SEPULUH

12.8K 492 30
                                    

  Alvan menatap Risa yang terus menatap ke arah jendela taksi, melihat mobil dan sepeda motor berlalu lalang di jalan. Ia juga melihat dengan jelas air mata Risa yang tiba-tiba luruh membuat gadis itu mengusap wajahnya. Alvan mendekat, membantu gadis itu mengusap air mata yang terus keluar membasahi pipinya. Di sepanjang jalan sampai ke taman, mereka diam. Tidak ada yang membuka suara kecuali suara radio yang dinyalakan oleh supir taksi.

Risa tidak berani membiarkan Alvan ke rumahnya lagi. Risa takut akan dilecehkan lagi, di sekolah saja Alvan berani melecehkannya, apalagi di rumah Risa yang sepi dan tidak ada orang.

"Sini!" Alvan menepuk tempat di sebelahnya yang kosong, menyuruh Risa untuk duduk di sana.

Risa menurut dan duduk di samping Alvan meski takut.

"Makan dulu, abis itu kita belajar, tapi kalo kamu capek, istirahat aja, biar aku yang ngerjain tugasnya."

Sebenarnya Risa sedang tidak bernafsu untuk makan. Setelah tenaganya terkuras gara-gara Alvan, kehadiran laki-laki itu juga penyebab dirinya tidak berselera. Risa juga kesal karena laki-laki itu nekat melecehkannya di sekolah. Hampir saja ketahuan, untung saja orang itu membuka ruangan di sebelah mereka, bukan ruangan yang mereka tempati.

Saat itu, Risa dilanda kebingungan. Haruskah ia berteriak meminta tolong atau tetap diam. Jika dirinya berteriak minta tolong, ia takut orang itu malah ikut melecehkannya, karena siluet dari pintu kaca buram gudang terlihat dengan sangat jelas kalau orang itu adalah seorang laki-laki. Risa juga takut kalau ujung-ujungnya malah dirinya yang disalahkan.

Nanti ditanya, kenapa bisa berdua ke gudang? Siapa yang mengajak? Kenapa mau berdua saja? Dan sebagainya. Sama seperti penderitaan yang ia alami dan orang yang Risa kenal. Saat orang itu mengalami pelecehan, ia malah ditanyai kenapa bisa sampai dilecehkan, seolah-olah masalahnya ada pada korban.

Akhirnya Risa memilih untuk diam. Padahal tadi kesempatannya untuk bebas dari Alvan. Tapi apa daya, trauma masa lalu yang kembali menghantui Risa membuat gadis itu enggan untuk bersuara menyuarakan bahwa dirinya adalah korban. Victim blaming di negara ini sangat parah. Bukan sekali dua kali Risa melihat berita bahwa korban pelecehan menjadi sasaran kebencian dan disalahkan.

Risa terkejut saat Alvan menyuapinya dengan makanan, karena tidak mau mencari masalah baru, ia menuruti. Toh hanya sebentar sampai laki-laki itu berangkat les, Risa akan terbebas.

Sendok yang baru saja digunakan Risa itu digunakan kembali oleh Alvan. Laki-laki itu sama sekali tidak jijik meski sendok itu bekas mulut Risa. Risa melengos, bagaimana mungkin Alvan merasa jijik? Laki-laki itu saja tidak jijik beradu bibir dan gigi dengannya.

Setelah selesai makan dan mengerjakan tugas sekolah juga tugas les, Alvan tiduran di paha Risa. Menatap gadis itu dari bawah. Risa memang gadis yang manis dan cantik menurutnya. Padahal dulu, ia melihat Risa adalah gadis biasa-biasa saja.

"Mikirin apa?" Tanya Alvan.

"Enggak."

Alvan terus menatap Risa dari bawah membuat risih. Apalagi ini di tempat umum. Banyak orang yang melihat mereka.

Tubuh Risa meremang merasakan usapan lembut di perutnya. Tentu saja pelakunya adalah Alvan.

"Al," peringat Risa tapi Alvan mengabaikannya.

"Kalo aku gak kasih obat itu, apa bakal ada yang hidup di sini? Anak aku."

"Ssstt, jangan bahas itu!" bisik Risa.

"Kenapa? Kamu takut ada orang yang denger?"

Risa diam, tidak menjawab pertanyaannya Alvan.

"Lagian kita emang udah ngelakuin itu, kan?"

I'M A VICTIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang