TIGA PULUH TIGA

8.1K 368 17
                                    

Dalam keheningan malam, ada mata lelah yang terus menatap layar komputer. Terlihat mencari sesuatu dan mencatatnya dalam note kecil. Tangan besar yang terluka di beberapa sisi karena terlalu banyak bergesekan dengan alat tulis juga masih semangat menulis hal-hal yang ada di layar.

Bunyi deritan pintu menghentikan aktivitasnya. Tangan Alvan terburu-buru mematikan komputernya dan menutup catatan yang sedang ia kerjakan. Laki-laki itu tampak panik melihat ayahnya masuk ke dalam ruang belajar.

"Masih belajar?" Tanya Arya ketika sudah berada di samping Alvan.

"Baru selesai, Pa."

"Buku yang dikasih guru les kamu sudah selesai dikerjain semua?"

Tangan besar milik Alvan mendadak berkeringat dingin. Entah mengapa, ia selalu merasa terintimidasi jika bersama ayahnya. "Sudah."

"Bagus, ini ada buku terbaru. Papa susah payah buat dapetin buku ini karena gak semua orang bisa dapat. Kamu kerjain dan diskusikan sama guru les kamu."

"Iya."

Setelah memberikan buku yang dibawanya, Arya langsung melenggang pergi meninggalkan putranya yang termenung sedih. Alvan menghela napas berat melihat dua buku tebal yang baru saja diberikan ayahnya. Kapan ia bisa beristirahat? Mengapa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya harus diatur oleh ayahnya? Alvan lelah. Ia juga ingin hidup bebas seperti anak seumurannya yang lain.

Getaran ponsel di meja belajar mengalihkan Alvan. Laki-laki itu bergerak menjawab panggilan dari orang yang meneleponnya.

"Halo? Kenapa, Sa?"

"Gak kenapa-kenapa, cuma mau telepon aja."

Alvan panik mendengar suara Risa yang terdengar serak seperti habis menangis.

"Kamu kenapa? Kok nangis?"

Hening beberapa saat sebelum Risa menjawab, "Aku gak bisa tidur."

"Udah tengah malam, emang gak ngantuk?"

Hening. Risa tidak menjawab pertanyaan Alvan. Gadis itu malah terdiam karena bingung. Apakah ia harus jujur bahwa ia tidak bisa tidur karena menginginkan Alvan di sisinya atau merahasiakannya saja?

"Aku... " ucapan Risa menggantung membuat Alvan semakin penasaran.

"Kenapa Sayang? Mau aku temenin sampe kamu tidur?" Tawar Alvan.

"Emang gak ganggu?"

"Enggak kok, aku belum ngantuk."

"Beneran?"

Alvan tersenyum mendengar ucapan Risa. Meski laki-laki itu khawatir takut ada sesuatu yang terjadi pada Risa mengingat gadis itu terdengar habis menangis, tapi ia senang karena Risa membutuhkannya.

"Iya Sayang. Mau video call atau telepon biasa?"

Sebenarnya Risa terkejut karena Alvan memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Ada rasa senang karena kemungkinan besar Alvan tidak akan meninggalkannya. Namun, di satu sisi masih ada rasa kecewa dan marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu padanya.

"Telepon biasa aja."

Walaupun Risa membutuhkan Alvan saat ini agar bisa tidur, ia gengsi untuk meminta Alvan melakukan video call. Sepertinya mendengar suara laki-laki itu saja sudah mampu membuatnya sedikit tenang.

"Oke."

Dengan perasaan gembira, Alvan beranjak dari kursi belajar dan menuju kamar utamanya. Merebahkan diri di atas kasur sambil berbincang dengan Risa, bahkan laki-laki itu menyanyikan lagu untuk gadis itu.

I'M A VICTIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang