di ruang tunggu bandara di Bandung.
"Cari suster sudah Maret lalu ketika untuk miringpun butuh dibantu. Namun susternya tidak segera berangkat, datangnya baru kemarin."
"Kalau sudah tidak butuh, kenapa diterima?"
"Yang bisa menjawab ya Bu Aline, Pak."
Warti menyudahi percakapan, ia sedang bekerja di rumah yang lain.

Dua hari di Surabaya, Alvin kembali ke Jakarta, menitipkanku ke Martini. Ia kuatir tidak bisa masuk ke Jakarta lagi karena pandemi Covid 19, ada wacana ibukota akan di-lockdown.
Aku sudah bisa jalan dengan walker, tidak masalah sendirian. Namun situasinya berbeda dengan tahun lalu, ada suster, Aline tidak lagi membeli makanan, Anita --susternya-- disuruh masak.
"Walaupun tidak selalu cocok," keluhnya, "sering keasinan. Sialnya, bukan ditambah air tapi dikasih gula. Yukz, jadi manis."
Aku ikut makan masakannya, memang sih, caisim baso kuah rasanya seperti minum sirup, maniiisss.
"Kok nggak ditegur?" tanyaku. Aku sih merasa tidak berhak menegur.
"Males! Alasannya banyak. Dan pasti menyangkal."

Setiap pagi aku sarapan bersama Aline, di kamarnya, lalu mengobrol sampai makan siang. Dengan adanya Anita, Warti lebih banyak menganggur, karena itu kami mindahtugaskannya di rumahku.
[Atau kau mau Anita yang membersihkan rumahmu?] goda Aline.
Tidak mungkin kulakukan itu. Suster bohay itu tampaknya genit walaupun suaranya sengau. Dia fotogenic, tampak cantik di foto profil Whatsapp. Sayang tidak dibarengi sikap yang baik.
Suatu siang aku membeli gelato via aplikasi ojek online, ingin membaginya dengan Aline. Anita sedang tidur siang di lantai, kaki ke arah jalan. Astaga! Walaupun memakai celana selutut, tetap saja tak pantas, menurutku. Mestinya kepala yang ke arah luar. Aku memutuskan membawa pulang kembali gelato, besok pagi saja kuberikan saat sarapan.

"Bagaimana kerja Anita, Mbak?" tanyaku ke Warti.
"Sepertinya lumayan, Pak, tapi saya tidak suka gayanya yang seperti majikan ke saya."
Itu cerita Warti, lain lagi keluhan Aline.
"Aku bosan dengan keluhannya. Dan berusaha berhutang terus."
"Ada Warti dan Anita, pengeluaranmu kan dobel?"
"Di desa Mbak War, yang datang harus karantina dua minggu, karena itu aku butuh Anita."
"Kemarin aku dengar dia menelpon, bilang mau pulang lebaran."
"Ia belum kasih keputusan kepadaku. Aku sudah kasih alternatif, pulang lebaran dan jangan kembali lagi. Atau kerja dua bulan sampai 21 Juni."

"Kata Mbak War ia punya pinjaman ke kamu."
"Iya," Aline tertawa, "aku sudah banyak mendapatkan berkat, jadi ketika ada dorongan di hatiku untuk menolong seseorang, ya aku lakukan."
"Maksudnya?"
"Waktu aku kontak Anita, ia sedang bekerja merawat orang sakit juga. Selain menunggu penggantinya, ia juga punya hutang ke majikannya. Supaya ia bisa segera berangkat, aku kasih dia pinjaman."
"Berapa?"
"Satu setengah juta."
"Kalau dia hanya bekerja dua bulan, bagaimana ia membayarnya?"
"Gajian bulan pertama ini ia akan cicil lima ratus ribu. Yang berikutnya belum dibicarakan."
"Tapi aku sudah mengikhlaskannya kok," imbuhnya, "aku sudah mantap mempekerjakannya hanya dua bulan saja."
"Mengapa?"
"Dari awal ia cerita orang tuanya yang sakit-sakitan. Kalau sampai mereka sakit, ia pasti pulang, tak ada yang bisa menahannya."
"Padahal," tambahnya, "Mbak War berniat baik meringankanku, ia minta berhenti setelah lebaran. Sudah ada majikan lama yang memintanya kembali."
"Coba bayangkan, Ralf," lanjutnya, "Mbak War sudah bekerja di tempat lain, Anita berhenti. Lalu aku bagaimana?"
Aku mengangguk-angguk mengerti.
"Aku sudah diskusikan dengan Martini, kami memilih Mbak War."

