TIGA PULUH TUJUH

6.4K 322 13
                                    

Risa sudah bolak-balik ke kamar mandi karena mual yang tidak bisa ditahan. Entah mengapa tubuhnya terasa semakin bermasalah. Kepalanya pusing bukan main, ditambah perutnya sering sekali keram, dan tubuhnya terasa sakit. Saat ini pun, Risa tidak mau makan sama sekali makanan yang biasanya Alvan bawa.

Alvan menatap Risa penuh khawatir ketika gadis itu baru saja keluar dari toilet. Wajahnya pucat, matanya sayu, membuat Alvan tidak tega. Perasaan laki-laki itu juga campur aduk. Dirinya terus teringat dengan ucapan ayahnya kemarin siang.

"Kamu beneran gak mau makan?" Tanya Alvan setelah mereka pergi ke tempat yang cukup sepi. Mungkin saja Risa mual karena mencium parfum orang-orang yang bercampir aduk.

"Gak mau."

"Kalo gak makan nanti perutnya sakit. Kamu mau apa? Nantu aku beliin," bujuk Alvan.

"Aku gak mau makan, Al."

Risa tiba-tiba oleng saat berjalan membuat Alvan dengan cepat menahan gadis itu.

"Pusing banget? Ke UKS aja, ya?"

Risa menggeleng, sudah dua minggu dirinya sering ke UKS. Teman-temannya juga sudah curiga mengenai keanehan yang Risa alami akhir-akhir ini. Ia tidak mau kehamilannya ini ketahuan.

"Gak mau, nanti mereka makin curiga kalo aku sering istirahat ke UKS."

"Gak apa-apa, mereka pasti ngiranya kamu kecapekan belajar, apalagi kurang dari sebulan kita mau ujian, kan?" Kekeh Alvan.

"Tapi, Al."

Alvan meraih tangan Risa yang dingin, digenggamnya untuk meyakinkan gadis itu. "Please nurut, ya? Aku gak mau kamu kenapa-kenapa."

"Tapi aku beneran takut Tina sama Leta makin curiga dan kehamilan ini kebongkar. Aku belum siap, Al."

Hati Alvan teriris melihat Risa menangis seperti ini. Semua gara-gara ulahnya. Ketakutan yang seharusnya tidak ia takutkan untuk kehilangan Risa, kini malah menghacurkan hidup perempuan yang ia sayangi. Apalagi sekarang Alvan harus memikirkan cara agar tidak jadi pergi ke Australia. Mengagalkan rencana ayahnya.

"Aku tau, tapi kehamilan kamu juga penting. Kata dokter kamu gak boleh kecapekan karena mengandung di usia muda itu rentan. Nurut, ya?"

Risa mengelus perutnya pelan. Air matanya kini bertambah banyak. Dadanya sesak mendadak. Perasaannya juga kacau, hidupnya berantakan, semuanya terasa menyakitkan. Sebenarnya ia ingin menyerah namun terhalang dengan ibunya. Risa tidak mungkin meninggalkan ibunya sendirian. Sekarang, ia juga harus bertahan demi janin yang berada dalam rahimnya. Sesungguhnya Risa tidak sanggup dengan semua ini.

Akhirnya, Risa menganggukkan kepalanya, menuruti ucapan Alvan. laki-laki itu tersenyum dan menuntun Risa ke UKS.

Merek tidak tau, bahwa di balik tembok sana, ada seseorang yang mendengarkan semua ucapan kedua remaja itu.

*****

Setelah mengantarkan Risa ke UKS, Alvan duduk di kursinya dan mulai belajar untuk ujian sekolah yang sebentar lagi dilaksanakan. Alvan mengingat dengan baik ucapan ayahnya yang meminta Alvan agar bisa menjadi siswa dengan nilai terbaik untuk kelulusan nanti. Oleh karena itu, ia harus belajar semaksimal mungkin.

Baru saja Alvan membuka buku catatannya, kerah bajunya sudah lebih dulu ditarik seseorang membuat Alvan terjatuh dari kursi. Alvan mendongak melihat Aji yang murka langsung menunju wajahnya. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali sampai Alvan tidak bisa menghindar.

Semua yang ada di kelas panik. Beberapa orang menjauh agar tidak terkena pukulan Aji, dan ada juga yang pergi keluar untuk mengadu pada guru. Tidak hanya itu, orang-orang yang melewati kelas mereka juga ada yang ikut menonton meski dari luar.

Alvan mencoba melawan, dengan menarik tubuh Aji agar laki-laki itu tidak lagi di posisi yang menmguntungkan. Setelah itu, Alvan berganti di atas dan membalas memukul Aji di bagian yang sama persis laki-laki itu lakukan.

Sama-sama tidak mau kalah, keduanya berduel seolah sampai salah seorang dari mereka harus mati. Meja dan kursi sampai berantakan tidak karuan. Alvan dan Aji bergantian tersungkur menabrak meja maupun dinding. Keduanya semakin liar untuk menghabisi satu sama lain.

"Berhenti!" Teriak Widi. Namun, Alvan dan juga Aji tidak mau berhenti.

Widi bergerak cepat menghampiri kedua muridnya yang sedang berada di puncak amarah. Mencoba memisahkan hingga guru muda itu terkena pukulan.

Aji dan Alvan terdiam melihat Widi tersungkur karena tidak sengaja terpukul. Keduanya terdiam karena terkejut. Widi mencoba berdiri meski nyeri menyerang pipinya hingga memerah.

"Kenapa diem aja? Gak dilanjut lagi berantemnya?" Sarkas Widi.

Kedua remaja itu tidak menjawab dan memilih untuk menundukkan kepala merasa bersalah.

"Kenapa berantem? Kalau ada masalah itu coba ceritain baik-baik, jangan pakai kekerasan!"

Widi berkacak pinggang, menatap kedua muridnya silih ganti. "Ibu tanya kenapa kalian berantem?"

"Gak tau, Bu. Dia tiba-tiba mukul saya," jawab Alvan pelan tanpa menoleh sedikitpun pada Aji.

"Aji?" Widi mempersilakan kepada Aji untuk menjawab.

"Cowok brengsek kayak dia emang pantes buat dipukulin sampai mati!" Teriak Aji murka. Tatapan laki-laki itu sangat tajam, memberitahu pada Alvan bahwa Aji sangat membencinya.

"Maksudnya?" Tanya Widi bingung.

"Tanya aja, Bu, sama cowok brengsek ini. Apa yang udah dia lakuin, sama sekali gak bisa dimaafkan!"

Alvan tersentak terkejut. Bukan karena teriakan Aji, melainkan karena sesuatu yang diketahui laki-laki itu. Alvan yakin, Aji mengetahui sesuatu tentang dirinya, dan ini pasti bersangkutan dengan Risa.

"Alvan, tolong jelaskan maksud Aji."

Alvan bergeming di tempatnya dan terus menatap Aji sengit.

"Alvan?" Panggil Widi lagi.

"Maaf, Bu, saya gak tau. Tanya aja sama dia."

Pandangan Widi beralih pada Aji, "Kamu bisa jelaskan Aji?"

Aji tidak langsung menjawab hingga menciptakan keheningan di antara mereka. Aji tidak bisa sembarang berbicara, di sini banyak orang. Sedangkan, apa yang Aji ketahui tentang Alvan sangatlah rahasia dan menyangkut seseorang.

Aji memutuskan untuk pergi keluar kelas alih-alih menjawab pertanyaan Widi, membuat wali kelasnya itu berteriak dan berlari menghampirinya.

I'M A VICTIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang