Waktu terus berganti. Namun, tidak dengan hati yang masih tetap menanti.
***
"Ra, dipanggil Pak Damar, tuh!"Nara yang sedang mencoret-coret bukunya berdecak. Tugas fisikanya baru terisi tiga dari sepuluh soal yang diberikan, sedangkan tugas tersebut harus dikumpulkan saat jam ke-empat berakhir.
"Irgi juga dipanggil?" tanyanya melirik bangku partner di pengurusan OSIS yang kini sudah kosong. Miya, sang lawan bicara hanya mengangguk lalu berlalu begitu saja.
Mau tidak mau Nara menutup bukunya, berjalan lesu menuju ruang tata usaha tempat Pak Damar berada. Ini yang membuat Nara malas mengikuti kegiatan organisasi. Apalagi jabatan yang bisa dibilang tinggi membuatnya harus pandai membagi waktu, terlebih seperti sekarang akan ada kegiatan bulan bahasa di sekolah.
Tak terasa, beberapa bulan telah berlalu. Nara sekarang sudah menjadi siswa paling senior dan sebentar lagi ia akan turun dari jabatannya sebagai wakil ketua OSIS.
Kini, tak ada lagi Dipta, sang kakak sepupu yang kerap mendatangi kelasnya untuk meminjam uang. Pula, beberapa tatapan beragam yang dilayangkan, serta ucapan orang-orang mengenai sepasang saudara dengan sifat berbeda jauh.
Nara melirik koridor yang sepi karena kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung. Untuk menuju ruang tata usaha, Nara harus melewati koridor kelas IPS terlebih dahulu.
XII IPS 1
Nara melirik tulisan di samping pintu kelas yang tertutup rapat. Samar-samar terdengar seseorang menyebut-nyebut kata siklus akuntansi atau apalah itu, ia kurang paham. Sebuah senyuman tersungging dibibir tipisnya. Dari jendela, matanya menangkap sosok lelaki yang tengah menyandarkan tubuhnya, tampak fokus mendengarkam penjelasan sang guru.
Tersadar, Nara kembali melanjutkan langkahnya. Lima menitnya telah habis hanya untuk memperhatikan sosok itu. Masih lelaki yang sama. Aidan Alif Muhammad.
Kali ini, Nara tidak merasa bersalah memandangi sang mantan gebetan. Apalagi setelah ia mendengar desas desus tentang Aidan yang baru putus dari pacarnya. Hubungan mereka bahkan tidak sampai setengah tahun.
Mendengar ketukan dari jendela kelas lain, gadis itu kembali menghentikan langkah. Nara menoleh lalu terperangah mendapati seseorang melambaikan tangan. Senyuman lebar terpatri di wajahnya.
"Cieee!"
Nara mengerjap, wajahnya memerah mendengar seruan gerombolan adik kelasnya dari dalam ruangan. Malu bercampur kesal menyatu dalam dadanya, sedang sosok di balik jendela malah cengengesan sembari menggaruk belakang lehernya.
Tak tahan lagi, Nara melengos sambil menghentakkan kakinya. "Septian, ish!"
***Pintu ruang tata usaha terbuka. Nara dan sosok berbadan tegap berjalan beriringan, bukan menuju kelas melainkan kantin. Pembicaraan dengan sang guru cukup lama hingga bel istirahat berbunyi. Nara sudah tidak memikirkan tugas fisikanya lagi. Mungkin ia dan lelaki di sebelahnya akan menyusul mengumpulkan tugas tersebut.
"Mau beli apa?"
Nara melirik partnernya sekilas lalu beralih menatap pada pedagang di depannya. "Siomay aja, deh. Kamu, Gi?" tanyanya balik.
Irgi sempat terdiam. "Batagor aja."
Setelah memilih menu masing-masing mereka mencari tempat duduk yang kosong. Beruntung masih ada bangku yang tersisa. Namun, Nara malah mendesah penuh sesal.
"Yuk, Ra!"
Mengangguk enggan, Nara terpaksa mengikuti langkah Irgi.
"Dan, kosong, 'kan?"
Lelaki yang dipanggil namanya menoleh lalu mengangguk. Ketika tatapannya bertemu dengan mata milik Nara, lelaki itu tersenyum.
"Hai, Ra!"
Nara terhenyak. Sapaan dari lelaki itu adalah hal yang ia rindukan sejak lama. "H-hai juga Aidan!"
Ragu, Nara mendudukan diri. Ia menahan napasnya menyadari posisi duduknya yang berhadapan dengan Aidan.
"Oh iya, Rana katanya udah putus sama Kak Adra, ya?"
Kunyahan Nara terhenti. Ia melirik Aidan yang tampak menantikan jawaban.
"Yaa ... katanya gitu, sih. Kurang tau juga," jawabnya tercekat. Tiba-tiba makanan di mulutnya terasa hambar. Memang kenapa kalau Rana putus? Mau deketin dia lagi?
Nara menyimpan sendoknya. Tatapannya beralih pada Irgi yang tampak mengunyah makanannya dengan tak semangat. Tentu ia tahu penyebabnya. Irgi sama sepertinya. Masih menyukai sang pujaan hati hingga saat ini, padahal sahabatnya terang-terangan menolak.
Tersenyum miris, Nara mengambil es teh dan menenguknya hingga tandas.
Rana, Rana dan Rana. Tak bisakah Aidan menanyakan kabarnya?
Lagipula, tak seharusnya Aidan menanyakan perempuan yang disukai sahabatnya.
Sebenarnya, apa yang salah dengan Nara hingga lelaki itu tidak bisa menatap ke arahnya?
***"Kamu nggak apa-apa, Gi?" Nara melirik Irgi yang sejak tadi hanya bungkam. Mungkin masih memikirkan perkataan Aidan di kantin tadi.
Irgi hanya mengangguk lesu. Seharusnya Nara tidak hanya bertanya pada lelaki di sebelahnya, tapi pada hatinya juga.
"Wajar nggak sih kalau kesel sama sahabat sendiri?" tanya Irgi menatap lurus ke arah depan. Kebetulan mereka sedang berjalan menuju kelas.
Nara tahu siapa yang dimaksud Irgi. Aidan memang sedikit keterlaluan. Ia kerap tak mempedulikan perasaan orang di sekitarnya. Sudah jelas lelaki itu tahu kalau Irgi memiliki perasaan pada Rana sejak lama. Seharusnya sebagai sahabat, Aidan bisa menjaga perasaan satu sama lain, terlebih keduanya sudah bersahabat sejak kecil. Rumah mereka juga berhadapan.
Beruntungnya Irgi selalu bisa bersikap dewasa, berbanding terbalik dengan Aidan yang pikirannya masih agak ke kanak-kanakan. Anehnya, Nara malah menjatuhkan hati pada lelaki itu.
"Wajar aja, namanya juga manusia. Bahkan sama orang yang kita suka aja bisa kesel." Nara menanggapi dengan santai.
"Emang siapa yang kamu suka?"
Nara berdecak saat Irgi malah balik bertanya.
"Ya ... enggak ada. Udah yuk cepetan, keburu bel!" Nara menarik lengan lelaki itu hingga terdengar decakan.
"Kebiasaan. Selalu ngalihin pembicaraan," sindir Irgi kemudian melepas tarikan tangannya dan menghalangi jalan Nara. "Siapa hayo?"
"Nggak ada, Irgi!" Nara hendak melewati lelaki itu, tapi Irgi segera menghalangi.
Irgi tersenyum misterius lalu mengarahkan wajah Nara ke lapangan. "Dia, 'kan?" tunjuknya pada sosok lelaki yang tengah berdiri di seberang lapangan yang sedang menatap tepat ke arahnya, mengabaikan beberapa orang yang tengah berebut bola.
Lelaki itu tersenyum, melambaikan tangannya hingga beberapa pasang mata ikut mengarahkan pandangan. Malu, Nara membuang muka lalu berlari kecil menuju kelasnya.
Septian. Si adik kelas yang akhir-akhir ini gencar mengganggunya, bahkan tanpa sungkan mengatakan menyukainya.
Memasuki ruangan, Nara segera ikut bergabung dengan Lala dan Rana. Mereka tengah membicarakan drama Korea yang ratingnya sedang naik. Nara sebagai sesama pecinta drama dari negeri ginseng tersebut tentu tak kalah heboh.
Ia sempat melirik ke arah Alvaro yang sedang bermain catur bersama Ezra. Hubungannya dengan lelaki itu tidak sedekat dulu. Nara sengaja memberikan jarak karena tak ingin membuat pacar Alvaro salah paham, terlebih kakak Haura berada dalam ruangan yang sama dengannya.
"Besok joging, yuk!" ajak Lala membuat kedua sahabatnya saling berpandangan sesaat sebelum mengangguk bersamaan.
"Janjian di pertigaan, ya." Rana tak kalah antusias, begitupun Anara yang tak sabar menunggu hari esok.
TBC
Sudah aku bilang sejak awal, cerita ini paling sederhana dari semua yang aku juga, bahkan endingnya mungkin berbeda dari ceritaku sebelumnya, hehe.

KAMU SEDANG MEMBACA
About Aidan ✔️
Ficção AdolescenteKatanya, Aidan ingin memiliki pacar yang hebat, tapi Anara tak masuk kriteria. Lalu, kedekatan sang pujaan hati dengan sahabatnya menumbuhkan kembali semangat yang mulai sirna. Saingan Anara jelas bukan gadis biasa. Kirana dengan julukan siswi geni...