EMPAT PULUH DELAPAN

5.8K 430 68
                                    

            Kinan sedang merapikan barang-barang karena hari ini Risa diperbolehkan pulang oleh dokter. Risa masih terbaring di kasur, menunggu perawat datang untuk mencabut selang infus.

"Hari ini mau dimasakin apa? Biar Mama belanja dulu bahannya," tanya Kinan.

"Terserah Mama."

Kinan menghela napas. Beberapa hari ini, Risa sering melamun, tidak ada semangat, membuat Kinan khawatir takut ada banyak hal yang putrinya pikirkan.

"Kamu gak ngidam sesuatu?"

Risa menggelengkan kepalanya. "Yaudah, hari ini Mama masakin ayam, ya?"

Lagi, tidak ada jawaban dari Risa.

Tuk! Tuk! Tuk!

Suara ketukan pintu mengalihkan Kinan. Wanita itu berjalan menuju pintu dan membukanya. Mata Kinan melebar kala melihat orang yang datang. Lantas, Kinan menutup pintu, tidak ingin melihat orang itu apalagi bertemu.

Gerakan Nadine lebih cepat, wanita itu berhasil mencegah pintu tertutup. "Saya mohon, kasih saya sedikit waktu, ada yang mau saya bicarakan."

Kinan menatap Nadine nyalang. "Saya gak perlu mendengar penjelasan apapun dari Anda. Saya akan tetap melaporkan anak Anda atas apa yang dia perbuat ke anak saya!"

"Kedatangan saya ke sini bukan untuk membela Alvan. Jadi, itu hak Ibu dan Risa untuk melaporkan anak saya. Kedatangan saya ke sini hanya untuk menyampaikan sesuatu."

Kinan diam sebentar, lalu menatap Risa yang masih melamun, menatap kosong ke depan.

"Oke, sebentar saja."

Kinan menutup pintu dan membawa Nadine ke tempat yang lebih layak untuk berdiskusi. Mereka sampai di taman belakang rumah sakit. Untungnya taman ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasien bersama keluarga yang mengurus. Mungkin karena tengah hari, panas, jadi para pasien memilih tinggal di kamar.

"Ibu mau ngomong apa?" Tanya Kinan.

Nadine menatap Kinan dengan tatapan yang tidak bisa Kinan mengerti. Seperti menyimpan banyak sesuatu.

"Saya mau meminta maaf atas semua kesalahan keluarga saya," ucap Nadine dengan kepala tertunduk. "Saya tau, permintaan maaf saja tidak cukup, tapi saya rasa saya harus meminta maaf," lanjutnya.

Nadine mengangkat kepala. "Semua kejadian ini karena kegagalan saya sebagai orang tua."

Kinan diam, mendengarkan penuturan Nadine. Namun, Kinan tetap meyakinkan diri dalam hati bahwa mereka tidak bisa dimaafkan.

"Alvan adalah anak baik dan penurut. Dari kecil, ia tidak pernah membangkang dan tidak pernah berbuat kenakalan. Sedari dulu, suami saya sangat keras pada Alvan, selalu menyuruh Alvan untuk belajar dan mendapat juara satu di sekolah. Jika nilai Alvan turun, suami saya langsung memukuli Alvan. Makanya, Alvan sibuk belajar dan jarang sekali bermain bersama teman-teman seusianya, hingga akhirnya Alvan kesulitan untuk bersosialisasi. Risa adalah teman pertama Alvan. Mungkin karena itu, Alvan takut kehilangan Risa dan malah berbuat hal seperti ini."

Nadine mengambil napas. "Saya juga bersalah. Sebagai seorang ibu, saya kurang memberikan kasih sayang. Saya terlalu sibuk pada kerjaan hingga meninggalkan Alvan sendirian di rumah."

"Mungkin Risa bisa memberikan apa yang tidak bisa saya berikan pada Alvan sampai Alvan sangat takut kehilangan Risa. Tanpa disadari, rasa takutnya berlebihan dan akhirnya berbuat nekat. Saya sungguh minta maaf."

Mata Nadine berkaca-kaca. "Saya tidak memaksa Ibu dan Risa untuk memaafkan kami. Saya bersedia dan berlapang dada jika Ibu mau melaporkan Alvan pada pihak yang berwajib. Saya dan Alvan tidak akan menolak dan justru akan membantu semua prosesnya. Saya juga berniat untuk memperkenalkan Ibu dengan psikolog terbaik untuk membantu Risa sembuh dari traumanya. Masalah biaya dan semacamnya akan saya tanggung. Saya juga akan membantu persalinan Risa dan membiayai kehidupan bayi itu sampai dewasa. Bagaimanapun bayi itu adalah cucu saya."

"Kenapa Ibu tiba-tiiba berada di pihak kami? Padahal Ibu punya uang dan kuasa untuk membela diri," Tanya Kinan heran.

Mata Nadine semakin sendu. Gurat kesedihan semakin terlihat. Perlahan, air mata wanita itu luruh. "Saya juga seorang Ibu, saya ingin anak saya mendapatkan yang terbaik dan kemudahan dalam hidupnya. Awalnya, saya gelap mata dan ingin membela Alvan. Namun, satu sisi dalam hati saya berteriak. Bagaimanapun saya perempuan dan sudah menjadi ibu. Saya selalu terpikirkan bagaimana jika saya menjadi Ibu dan juga Risa. Pasti rasanya sakit sekali mengalami hal ini. Ditambah, Alvan selalu berkata ingin bertanggung jawab. Saya tidak mau Alvan hidup terbayang rasa bersalah selama sisa hidupnya. Begitu pula dengan saya."

Air mata Kinan akhirnya jatuh. Ia tidak menyangka Tuhan mempermudah jalannya untuk mendapatkan keadilan bagi Risa. Rasa takut Kinan perlahan memudar.

"Masalahnya ada di suami saya. Dia pasti akan memaksakan kehendak agar masalah ini tidak tindaklanjuti. Tapi, Ibu gak usah khawatir, saya akan tangani masalah ini. Saya hanya meminta satu hal dari Ibu."

"Apa?"

"Bisakah Alvan menumpang di rumah Ibu selama saya mengurusi masalah ini sama suami saya? Kalau di rumah terus atau Alvan ikut saya, nanti akan ketahuan sama suami saya dan masalah ini tidak akan selesai," mohon Nadine. Nadine tau betul bagaimana kerasnya Arya. Jika Alvan ikut bersama dirinya, pasti Arya akan segera mengetahui dan membawa Alvan pergi. Oleh karena itu, lebih aman Alvan berada di rumah Risa. Nadine yakin Arya tidak akan menyangka Alvan berada di sana.

"Saya pikirin dulu."

*****

Mata tajam yang dihiasi bulu mata panjang nan lentik itu menatap lurus pada seseorang. Tatapannya sulit diartikan. Ada rasa sedih, bersalah, bahagia, semua bercampur menjadi satu. Kaki panjangnya melangkah perlahan, menghampiri seorang gadis yang sibuk dengan pikirannya.

"Risa," panggil suara berat itu.

Gadis bernama Risa itu menoleh, kemudian matanya melebar melihat Alvan yang berdiri di samping kasurnya.

"Alvan?"

Alvan mengangguk sambil tersenyum.

Risa melompat dari atas kasur lalu memeluk Alvan. "Kamu ke mana aja? Aku takut, Van, aku takut. Aku gak bisa ngejalanin ini semua sendiri."

Alvan membalas pelukan Risa erat. Ia bisa merasakan bajunya basah karena tangisan Risa.

"Maaf karena ngebiarin kamu sendirian. Sekarang, kamu gak akan sendiri lagi, aku bakal ada di sisi kamu terus."

Risa tidak menjawab dan malah mengeratkan pelukannya. Ia tidak mau Alvan pergi.

"Jangan sakiti diri kamu sendiri, ya? Sekarang kamu bisa lampiasin semuanya ke aku. Aku gak akan ninggalin kamu."

Risa mendongak untuk menatap Alvan. Ada sesuatu dari tatapan Risa yang sulit dijelaskan, membuat Alvan yakin bahwa Risa menyimpan banyak luka dan ingin gadis itu utarakan padanya.

Alvan mengelus puncak kepala Risa dan menatap gadis itu dalam. "Jangan pendam semuanya sendirian. Sekarang ada aku, kamu bisa cerita apa aja yang kamu rasain ke aku."

Risa mengangguk.

"Maaf, ya?" Ucap Alvan dengan tatapan sedih.

"Maaf kamu harus mengalami hal ini gara-gara aku, karena keegoisan aku." Setelah mengucapkan itu, Alvan mengeratkan pelukannya pada Risa. Membawa kepala gadis itu ke dekapannya.

*****

Aku penasaran, bagaimana  pendapat kalian tentang cerita ini? 

Dan apa harapan kalian tentang cerita ini?

I'M A VICTIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang