Bunyi jam di dinding tidak mampu membendung ucapan-ucapan menyakitkan yang diterima Widi. Guru muda itu berusaha menulikan pendengaran. Guru-guru seniornya itu tidak henti mengkritik dan menyindir dirinya yang menjadi wali kelas untuk kelas dua belas.
"Belum pernah jadi wali kelas kok langsung megang kelas dua belas, gimana sih, apalagi'kan kelas dua belas itu persiapannya ribet, banyak simulasi ujian dan persiapan buat daftar ke perguruan tinggi nanti. Malah ditugaskan guru gak kompeten begini."
"Aneh, ya. Ada main belakang kali tuh sama atasan."
"Kita lihat aja nanti, kalau kelasnya berantakan gak mau saya bantu haha..."
Berkali-kali Widi menghela napas berat. Dirinya lelah dengan segala pergunjingan ini. Widi saja tidak tau kenapa bisa ia ditugaskan menjadi wali kelas untuk kelas dua belas, padahal dirinya belum pernah menjadi wali kelas selama mengajar.
Kalau bisa memilih, sudah pasti ia menolaknya. Untung saja kelas binaannya saat ini diisi oleh murid-murid baik. Ada Clarisa si juara umum, ada Alvan yang pendiam dan juga selalu juara umum kedua, dan sisanya ada yang berprestasi di bidang non akademik. Namun, ada satu siswa yang membuatnya sedikit cemas. Aji. Satu siswa itu membuatnya bingung harus bagaimana. Jarang hadir ke sekolah, nilainya pun banyak yang di bawah rata-rata. Widi bingung harus menemukan apa motivasi yang membuat Aji mau untuk rajin ke sekolah dan memperbaiki nilainya.
Orang tua Aji juga tidak bisa dihubungi. Setau Widi, Aji tinggal sendiri. Kedua orang tuanya bercerai dan masing-masing sudah memiliki keluarga baru. Widi tau, pasti berat menjadi anak broken home seperti Aji. Hidupnya pasti dirasa tidak adil dan sudah tidak ada harapan untuk bahagia. Widi harus mencari cara agar Aji bisa merasakan kebahagiaan di sekolah meskipun saat muridnya itu kembali ke rumah, rasa sakitnya akan kembali hadir.
"Assalamu'alaikum! Permisi Bu Widi, ada apa panggil saya?"
Kehadiran Risa menyadarkan Widi dari pikirannya. Widi mengangkat kepalanya dan tersenyum kepada Risa, berusaha terlihat baik-baik saja di depan muridnya ini. "Ibu boleh minta tolong untuk kamu menghubungi Aji? Soalnya dia gak mau ngerespon kalo Ibu yang ngehubungin duluan."
"Bisa, Bu. Nanti saya chat atau telepon."
"Suruh dia masuk sekolah. Kalau sama kamu gak direspon, minta tolong siswi paling cantik sama seksi deh. Terserah kelas berapa aja asal Aji mau ngerespon."
Risa tertawa mendengar ucapan Bu Widi yang asal itu. Risa paham, pasti wali kelasnya itu pusing dengan Aji yang jarang masuk sekolah. Alasannya selalu saja sakit atau izin. Kalau tanpa keterangan, mungkin sudah dikeluarkan dari sekolah.
"Iya, Bu. Risa usahain biar Aji bisa dihubungi."
"Makasih, ya. Maaf kalo Ibu ngerepotin."
"Enggak ngerepotin sama sekali kok, Bu. Kalau gitu saya boleh balik ke kelas?"
"Iya silahkan."
*****
Setelah dari ruang guru, Risa berjalan menuju kantin. Dirinya sudah ditunggu oleh Leta dan Tina untuk makan siang bersama. Namun, matanya menangkap Alvan yang terlihat sendirian menuju kantin. Lantas Risa berlari kecil menghampiri Alvan, ingin mengajak laki-laki itu bersamanya.
"Mau ke kantin, Al?"
Alvan sedikit terkejut dengan kehadiran Risa yang tiba-tiba. Namun detik berikutnya ia mengangguk untuk menjawab pertanyaan gadis itu.
"Bareng aja, aku juga mau ke kantin."
Seperti biasa, Alvan hanya akan merespon dengan anggukkan. Ia terlalu malu untuk berbicara, karena ini pertama kalinya ada yang mengajaknya makan bersama di kantin.
Setelah sampai di kantin dan membeli makanan yang disukai oleh masing-masing kedua remaja ini, Risa dan Alvan langsung menghampiri Leta dan Tina, di sana juga ada Dimas ikut bergabung.
"Cie datang barengan," ledek Leta saat melihat Risa dan Alvan datang bersamaan.
"Emang kenapa? Gak baik tau ngeledek gitu."
"Iya, Sa, iya. BTW, lo ganteng tau Al kalo kacamata lo dilepas gitu." Celetukkan Leta itu mendapat tatapan tajam dari Dimas. Bisa-bisanya dia memuji laki-laki lain di saat sedang bersama pacarnya.
"Lihat noh, pacar lo cemburu," ujar Tina.
"Gak usah cemburu! Lagian Alvan'kan punya si Risa."
Saking terkejutnya, Alvan sampai tersedak gara-gara mendengar ucapan Leta.
"Tuh'kan, Ta. Jangan asal ceplos kalo ngomong, anak orang kaget sampe keselek gitu!" Peringat Tina.
"Ya abisnya gue gemes aja, ini pertama kalinya si Risa mau temenan sama cowok. Lo tau sendiri sama si Dimas aja dia parnoan kagak mau deket-deket. Giliran sama si Alvan dia nyaman-nyaman aja."
"Itu karena cowok lu begajulan, jadi Risa parno di deket Dimas, gak kayak Alvan anak baik-baik."
Leta memberenggut kesal mendengar omelan Tina. "Begajulan juga penampilannya doang, dia aslinya baik."
"Iya deh, makanya Dimas, lo kalo mau peluk Leta jangan di depan Risa, dia jadi parnoan'kan di deket lo."
"Iya, sekarang udah enggak, kok!" Jawab Dimas.
"Percuma juga si kalian ngomong dari tadi, Risanya aja sibuk ngurusin Alvan."
Pandangan Tina dan Dimas refleks menoleh ke arah Risa yang kini tengah membantu Alvan yang tersedak. Gadis itu memberi Alvan minum dan membersihkan bekas makanan yang sempat keluar.
"Yaelah so sweet amat kek pasangan suami istri."
Mendengar hal itu membuat Risa melengos. "Ya kamu bukannya bantu malah ngomong mulu dari tadi!"
"Mampus! Dimarahin kan lo sama Risa."
"Iya Sa. Maaf ya, Al. Sini gue bantu."
"Udah selesai!" Sungut Risa kepada Leta.
"Ya maaf."
Dimas dan Tina hanya tertawa melihat Risa memarahi Leta. Namun di satu sisi, ini adalah pemandangan dan kejadian baru yang Alvan alami. Ternyata seseru itu memiliki seorang teman. Saat makan siang ada yang menemani sambil mengobrol santai. Sedangkan, ia dulu harus makan terburu-buru untuk kembali belajar. Lagipula makan sendirian juga tidak enak.
*****
Pukul 11 malam lewat 20 menit Alvan baru saja sampai ke rumah setelah kegiatannya lesnya selesai. Belum sempat mandi dan berganti pakaian, ayahnya masuk dengan tergesa-gesa. Baru saja menoleh menghadap ayahnya, Alvan lebih dulu diberi tamparan keras oleh sang ayah.
Alvan menatap ayahnya dengan tatapan bertanya sembari menyentuh pipi kirinya memanas dan perih.
"Bukannya belajar malah pacaran! Bagus! Udah ngerasa pintar kamu, hah!"
"Maksud Papa?"
"Udah dua hari ini kamu malah pacaran ke taman, siapa perempuan itu? Putusin atau Papa tambahin jam belajar kamu!"
Alvan kehabisan kata-kata, ternyata ayahnya mengetahui dirinya pergi ke taman bersama Risa dua hari ini.
"Aku gak pacaran sama dia, kita lagi belajar bareng."
"Belajar apaan di taman? Belajar itu di perpustakaan atau ruang belajar, bukan di taman!"
Arya melepas sabuk celananya dan bersiap untuk mencambuk putra semata wayangnya itu.
Alvan yang melihat hal itu langsung berlutut, memohon kepada ayahnya agar ia tidak dicambuk. Namun, Arya berada di puncak emosi, dirinya kesetanan menyambuk Alvan tanpa ampun. Sedangkan putranya itu hanya mampu pasrah.
"Dua minggu lagi UAS, Papa akan tagih janji kamu! Dan awas aja kalo Papa ngelihat kamu pacaran lagi, gak akan Papa kasih ampun!"
Alvan menatap nanar kepergiaan ayahnya. Baru saja dirinya merasa bahagia dua hari ini karena bisa sedikit bernapas, tapi mengapa ia harus kembali dicekik kenyataan bahwa dirinya tidak akan bebas sampai kapanpun. Kenyataannya, Alvan memang belajar, bukan pacaran seperti yang dibilang ayahnya barusan.
Terlalu Lelah dengan keadaan. Alvan memilih menangis dalam diam, merasakan kepahitan hidup yang dialaminya, dan betapa perih punggungnya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M A VICTIM!
Novela JuvenilAku korban tapi kenapa aku juga yang disalahkan? Risa menjadi korban pelecehan seksual oleh teman sekelasnya. Laki-laki penyendiri yang ia percayai tidak akan pernah macam-macam, malah menciptakan trauma yang lebih parah. Akibat trauma yang dialami...