Baru sampai di kelas, Aji melihat Risa menangis di mejanya. Dengan panik laki-laki itu menghampiri Risa, mengusap kepala gadis itu.
"Sa, lo kenapa?"
Mendengar bukan suara sahabatnya-Tina melainkan Aji, Risa langsung bangun dan menghentakkan tangan laki-laki itu agar tidak menyentuhnya.
"Gak apa-apa."
"Siapa yang udah bikin lo nangis? Bilang sama gue."
"Gue bilang gak apa-apa!" Bentak Risa.
Aji terdiam mendengar bentakan gadis itu kepadanya. Apakah Alvan yang sudah membuat Risa menangis seperti ini? Jika benar, akan Aji habisi laki-laki itu sekarang juga.
"Bisa gak sih lo gak usah ikut campur?"
Karena kalau kamu ikut campur dan dilihat sama Alvan, aku yang bakal nanggung resikonya!
Risa ingin mengucapkan hal itu agar Aji tidak menghampirinya terus menerus. Dia lelah jika harus berurusan dengan Alvan karena laki-laki itu selalu saja ikut campur dengan urusannya. Ia tau Aji baik tapi, kebaikannya menciptakan malapetaka bagi Risa. Andai saja Alvan tidak pernah melihat saat Aji sedang menghampirinya, mungkin Risa bisa menerima kehadiran Aji.
"Gue cuma khawatir, Sa. Seharian ini lo diem di kelas, gak aktif kayak biasanya, terus lo juga keliatan kayak lagi banyak masalah. Tentu gue sebagai temen khawatir lo kenapa-kenapa," jelas Aji dengan sabar. Ia tau kondisi gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
Dari pagi Risa datang ke kelas, Aji bisa melihat gadis itu sedang kacau. Matanya sembab, pandangannya kosong, terlihat tidak memiliki tenaga, dan hanya menelungkupkan wajah di meja seharian. Bahkan saat jam belajar dimulai, Risa tidak memerhatikan guru di depan sama sekali. Padahal gadis itu tidak pernah melewatkan perhatiannya pada guru yang sedang mengajar.
"Please, biarin gue sendiri."
Setelah mengatakan itu, Risa beranjak pergi ke luar. Ketika ia sampai di ambang pintu kelas, Risa berhenti karena ia berhadapan dengan seseorang. Mata bulat gadis itu melebar melihat siapa yang ada di depannya sekarang.
Alvan.
Risa menunduk merasakan akan adanya badai yang datang sepulang sekolah nanti. Selalu saja, saat ia bersama Aji, Alvan selalu ada dan melihat. Risa sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan lakukan Alvan di rumahnya nanti. Semuanya sudah rusak dan hancur. Tubuhnya, mentalnya, hatinya, semuanya. Lagipula dirinya tidak bisa melawan jika Alvan sudah berkehendak.
Tidak mau melihat Alvan lebih lama, Risa melenggang pergi menuju toilet. Sedangkan, Alvan bergeming di tempat. Laki-laki itu menghela napas melihat respon Risa saat melihatnya.
Kini, pandangan Alvan beralih pada Aji karena laki-laki itu merasa ditatap. Benar saja. Aji menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mengajak dirinya untuk berperang.
Alvan tidak peduli dengan Aji yang terus menatapnya. Ia memilih untuk duduk di kursinya dan kembali mengerjakan soal di buku latihannya.
"Biarin Risa sendiri, dia baru aja berantem sama temennya."
Aji menoleh pada sumber suara yang baru saja berbicara padanya.
"Sama Alvan?"
Gilang menggeleng. "Sama Leta, kenapa lo nyalahin Alvan? Padahal dari bel istirahat dia ada di perpus."
Aji kembali melirik Alvan. Untung saja yang ia dengar bukan nama laki-laki itu. Jika yang membuat Risa menangis barusan adalah Alvan, mungkin Aji sudah menghajar laki-laki itu detik ini juga.
***
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi tapi, seseorang yang saat ini menjadi fokus Risa berada di ambang pintu sambil memanggil nama sahabatnya. Leta kegirangan melihat pacarnya yang menghampiri gadis itu. Risa menatap tajam Dimas. Ia benar-benar khawatir dengan Leta dan takut gadis itu kenapa-kenapa. Ia tidak bisa percaya sepenuhnya pada Dimas mengingat gaya pacaran laki-laki itu terlalu berlebihan menurut Risa.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M A VICTIM!
Fiksi RemajaAku korban tapi kenapa aku juga yang disalahkan? Risa menjadi korban pelecehan seksual oleh teman sekelasnya. Laki-laki penyendiri yang ia percayai tidak akan pernah macam-macam, malah menciptakan trauma yang lebih parah. Akibat trauma yang dialami...