Bab01_Awal Pertemuan

72 78 36
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kamu tahu? Bahwa di setiap langkah kaki manusia banyak drama yang akan selalu meninggalkan kenangan indah, dan untuk esok, lusa belum tentu sama dengan drama indah di hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamu tahu? Bahwa di setiap langkah kaki manusia banyak drama yang akan selalu meninggalkan kenangan indah, dan untuk esok, lusa belum tentu sama dengan drama indah di hari ini.
~Safa~

Juni-2016


D dalam keramaian sore harinya. Safa menghirup napas panjang. Ia berdiri di lantai majelis. Menikmati sensasi suasana di pesantren baru, sebelum matahari terbenam meninggalkan langit. Berganti dengan awan gelap gulita malam yang akan tiba.

Sore itu, yang di lihat banyak sekali langkah kaki yang di lakukan manusia, berlomba-lomba mandi, berlomba-lomba siapa cepat masuk majelis, bahkan canda hingga tawa yang akan menyisihkan kenangan semata. Hari ini, sabtu sore, dan untuk esok atau lusa belum tentu akan bertemu lagi dengan drama yang sama.

"Santri baru?" kalimat pertama yang keluar dari mulut seorang laki-laki melontarkan pertanyaan. Dua pasang kelopak mata asing bertemu saling tatap, senyuman manis dari bibirnya melengkung berbentuk hati, baju kemko kuning langsat dengan lengan baju terlipat, serta sarung hitam sebagai paduan warna, kopyah putih dengan sedikit menonjolkan rambut poninya. Safa kikuk manatapnya tersipu malu.

Daffa Raid Qadafi, namanya. Laki-laki yang berdiri tepat di depan Safa itu bukan santri biasa pada umumnya, melainkan laki-laki terpandang dikalangan pesantren. Santri yang sudah diangkat sebagai bagian dari tanggung jawab pesantren, sekaligus guru pelatih ilmu tajwid. Sifat sopan, lemah lembut yang dimiliki Daffa menarik perhatian para perempuan, termasuk Safa.

"I-iya." Suara Safa gelegapan, senyumannya berbentuk garis lurus, setelahnya membuang pandangan kearah bawah. Seakan-akan ia malu dengan kehadiran Daffa di hadapan.

Saat itu, sore hari. Jadwal latihan penarikan napas untuk sang calon peng qori putri. Maka seluruh santri diwajibkan untuk kumpul di majelis, baik santri baru atau santri lama, tapi pada waktu itu santri baru hanya ada Safa seseorang. Tidak ada yang lain.

Daffa mengulum senyum. Ketika keduanya saling pandang mata di tempat yang sama.

"Oh santri baru, namanya siapa?" Tak henti-hentinya Daffa terus menyunggingkan senyuman manis memperlihatkan gigi putihnya.

Daffa itu laki-laki misterius, banyak menyimpan tanda tanya. Terlihat sosoknya humoris suka becanda membuat siapa saja tertarik. Walaupun humoris tapi para santri tetap menyegani.

Safa tertegun di hadapan Daffa dengan jarak tidak jauh darinya. Hanya ada kursi kayu sebagai pembatas, bahkan ia juga mencium wangi parfum yang menyeruak masuk ke dalam hidung. 

Beberapa kali menelan ludah. Ia segan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan laki-laki itu.

"Safa Durratul Jinan, panggil aja Safa,” balas Safa singkat. Bukan malas membalasnya demikian, tetapi benar-benar segan dan takut.

Cinta Yang Telah Usai (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang