12- Waktu dan Permainannya

82 20 0
                                    

Waktu terlalu pandai mempermainkan harapan seseorang.

***

Keadaan sekolah sudah sangat ramai, beberapa siswa tampak tak sabar menunggu kehadiran wali kelas. Hari ini, tepat dua minggu setelah ujian kenaikan kelas berakhir yang berarti waktu pembagian rapor.

Sejak melangkahkan kakinya ke sekolah, Nara tampak tak bersemangat. Hal tersebut disebabkan karena mimpinya semalam yang membuat Nara terjaga hingga pagi.

Gadis itu mengembuskan napas berat lalu mengarahkan tatapan ke penjuru kelas. Teman-temannya tampak enjoy, seolah tak peduli pada hasil dari kerja keras mereka.

"Ngelamun mulu!" Senggolan di bahu membuat Nara menoleh. Lala sudah menatapnya sembari menaikan sebelah alis, padahal tadi sahabatnya terlihat asik bernyanyi sembari mendengarkan lagu lewat earphone. "Ada masalah?

Menggeleng, Nara mengambil kertas tak terpakai dari laci dan mencoretinya. Lala yang melihat itu jelas tahu kalau Nara sedang berbohong.

"Yakin nggak mau cerita?" tanyanya berusaha meyakinkan.

Nara menyerah, ia kemudian menceritakan mimpi yang membuat mood-nya buruk. "Aku mimpi dapet peringkat ke-3," lirih Nara dengan wajah bertekuk. "Gimana kalau beneran kejadian, La?"

"Kamu mimpi peringakat tiga, Ra?" Bukan Lala, melainkan sosok di sebelahnya yang sejak tadi sibuk bermain game di ponselnya. Raut wajah Rana tampak sangat penasaran.

"Iya, kenap-"

"Kok sama?" potong gadis itu membuat mata Nara membola. "Jangan-jangan ... kita ... kita bakalan tuker posisi."

"Hah?" Nara sempat terperangah dengan dugaan Rana meski kemudian tertawa. "Ya nggak mungkinlah!"

"Mungkin aja, 'kan? Lagian juga nilai kamu semester ini meningkat," ujar Rana yang ia setujui dalam hati. Tapi, tetap saja Nara ragu, ia merasa masih belum berusaha dengan maksimal.

Tak berapa lama, wali dari kelas X.1 datang. Keadaan ruangan yang tadinya gaduh berubah senyap seketika. Nara yang tadinya duduk berdempetan dengan Lala segera kembali ke kursinya, begitupun yang lain.

Nara berharap apa yang dikatakan Rana benar-benar terjadi. Ia tidak jahat bukan berusaha mengalahkan sahabatnya? Lagipula, mereka berjuang dengan cara yang bersih. Menurutnya berlomba untuk mendapatkan nilai terbaik di kelas bukanlah suatu kesalahan.

Ada yang pernah bilang, jangan terlalu percaya pada mimpi yang hanya bunga tidur. Namun, bagaimana jika mimpi tersebut benar-benar seperti sebuah isyarat?

Ucapan Rana terbukti. Kali ini, Nara berhasil menggeser posisinya. Gadis itu tak henti menyunggingkan senyum lebar setelah sang guru mengumumkan posisi tiga terbaik di kelas.

Anara, Rana dan Lala. Siapa sangka Lala juga berhasil menggantikan Miya yang semester kemarin berada di peringkat ketiga.

Nara melirik ke arah Lala yang mengangkat kedua jari jempolnya. Ia kemudian mengarahkan matanya pada Rana yang tampak kecewa. Perasaan bersalah Nara rasakan, tapi ia tidak bisa mengalah untuk hal seperti ini.

Gadis itu menggumamkan kata maaf yang Rana balas dengan anggukan serta senyum paksanya. Wajar. Setiap orang pasti merasakan kecewa jika berada di posisinya.

Beberapa detik setelah wali kelasnya keluar, anak-anak langsung mengucapkan selamat padanya. Nara balas mengucapkan terima kasih.

"Selamat, Ra. Lo emang terbaik." Alvaro mengucapkannya dengan tulus. Nara senang? Jelas. Namun, ketika ia mengarahkan tatapan ke arah lain, senyum di wajahnya luntur.

About Aidan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang