Izinkan aku memasuki duniamu yang gelap lalu akan kubawakan cahaya hingga kau tak lagi tersesat.
***
Rabu pagi seharusnya Nara bersemangat. Namun, mendung di wajahnya muncul mendengarkan cerita Rana tentang kehidupan Aidan yang baru saja ia tahu.Ternyata, lelaki itu sudah tidak memiliki ayah dan sedang mengalami kesulitan ekonomi, bahkan saat Rana sebagai bendahara kelas menagih uang LKS, Aidan tak bisa membayar dengan segera. Akhirnya Rana membantu meminjamkan uangnya.
Nara merasa miris. Ia yang mengaku begitu menyukai Aidan, nyatanya tak mengetahui apa pun, berbeda dengan Rana yang seperti sudah menjadi tempat ternyaman lelaki itu untuk mencurahkan isi hati.
Nara semakin merasa berkecil hati, juga kalah jauh oleh gadis itu, padahal tak seharusnya ia merasa sepicik ini. Justru ia patut bersyukur karena Aidan memiliki tempat untuk bersandar. Namun, namanya juga manusia. Ada perasaan egois yang menguasai hingga Nara ingin dirinya saja yang Aidan cari saat butuh.
Melirik lelaki itu yang sedang menidurkan kepala di atas meja, Nara menghela napas dalam. Aidan tidak pernah memperlihatkan luka dan dukanya. Justru selalu tampak ceria seolah tak memiliki beban dalam hidupnya.
Pintu terbuka. Bu Gista, selaku guru bahasa Indonesia berjalan memasuki kelas. Para siswa berlarian ke tempat duduk masing-masing.
"Silahkan ketua kelas, pimimpin do'a." Bu Gista melirik Irgi yang mengangguk lalu memberikan intrupsi pada anggota kelasnya.
"Baiklah anak-anak, seperti yang sudah ibu katakan minggu lalu, hari ini kita akan belajar tentang puisi." Guru muda itu berjalan ke arah whiteboard dan menulis kata puisi dengan huruf besar. Ia kemudian menatap ke arah anak didiknya bergantian. "Jadi, apa itu puisi? Ada yang mau menjawab?"
Satu persatu para siswa menyatakan apa yang mereka ketahui. Bu Gista bahkan memberikan contoh, bagaimana cara menulis puisi yang baik. Waktu setengah jam diberikan untuk membuat puisi. Berhubung Nara menyukai hal yang berhubungan dengan sastra, ia tidak terlalu kesulitan membubuhkan kalimat ke dalam kertas.
"Baiklah, berhubung waktunya sudah habis, ibu persilahkan buat kalian yang mau membacakan puisinya."
Siapa sangka, Aidan menjadi orang pertama yang mengangkat tangan. Lelaki itu dengan penuh percaya diri melangkah maju. Bukan hal aneh sebenarnya karena Aidan pandai perihal sastra, sama sepertinya.
"Puisi ini saya persembahkan khusus untuk Rana."
"Cieeee!"
"Uhuy Rana!"
Nara tersenyum miris lalu meraih buku dan mengipasi wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Ia melirik ke arah gadis yang namanya disebutkan Aidan tadi. Rana tersenyum kecil, tampak salah tingkah.
Nara menatap ke arah hasil tulis tangannya. Dengkusan kecil keluar dari bibirnya kemudian ia menutup bukunya. Hasratnya untuk maju ke depan kelas lenyap sudah, termasuk keinginan untuk membacakan isi hatinya untuk lelaki itu.
Melihat tatapan penuh terima kasih Aidan pada sahabatanya, Nara semakin merasa semua pintu tertutup untuknya. Tepuk tangan terdengar memenuhi kelas. Aidan tersenyum bangga karena karyanya diapresiasi.
"Siapa lagi yang mau maju?" tanya Bu Gista memberikan kesempatan kepada muridnya. Beberapa siswa sempat melirik ke arahnya, termasuk Aidan. Mereka tahu kalau dirinya pandai membuat puisi, bahkan kerap ikut lomba menulis online meski belum pernah menjadi juara.
"Anara?" Sang guru ikut menatapnya, tapi Anara segera menggelengkan kepala. "Eng-enggak Bu. Saya belum selesai," dustanya. Nara menurunkan bukunya dan memasukan ke laci. Merasa diawasi, ia menoleh ke arah tempat duduk pujaan hatinya. Benar saja, Aidan sedang memperhatikannya dengan alis mengernyit.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Aidan ✔️
Teen FictionKatanya, Aidan ingin memiliki pacar yang hebat, tapi Anara tak masuk kriteria. Lalu, kedekatan sang pujaan hati dengan sahabatnya menumbuhkan kembali semangat yang mulai sirna. Saingan Anara jelas bukan gadis biasa. Kirana dengan julukan siswi geni...