EMPAT PULUH TUJUH

5.5K 354 26
                                    

            Mata tajam yang dihiasi alis tebal di atasnya menatap sebuah rumah mewah nan luas. Laki-laki itu sempat berdecak kagum melihat bangunan itu, tidak menyangka ternyata orang yang akan ditemuinya memang bukan orang biasa.

Aji turun dari motor dan berjalan menuju gerbang, mengetuk gerbang itu menggunakan kunci motor. Ia tidak tau di mana letak belnya berada.

Seorang laki-laki paruh baya datang menghampiri. Sedikit membukakan gerbang untuk melihat Aji.

"Ada apa, Dek?" Tanya satpam yang bertugas di rumah itu.

"Alvannya ada, Pak? Saya Aji temen sekolahnya Alvan," jelas Aji pada Pak satpam.

"Mohon maaf, Dek, saat ini sedang tidak bisa menerima tamu, mungkin bisa datang lain waktu." Ucapan satpam itu membuat Aji mendengus kesal. Orang tua Alvan memang gila. Mereka menyembunyikan Alvan dan sepertinya tidak ada niatan untuk bertanggung jawab pada Risa.

"Saya temen sekelasnya, terus dua minggu lagi kita ujian kelulusan sekolah. Jadi, saya mau ngasih catatan latihan soal, Pak." Aji beralasan agar bisa masuk dan bertemu dengan Alvan. Boro-boro ngasih catatan latihan soal, gurunya menerangkan materi di depan saja Aji jarang memperhatikan. Lagipula untuk apa ia repot-repot datang ke rumah laki-laki brengsek seperti Alvan untuk membantunya. Aji tidak sudi.

"Maaf, Dek, tidak bisa. Mungkin bisa lewat hape aja kasih catatannya."

"Gimana saya mau kasih catatannya lewat hape, nomornya Alvan gak pernah aktif, Pak."

"Oalah, kalau begitu nanti saja."

Aji benar-benar bingung harus bagaimana lagi. Sepertinya Pak satpam ini diperintah untuk tidak membiarkan siapapun masuk apalagi bertemu dengan Alvan. Aji yakin, orang tua Alvan memang sengaja menyembunyikan Alvan.

"Nantinya kapan, Pak? Emang kenapa saya gak bisa ketemu Alvan? Kan Alvan ada di rumah." Aji masih terus berusaha untuk membujuk satpam itu. Bagaimanapun, ia harus bertemu dengan Alvan dan menyampaikan tujuannya.

"Maaf ya, Dek, memang untuk saat ini kami gak bisa menerima tamu, makanya di lain waktu aja."

"Memangnya ada apa, Pak? Kenapa gak bisa nerima tamu? Kalo ada yang dateng dengan tujuan yang urgent gimana?"

"Kalo itu saya gak tau, saya cuma disuruh sama yang punya rumah."

Aji berdecak kesal. Dugaannya benar dan ini tidak bisa dibiarkan. Akhirnya Aji memaksakan diri untuk menerobos ke dalam. Tidak peduli jika harus mendorong satpam itu. Setelah berhasil memasuki pekarangan rumah, Aji berlari secepat mungkin menuju pintu utama, lalu memencet bel rumah dan menggedor pintunya tidak sabaran.

"ALVAN! KELUAR LO! GUE TAU LO DI DALEM!"

"KALO LO PEDULI SAMA RISA AYO KELUAR! GARA-GARA LO, RISA NYAKITIN DIRINYA SENDIRI SAMPE MASUK RUMAH SAKIT!"

Aji menendang pintu utama rumah Alvan, memencet bel berkali-kali, dan menggedornya dengan kencang. Namun, tidak ada respon dari yang punya rumah hingga akhirnya beberapa bapak-bapak datang untuk menarik Aji ke luar. Jika hanya melawan satu orang, Aji masih bisa, tapi melawan tiga orang sekaligus, Aji kalah tenaga.

"ALVAN BRENGSEK! KELUAR LO! TANGGUNG JAWAB KARENA LO UDAH HAMILIN RISA!"

"Biarin saya ketemu sama Alvan, Pak, dia harus tanggung jawab atas kesalahan yang udah dia perbuat!" Teriak Aji pada petugas yang menyeretnya.

"Tidak bisa! Anda sudah buat kegaduhan di sini!"

Akhirnya Aji berhasil diseret ke luar gerbang. Belum sempat Aji bangun setelah didorong hingga jatuh, gerbang rumah Alvan sudah lebih dulu ditutup. Aji tidak putus asa, dia terus berteriak dan menendang gerbang berkali-kali.

I'M A VICTIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang