14- Hati yang Egois

88 19 24
                                    

Maaf, hati ini terlalu egois hingga berulang kali menorehkan luka.

***

Mendapatkan peringkat pertama adalah hal yang tidak mudah untuk Anara. Bukan dirinya tidak senang, hanya saja rasanya terlalu sulit mempertahankan dibanding berjuang untuk meraihnya seperti dulu.

Nara melirik ke arah bangku seberang. Gadis berpenampilan anggun sedang asik berbicara dengan temannya. Bulan kini menjadi saingan kuat Nara karena sama-sama mendapat peringkat pertama saat kelas sepuluh.

Gadis itu terlalu sulit dikalahkan. Nara bahkan pernah merasa sangat kesal karena beberapa guru tampak berat sebelah. Sebenarnya bukan Nara saja, melainkan teman-temannya yang lain juga mengatakan hal sama.

Terlihat sangat jelas. Mungkin karena Bulan memiliki beberapa saudara yang merupakan guru di sekolahnya, tapi tetap saja hal tersebut tidak adil. Bukan Nara asal tuduh. Bulan memang pintar, hanya saja beberapa perhatian berlebihan membuatnya dan yang lain merasa kurang nyaman.

"Ra, nanti siang mau latihan?"

Nara menoleh pada Lala yang sudah duduk di sebelahnya, padahal gadis itu tadi sedang latihan menyanyi untuk kegiatan Porseni yang berlangsung kurang lebih dua minggu lagi. Kebetulan Syanala mengikuti lomba menyanyi makanya kerap berlatih seorang diri saat jam kosong.

Sama halnya dengan Nara yang juga ikut perlombaan. Namun, dirinya memilih bidang olah raga. Setelah mengikuti seleksi minggu lalu, akhirnya Nara lolos dan menjadi satu dari dua kandidat siswa yang ikut lomba lari 400 meter putri.

Nara jelas sangat bersemangat. Olah raga adalah mata pelajaran yang sangat disukainya sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya beberapa orang sempat tak percaya dirinya mengikuti perlombaan tersebut. Mungkin karena wajah Nara yang tampak kalem jika dilihat dari segi manapun. Berbeda dengan Eliya, teman satu cabang perlombaannya yang terlihat tomboi.

"Iya, latihan lagi," jawab Nara sembari mengarahkan tatapan ke sekitar. Guru sejarahnya kebetulan tidak masuk dan hanya memberikan tugas. Nara sudah menyelesaikannya sejak tadi.

"Rana ke mana?" Nara tidak mendapati keberadaan sahabatnya sejak tadi. Biasanya Rana dan Lala selalu bersama.

"Dia ke perpustakaan sama Irgi."

"Pedekate?" tanyanya menahan senyum. Lala mengedikkan bahu. "Rana kayaknya nggak bisa buka hati, padahal Irgi baik banget, sabar lagi."

"Cinta emang nggak bisa dipaksain."

"Kayak perasaan kamu ke Alvaro?" Lala tersenyum jahil. Nara mengangguk. Meski akhir-akhir ini ia mulai merasa nyaman berdekatan dengan lelaki itu, tetap saja untuk menerima Alvaro rasanya masih sangat berat.

"Ra, sebenarnya aku mau nanyain ini dari lama," ujar Lala membuat atensi Nara teralih penuh pada sahabatnya. "Dari sekian banyak cowok yang ngejar-ngejar kamu, apa nggak ada yang kamu suka?"

Terdiam beberapa saat, Nara menggelengkan kepala.

"Lalu, siapa yang sebenarnya kamu suka? Aku sama Rana sebenarnya udah bertanya-tanya dari lama." Lala menatapnya dengan meyakinkan, meminta Nara untuk mempercayainya dan memberitahu.

Nara ingin memberitahu, tapi malu. Ia juga belum siap jika perasaannya diketahui orang lain. "Nanti aku kasih tau kalau saatnya udah tiba."

Lala berdecak meski kemudian mengangguk setuju. Ia tidak bisa memaksa hingga membuat Nara merasa tidak nyaman.

"Oh ya, udah buka grup nggak?" tanya Lala teringat sesuatu.

"Grup yang mana?" Gadis itu mengambil ponsel dari atas meja, membuka obrolan grup setelah Lala memberitahunya.

About Aidan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang