Ruangan tertutup dengan banyaknya rak buku yang menghiasi terasa sangat menegangkan. Jemari besar itu tidak berhenti bergerak saling bertautan, sedangkan mata yang dihiasi bulu mata yang lentik itu menatap ke bawah, tidak berani menatap orang di hadapannya.
"Salah lima? Ujian tengah semester kemarin cuma salah tiga, kenapa sekarang makin banyak salahnya?" Tanya seorang pria paruh baya.
"Maaf." Hanya itu yang mampu diucapkan oleh anak laki-laki berusia delapan belas tahun ini.
"Maaf?" Ulang Arya, kemudian ia mengangkat buku besar di sampingnya dan menghantam kepala putranya dengan buku itu. Arya mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar, mengetik sesuatu lalu menempelkan ponsel itu ke telinga.
"Papa telepon siapa?" Tanya Alvan.
Arya menoleh, "Guru les kamu, Papa mau minta jamnya ditambah biar kamu bisa fokus belajar."
Alvan membelalakkan matanya tidak percaya, apakah les selama 4 jam tidak cukup? Ditambah ia mendapatkan video tutor yang harus dipahami setiap hari dan banyak tugas yang diberikan oleh guru lesnya.
"Al mohon Pa jangan tambah jamnya, Al janji bakal belajar lebih giat. Al mohon Pa."
Arya menatap datar putranya yang sedang berlutut. "Tambah jam juga belajar lebih giat, kan? Apa bedanya?"
"Al mohon, Pa. Al bisa dapat nilai seratus asal jangan tambah jamnya."
Alvan sudah muak dengan ruang lesnya, gurunya, semuanya. Ia lelah tidak bisa hidup bebas dan terkekang dengan ambisi ayahnya untuk mendapatkan nilai sempurna di semua mata pelajaran. Ia hanya ingin waktu di dalam ruangan sempit yang merupakan tempat lesnya itu berkurang. Ia ingin menikmati udara di luar dan menikmati pemandangan, bukannya papan tulis yang berhias angka dan huruf.
"Oke. Ujian semester kali ini nilai matematikanya harus seratus dan kimianya tidak boleh salah lebih dari dua. Kalau tidak bisa, Papa akan bawa guru les kamu ke rumah dan belajar selama delapan jam penuh."
Alvan mengangguk patuh. "Al yakin bisa. Papa gak usah khawatir."
Setelah mendengar ucapan putranya, Arya menaruh kembali ponsel miliknya di atas meja belajar. "Sana belajar lagi, Papa bakal ngawasin kamu, jangan pikir Papa lengah kali ini."
Alvan menelan salivanya susah payah, dengan gerakan terburu-buru ia menyambar buku matematika dan kembali belajar. Ia tidak ingin dipukuli karena membantah.
*****
Bel istirahat sudah berbunyi sejak tiga menit yang lalu dan guru yang mengajar pun sudah keluar dari kelas. Beberapa murid memilih ke kantin dan sisanya tinggal di dalam kelas. Sama halnya dengan Clarisa atau biasa disebut Risa, gadis itu memilih diam di kelas sambil bermain game favoritnya. Sedangkan kedua temannya, yaitu Leta dan Tina sudah pergi ke kantin.
"Al, aku boleh nanya soal kimia yang nomor empat gak? Aku gak paham."
Pandangan Risa beralih saat mendengar suara seorang gadis yang ternyata adalah Lili, teman sekelasnya.
Alvan mengangguk mengizinkan Lili untuk bertanya padanya. Wajah Lili tampak senang melihat respon Alvan. Gadis itu dengan semangat memperhatikan laki-laki itu, bukan soal kimianya tetapi wajah Alvan.
Risa tau, banyak siswi yang menyukai Alvan tapi tidak ada yang berani mendekatinya. Cowok itu terkenal penyendiri dan tidak pernah berbicara pada siapapun jika tidak ditanya lebih dulu. Alvan yang selalu pergi ke perpustakaan atau menyendiri di dalam kelas dengan buku-buku yang selalu ditatapnya. Terkadang Risa heran, apa tidak lelah belajar terus-menerus?
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M A VICTIM!
Teen FictionAku korban tapi kenapa aku juga yang disalahkan? Risa menjadi korban pelecehan seksual oleh teman sekelasnya. Laki-laki penyendiri yang ia percayai tidak akan pernah macam-macam, malah menciptakan trauma yang lebih parah. Akibat trauma yang dialami...