Bab12_Senja Pergi

29 44 14
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa kabar?

Malam gelap gulita, Safa berdiri di balkon rumah menatap langit tanpa bintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam gelap gulita, Safa berdiri di balkon rumah menatap langit tanpa bintang. Ia menangis tersedu-sedu, derai air mata semakin berjatuhan melintasi pipi tirus, membasahi jilbab lebar sebagai bukti, bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Tangan beningnya menyeka air mata dengan perlahan, sesekali mata sendunya menerawang ke atas melihat langit hitam pekat. Di mana saat sore
itu senja pergi meninggalkan langit yang telah rela menerima dia apa adanya, lalu menghadiahkan segumpal luka lewat ketenangan angin malam.

"Saf, kita udahan, ya?"

Kata itu masih terngiang-ngiang dalam benak begitu sakit. Hal paling menyakitkan di tahun 2019, minggu malam. Daffa mematahkan hati menghancurkan kehidupan. Dan kata itu adalah perkataan menyakitkan pertama kalinya yang di lontarkan mengatakan ingin mengakhiri. Sebelum dia masuk ke dalam hati kecil Safa, sebelum membangun ikatan cinta, hidup tak serumit ini, justru tampak lebih indah sebuah pertemanan dari pada harus melibatkan perasaan cinta.

"Maksudmu apa, Daf?"

"Cerita kita akhiri saja sampai sini, Saf."

"Kenapa, Daf?"

"Aku tidak mau, aku tidak mau, Daf,” tambah Safa.

Safa meremas ujung jilbabnya, kepalanya menunduk penuh tanya. Namun, enggan untuk bertanya alasan permintaan Daffa ingin mengakhiri. Karena sebelum mengatakan hal ini, sudah tahu. Ada Alina yang berhasil membawa keluar dari hati ini.

"Tapi, jika di lanjutkan pun tidak akan benar untuk ke depannya, Saf. Kamu terlalu mengekang hidupku membuat aku tidak nyaman berada di dalamnya. Aku ingin kebebasan tanpa harus ada kekangan. Maka sekarang dan seterusnya kita masing-masing saja dulu ya, Saf." Alasannya.

Safa ingin menjerit mengatakan 'tidak mau'. Namun, lidah dan bibir ini kelu tak mampu mengatakan apapun lagi. Jika mengatakan pun tak akan di dengar Daffa akan tetap menghempaskan. Akhirnya naluri memilih mengiyakan semua hal yang menyakitkan, menanggung semua beban yang berat untuk melangkah pergi darinya.

"Jodoh tidak akan kemana-mana, Saf. Jika kita dua insan di takdirkan untuk bersama. Aku yakin kita pasti kembali bersatu tapi bukan hari ini, melainkan suatu saat nanti. Untuk itu kita saling introspeksi dulu, ya, Saf. Kita perbaiki dulu letak kesalahannya masing-masing."

Sakit pilu menusuk hati. Jadi perjuangan selama dua tahun kurang ini hanya di anggap pelampiasan semata, di kala peran utama menghadiahkan segumpal luka. Karena pergi bersama seseorang, setelah mereka usai, berpisah, lalu mempunggutnya kembali? Kenapa semuanya terasa lucu bahkan ini sangat lucu. Mengapa tidak ada rasa trauma, bahwa tokoh utama yang pernah mengisi cerita di waktu itu memberi luka yang amat pedih. Sedangkan pameran pengganti yang telah membuatnya bangkit hanya di anggap angin lewat begitu saja?

Cinta Yang Telah Usai (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang