Apakah seseorang harus memiliki segalanya baru akan mendapatkan cinta dengan mudah?
***
Nara berjengkit kaget saat tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Si pelaku tak merasa bersalah sama sekali, malah dengan santai mengambil kripik kentang dari genggaman Anara, menambah kadar kekesalan gadis itu."Kak Dipta, bisa gak sih pake permisi dulu?" omelnya merebut kembali bungkus makanan tersebut, sedangkan Dipta hanya cengengesan.
"Tambah cantik deh kalau marah-marah."
Mengerjap, Nara memiringkan wajah disertai dengan mata yang memicing. Ucapan kakak sepupunya terdengar aneh. Dipta menghentikan kunyahan lalu menaikan sebelah alisnya.
Gadis itu menyentuh dahi Dipta. "Gak panas kok," gumamnya kemudian mengangkat tangan, menunjuk Dipta dengan pandangan curiga. "Jangan-jangan- oh my God!" Mata Nara membola, bahkan sampai menutup mulutnya. "Kak Dipta gak naksir ak-aduhduh sakit." Nara mengusap dahinya yang disentil Dipta, suaranya berubah manja.
"Siapa suruh ngomong sembarangan, walapun lo cantik kayak primadona, Gue gak akan kayak gitu. Bayangin aja udah geli." Lelaki itu bergidik.
Nara setuju. Ia juga tidak akan dan tidak mau. Meskipun mereka hanya sepasang sepupu, tapi tetap saja Nara tak bisa membayangkannya.
Tersadar akan sesuatu, gadis itu melirik ke penjuru kantin. Beberapa siswa sempat mencuri pandang. Pasti berpikiran aneh tentang mereka. Nara menunduk, menatap penampilannya lalu beralih pada Dipta dan mengembuskan napas berat.
Seragam kakak sepupunya mencuat keluar, celana dibuat press body lalu sabuk berwarna putih, bahkan kalau ke sekolah hanya membawa tas kecil yang menurut Nara seperti tasnya tukang kredit. Huh, dirinya harus memiliki stok sabar yang banyak. Dipta tak pernah mendengarkan omelannya yang meminta berpenampilan rapi.
"Jadi, Kak Dipta mau bicara apa?" tanya Nara setelah menghabiskan es teh miliknya.
"Gara."
Nara mengernyit. "Sahabat Kak Dipta kenapa?"
"Nanti kalau dia deketin lo, jangan ditanggepain ya?" Permintaan tersebut membuatnya tak paham. Mengapa lelaki itu melarang Nara menanggapi sahabatnya?
"Kenapa emang? Bukannya kalian ...," Nara tak melanjutkan perkataannya melihat anggukan sang sepupu.
"Kayaknya dia naksir, kemarin sempet nanya-nanya dan minta nomor lo," jelas Dipta membuat matanya membola. Gara memang cukup terkenal di sekolah. Ia memiliki suara merdu dan merupakan anak band. "Gue tahu dia dengan baik. Gimana sepak terjangnya mengenai masalah cewek dan dia gak cukup baik buat lo."
Nara terharu. Ia dapat melihat ketulusan Dipta yang berusaha melindunginya. Tersenyum, Nara mengangguk, percaya sepenuhnya pada lelaki itu. "Oke, aku paham."
"Bagus. Kalau gitu Kak Dipta pergi dulu," pamitnya lalu bangkit. Sebelum pergi, Dipta meninggalkan usapan di kepalanya. Nara berdecak, wajahnya berubah merah menahan malu. Ia senang diperhatikan oleh saudaranya, tapi tidak di depan umum juga, terlebih posisinya orang-orang tidak tahu hubungan mereka.
"Perasaan lo disamperin terus sama dia."
Nara yang hendak menyeruput minumannya menoleh, Aidan sudah berdiri dengan tampang sok cool-nya. Menyamarkan keterkejutannya, gadis itu melanjutkan kembali aktivitasnya meminum es teh.
"Kenapa? Masalah?" Nara dapat mendengar dengkusan dari lelaki di sebelahnya.
"Dari tadi lo gak sadar diliatin sama banyak orang?" tanya Aidan membuatnya memutar bola mata. Tolong ya, Nara sedang tidak ingin kegeeran dengan menyangka kalau lelaki itu sedang cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Aidan ✔️
Ficção AdolescenteKatanya, Aidan ingin memiliki pacar yang hebat, tapi Anara tak masuk kriteria. Lalu, kedekatan sang pujaan hati dengan sahabatnya menumbuhkan kembali semangat yang mulai sirna. Saingan Anara jelas bukan gadis biasa. Kirana dengan julukan siswi geni...