Pertengahan bulan puasa, Anita memberikan keputusannya, ia mau bekerja dua bulan, lebaran tidak pulang.
"Kalau mau pulang juga, mana bisa? Lagi lockdown. Kereta Api tidak jalan, bus tidak beroperasi."
Aku tertawa.
"Katanya sih kalau pulang mau minta dijemput suaminya pakai motor."
"Dia masih bersuami?" tanyaku kaget, "beberapa hari lalu tak sengaja dengar dia mesra-mesraan di telpon. Dari gayanya, aku menduga itu pacar, bukan suami."
Aline tertawa, susternya memang genit.

*

Masakan Anita memang lumayan enak, kecuali tumis sayur, sering kematangan.
Aku ikut bersyukur Aline tidak akan terus mempekerjakannya, seperti Warti cerita, dia bossy. Suatu hari bikin tumis kangkung tidak dikasih lombok merah, tentu saja Aline mengomel. Eh dia bisa balas mengomel, katanya ia susah mengingat mana tumis yang dikasih lombok merah mana yang tidak.

"Aduh, panasnya, Bun," keluh Anita suatu hari.
"Aku nggak terima keluhan kepanasan. Sudah tahu kamar pakai AC, kan bisa ngadem di sini. Nggak perlu sambat."
Aku hanya bisa tertawa.
"Rambate ratahari," gerutu Aline.
"Apa itu?" tanyaku, aku tahunya rambate ratahayo.
"Sambate gak mari-mari," jawabnya ngakak.

Warti pulang dua hari sebelum lebaran. Anita menawarkan diri membersihkan rumahku selama Warti libur. Aline melarangnya, pakaianku saja yang dicucikan di situ.
"Sisa hutangnya langsung dipotong habis dengan gaji bulan kedua?" tanyaku ingin tahu.
"Nggak. Terlalu berat untuknya dipotong sejuta."
"Jadi ...?"
"Supaya ia setuju kuberhentikan, yang sejuta itu kubebaskan," jawab Aline tanpa beban.
"Jangan melongo seperti itu, Ralf. Aku sudah banyak menerima berkat, yak ada salahnya sedikit berbagi."

"Ranjang rumah sakit ini ...," katanya menepuk tempat tidurnya, "beli bekas seharga lima juta. Ada teman Martini mencarikan sumbangan, terkumpul empat juta. Di hari pemgirimannya, ada kerabat memberikan angpao. Satu juta. Berarti gratis, kan?"
"Begitu banyak berkat yang kuterima, tak ada salahnya aku menjadi saluran berkat untuk Anita," lanjutnya, "bayangkan saja, pertama kontak dengannya, tidak kenal, kok bisa aku tergerak memberikan pinjaman saru setengah juta?"
"Dan ... ia tak segera berangkat, alasannya banyak. Anaknya sakit. Anak yang lain butuh uang untuk biaya sekolah. Ia harus mencari pinjaman dulu," imbuhnya, "sebenarnya tidak masuk akal, tidak punya uang kan harusnya segera betangkat, bekerja. Memangnya dengan diam di rumah uang akan jatuh dari langit."
Kami berdua tertawa.

"Lama tertunda, saat kondisiku sudah membaik, ia tiba-tiba mengabarkan dalam perjalanan ke Surabaya."
"Mengapa diterima?" tanyaku, "misalnya kau sudah punya suster lain?"
"Pikiranku menyuruh menolak, tapi hati kecilku sebaliknya. Ya, sudah, mungkin Tuhan menuntunku demikian."

*

Anita pulang 20 Juni. Saat itu bus sudah beroperasi, ia minta dipesankan ojek online ke Bungurasih.

Sebelumnya sempat heboh juga, karena ada info harus baea surat keterangan sehat. Aline mencarikan informasi klinik terdekat. Sudah diberitahu jalannya, ia masih ragu, kuatir tersesat.
"Walaupun aku tidak ikut punya suami, aku tidak suka," Aline mengomel.
"Kenapa?"
"Minta diantar Mbak War sore hari waktu pulang. Kan dijemput suaminya, eh dia bilang mau boncengan bertiga. Tidak sadar tubuhnya segede panda!"
Aku tertawa.

Masih ada lagi omelan Aline, katanya Anita mau ke rumah saudaranya di Mojokerto, menginap semalam. Minta ijin bawaannya titip dulu, Minggu minta suami Warti antar ke Bungurasih.
"Aku merasa ia berusaha mendekati suami Mbak War," kata Aline, "padahal akhirnya ia mengaku kalau ke Mojokerto menemui pacarnya."
Menghindarkan hal ini, Aline meliburkan Warti dua hari supaya Anita tak ada kesempatan merayu untuk titip bawaannya.

Surabaya, 7 Juli 2020
#NWR

TETANGGA SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang