EMPAT PULUH DUA

7.4K 450 76
                                    

            "Ma?"

Risa berusaha menyusul langkah kaki Kinan yang terburu-buru. Ibunya itu tidak mau mendengarkan Risa sejak tadi. Malah menghindar terus menerus.

Kinan menulikan pendengarannya. Ia kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi putri semata wayangnya. Kinan juga kecewa pada Risa yang masih menerima kehadiran laki-laki brengsek itu dan tidak melaporkan kejahatannya sejak awal. Kinan marah pada keadaan yang berpihak pada pelaku.

Setelah memasuki rumah, Kinan dengan emosi menarik taplak meja hingga vas bunga yang ada di atasnya jatuh dan hancur. Risa yang melihat itu mematung di tempat. Gadis itu terkejut. Dadanya semakin sakit melihat ibunya seperti ini.

Kinan mengusap wajahnya frustasi. Wanita itu mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

"Ma?" Lirih Risa dan perlahan mendekati ibunya.

"Kenapa kamu gak bilang dari awal?"

Jantung Risa rasanya berhenti berdetak mendengar pertanyaan Kinan. Bukankah ibunya itu mengetahui bahwa Risa memiliki trauma? Mengapa Kinan bertanya seperti itu?

"Kenapa kamu diem aja dan biarin si brengsek itu lecehin kamu?!" Teriak Kinan murka.

Mulut Risa bergetar. Gadis itu tidak mampu mengucapkan satu katapun dari bibirnya.

"Mama kecewa sama kamu!"

Kinan menatap Risa tajam. "Harusnya kamu laporin dia dari awal! Harusnya kamu berani buat speak up, bukan diam terus dan berakhir kayak gini!"

Air mata Risa tidak bisa dibendung lagi. Hatinya sakit mendengar Kinan mengucapkan hal itu yang terkesan menyalahkannya.

"Apa kamu suka sama dia makanya diam aja?"

Risa menggeleng dengan cepat. Bagaimana bisa korban pelecehan menyukai pelaku yang melecehkannya? Memangnya ini dunia fiksi? Risa tidak bisa mengungkapkannya karena takut. Trauma tiga tahun lalu masih membekas.

"Aku gak pernah suka sama Alvan," jawab Risa pelan.

"Terus kenapa kamu gak laporin dan malah nerima kehadiran dia?!"

"Aku gak tau!" Teriak Risa membuat Kinan terdiam.

"Aku gak tau, Ma," lanjutnya di sela menangis.

"Aku gak pernah suka sama Alvan. Aku juga gak mau ketemu dia, baru denger suaranya aja udah bikin aku ketakutan," jelas Risa.

"Tapi semenjak aku hamil aku gak bisa lepas dari dia. Rasanya mau dia ada di samping aku terus. Aku gak bisa kalo gak ketemu Alvan, bahkan aku gak bisa tidur kalo gak ditemenin sama dia." Gadis itu menatap Kinan putus asa. Berharap wanita itu mau mengerti keadaannya.

"Aku juga gak tau kenapa, aku gak ngerti sama diri aku sendiri."

Kinan mengalihkan pandangannya. Tidak kuasa melihat Risa memelas seperti itu.

"Aku gak bisa laporin dia karena aku takut, Ma. Aku takut bakal dibenci kayak Indah. Apalagi aku pernah di posisi Indah dan sekarang harus ngerasain lagi pahitnya menjadi korban pelecehan untuk yang kedua kalinya."

Risa menjeda ucapannya untuk mengambil napas. Kemudian, gadis itu berlutut di depan Kinan. "Maafin aku, Ma. Maaf aku gak bisa jaga diri. Maaf."

Tangisan Kinan semakin menjadi-jadi. Hatinya sakit, sesak. Ia tau putrinya itu pernah mengalami pelecehan sebelumnya. Hal itu yang membuat Kinan tidak bisa mengatur emosinya karena Risa mengalami pelecehan lagi.

Dulu, Kinan mungkin tidak akan tau kalau Risa dilecehkan oleh tetangganya, jika gadis itu tidak cerita pada Indah yang juga menjadi korban oleh pelaku yang sama. Naasnya kedua remaja itu harus mengalami hal pahit ini. Waktu itu, Kinan masih bersyukur kejadian yang menimpa putrinya tidak separah Indah. Namun, sekarang? Anaknya malah mengalami hal yang sama bahkan sampai berkali-kali. Bagaimana mungkin Kinan tidak murka?

Kinan menunduk, ikut duduk dengan putrinya yang berlutut. "Maafin Mama juga."

Kinan mengusap wajah Risa yang basah karena air mata, lalu menangkup pipi putrinya yang semakin tirus. "Harusnya Mama bisa jagain kamu. Ini semua kesalahan Mama yang lalai."

Risa menggeleng pelan. "Ini bukan salah Mama. Ini salah aku yang terlalu percaya sama orang lain dan kecerobohan aku yang gak bisa jaga diri."

Kinan menarik Risa ke dalam pelukannya. Memeluk putrinya itu erat seakan tidak mau berpisah barang sesenti saja. Kedua perempuan itu menangis. Menyalurkan emosinya pada keadaan yang jahat.

*****

"Mau ke mana kamu?" Tanya Arya melihat Nadine sudah rapi dan bersiap untuk pergi.

"Mau bawa Alvan ke rumah sakit."

Arya mengernyitkan dahinya bingung. "Buat apa ke rumah sakit?"

Nadine melengos tidak percaya mendengar pertanyaan Arya. Tidak sadarkah suaminya itu apa yang sudah diperbuatnya kepada Alvan? Apakah putranya itu akan baik-baik saja setelah dipukuli dengan bengis menggunakan stik golf?

"Kamu pikir Alvan bakal baik-baik aja setelah kamu pukulin? Kamu gila, ya?"

Arya menghela napas. "Gak usah dibawa ke rumah sakit, suruh aja dokternya datang ke sini."

"Kenapa?"

"Orang-orang bisa curiga kalo Alvan dibawa ke rumah sakit. Kamu mau nama baik kita rusak?"

Nadine berdecih kesal. "Yang rusak namanya itu kamu! Bukan kita!" Setelah mengatakan itu, Nadine kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Arya.

"Aku udah bilang ke kolega aku untuk gak melanjutkan kasus yang menuntut Alvan suatu hari nanti."

Ucapan Arya barusan berhasil membuat Nadine membalikkan tubuhnya. "Maksudnya?"

"Aku udah kerjasama dengan pihak kepolisian buat gak melanjutkan kasus kalau Alvan dituntut nanti. Makanya, kamu jangan bertindak gegabah dengan bawa Alvan ke rumah sakit dan buat orang-orang curiga kalo keluarga kita sedang kacau. Hal itu bisa merembet ke mana-mana termasuk ke kasus pelecehan yang udah Alvan lakuin."

Arya menghampiri Nadine dan berdiri tepat di depan wanita itu. "Sekarang, tugas kamu cuma nurut, biar semua masalah ini aku yang urus." Kemudian, Arya berbalik hendak kembali ke ruangannya.

"Soal masa depan Alvan," ucap Nadine membuat Arya berhenti. "Mas masih mau bawa dia ke Australia?"

"Iya. Lebih baik dia ke luar negeri dan hidup mandiri di sana, daripada di sini, dia bakal inget terus sama perempuan itu."

Nadine mengangguk setuju. "Yaudah, aku mau telepon Dokter Ricky dulu."

"Alvan ada di kamarnya, kan?" Tanya Arya.

Nadine yang sedang mengambil ponselnya di dalam tas mengalihkan fokusnya. "Iya."

Tanpa mengucapkan apa-apa, Arya pergi menuju kamar Alvan yang berada di lantai dua. Setelah sampai dan membuka pintu, Arya menghampiri putranya yang berbaring lemah di atas kasur. Keringat dingin membasahi dahi remaja laki-laki itu.

Arya bisa mendengar rintihan Alvan di sela tidur. Hatinya teriris melihat putranya seperti ini. Perasaan menyesal menyelimuti Arya. Ia terlalu dibawa emosi hingga berujung menyiksa putranya.

"Kamu tenang aja, Papa pastiin gak akan ada yang bisa hancurin hidup kamu. Papa akan menjamin semuanya."  

I'M A VICTIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang