21- Ikhlas Caranya

85 19 0
                                    

Ada beberapa hal yang harus dilepaskan meski itu sangat berharga.

***


"Jadi, mau cerita apa?"

Nara menatap sahabatnya yang tampak penasaran dengan apa yang akan dikatakannya. Setelah berpikir berhari-hari, Nara memutuskan menceritakan mengenai lelaki yang ia sukai. Lebih tepatnya cinta Nara yang bertepuk sebelah tangan.

Gadis itu mengisyaratkan untuk duduk. Lala mengambil kursi miliknya dan menggeser ke arah Nara agar lebih dekat. Kebetulan Rana sedang tidak masuk sekolah karena ada keperluan keluarga. Hal ini ia manfaatkan untuk bercerita pada Lala. Jujur saja, ia hanya yakin pada gadis di sebelahnya. Alasannya karena Rana agak kurang bisa menjaga rahasia. Selain itu, Rana juga pernah begitu dekat dengan Aidan sehingga ia merasa tidak nyaman bercerita.

Nara menarik napas sebelum kemudian mengatakan apa yang disembunyikannya selama ini. "Dulu kamu pernah nanyain, kan, siapa cowok yang aku suka?"

Lala mengangguk. "Siapa?"

"Tapi ... jangan bilang siapa-siapa," pintanya berbisik, takut ada yang mencuri dengar. Lala bergumam pelan pertanda setuju.

Perlu beberapa detik untuk membuat Nara yakin untuk jujur. "Aidan."

Lala membeliak. "Siapa?" tanya dengan teriakan tertahan. Menyadari nada suaranya sendiri, gadis itu menutup mulut lalu semakin mendekatkan tubuhnya. "Aku salah denger kayaknya, Ra."

Melihat keterkejutan sahabatnya, Nara meringis. Sudah ia duga Lala akan bereaksi seperti ini. "Nggak salah denger kok, emang ... dia."

Lala terperangah lalu berdecak tak percaya. Selama ini, Nara terlihat normal di depan Aidan, bahkan kadang ikut menggoda kedekatan Rana dengan lelaki itu.

"Sejak kapan, Ra?" Lala bertanya dengan raut muka yang belum berubah.

Nara tersenyum miris. "Sejak kelas sepuluh."

Lagi, mata gadis itu membola. "Selama itu dan kamu ... masih suka sama dia sampai sekarang?"

Mengangguk, Nara mengiyakan. "Iya. Ini juga alasan aku nggak bisa nerima cowok-cowok itu."

"Ya ampun, Anara!" Lala jadi merasa bersalah karena beberapa kali berusaha memperkenalkan sahabatnya pada lelaki lain, bahkan kerap meminta gadis itu memberikan kesempatan.

Lala menepuk bahu Nara, meneguhkan perasaan sahabatnya yang pasti sudah banyak terluka. Apalagi saat tahu kalau Aidan berpacaran dengan Sheyla dan sekarang yang ia dengar dari Irgi, lelaki itu tengah dekat dengan anak kelas sepuluh.

Lala ingin memberitahu, tapi tak tega. Ia tidak mau membuat sahabatnya sedih. Jadi, membiarkan Nara tidak tahu apa pun sepertinya lebih baik.

"Kamu tahu, La? Aku pernah merasa sangat insecure sama Rana dan mantan Aidan sewaktu SMP," ucap Nara dengan tatapan menerawang, mengingat apa saja yang pernah pujaan hatinya ucapkan. "Entah kamu inget atau enggak, tapi Aidan pernah bilang pingin punya pacar yang cantik, pinter, aktif dan semua hal-hal baik lainnya. Aku sempet down waktu itu karena sadar kalau aku nggak ada apa-apanya dibanding mereka."

Nara terkekeh. Ia tak pernah lupa bagaimana perjuangannya hingga bisa sampai seperti sekarang. Nara bahkan memaksakan diri melakukan hal yang bertentangan dengan dirinya. Misalnya saja saat dirinya terpilih menjadi salah satu anggota Tari di acara perpisahan. Nara yang awalnya menolak tegas akhirnya menyerah. Selain karena tidak berani komplen, alasan lainnya adalah karena ada Aidan di sana. Ia tak mau membuang kesempatan untuk berada dalam satu radar dengan lelaki itu.

"Aku pernah sangat kecewa dengan cara pandang Aidan terhadap cinta, tapi setelah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir, aku akhirnya sadar kalau setiap orang memiliki kriteria tersendiri meski aku ... nggak tau apa yang aku lihat dari cowok itu selain sifat menyebalkannya. Mungkin karena wajahnya tampan?" Nara mengakhiri dengan candaan. Namun, apa yang ia katakan, itulah kebenarannya.

About Aidan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang