29

464 66 38
                                    

“Tidak. Besok appa sengaja meluangkan waktu untuk bungsu Kim yang berpipi gembul ini,” jawab Jae Wook sambil mencolek pipi gembul Jin.

“Iisshh, Appa! Aku kan nggak gembuulll..”

“Ini apa kalau bukan gembul?” jawab Jae Wook yang kembali mencolek pipi gembul anaknya.

“Ini bukan gembul tapi–....”

“Berlemak! Hahahahahaha!”

“Iiiihhh!! Appaaaaa!!”


❤❤❤

Jae Wook masih berkutat dengan dokumen-dokumen yang tersusun di mejanya. Sebisa mungkin ia selesaikan dengan cepat agar ia bisa menepati janjinya untuk menjemput si bungsu. Beruntung hari ini tidak ada meeting dadakan, jadi keinginannya untuk pulang jam 6 sore bisa terwujud.

Tok.. tok

Suara ketukan pintu memecah suasana hening di ruangannya.

“Masuk!” Jawabnya tanpa mengalihkan atensinya.

“Permisi, Ssajang-nim.”

“Oh Ken. Ada apa?”

Jae Wook sudah cukup familiar dengan suara Ken, maka dari itu ia langsung mengenalinya.

“Saya mau memberikan laporan salah satu proyek di Busan.”

“Tidak perlu terlalu formal begitu, Ken. Laporannya tolong taruh dulu di meja ya.”

Melihat Jae Wook yang begitu serius dan seperti sedang terburu-buru, membuat Ken penasaran.

“Sepertinya samchon sedang terburu-buru.”

Jae Wook tersenyum kecil mendengar perkataan Ken. Ia mengalihkan fokusnya dari dokumen-dokumen itu sejenak dan menatap Ken.

“Tidak terlalu buru-buru. Hanya saja ingin menyelesaikan semua dokumen ini agar aku tidak pulang terlambat.”

“Oo.. Samchon ada janji?”

“Benar. Aku berjanji pada Jin untuk menjemputnya hari ini.”

Ken tersenyum. Ia terkesan dengan sikap Jae Wook. Di tengah kesibukannya, ia mampu meluangkan waktunya untuk anak-anaknya, terutama si bungsu. Meskipun mereka sudah besar dan mampu diserahi tanggung jawab mengenai adiknya, namun Jae Wook tetap meluangkan waktunya untuk sekedar menjemput anak bungsunya itu.

“Kalau gitu, titip salam buat Jin ya, Samchon.”

“Akan kusampaikan Ken.”

“Saya permisi.”

Selepas itu, Jae Wook kembali berkutat dengan dokumen-dokumen di mejanya.

Sementara itu di tempat lain, Jungkook yang baru saja selesai kelas, diajak teman-temannya ke kantin.

“Kantin yuk!” ajak Mingyu.

“GAASS!!” balas Bambam.

“Lo ikutan juga kan, Kook?”

“Harusnya sih ikut, Woo. Kan Jin juga masih latihan lomba,” jawab Lisa.

“Kok lo tahu jadwalnya Jin, Lis?” tanya Jungkook.

“Kan udah gue bilang, kalau gue suka sama Jin. Jadi ya wajar dong kalau gue tahu jadwal-jadwalnya dia,” jawab Lisa sambil tersenyum kecil.

“Kirain cuma bercanda, tahunya beneran dong!” balas Bambam.

“Lo serius suka sama Jin, Lis?” tanya Jungkook.

Jujur saja, meskipun ia sudah mengenal Lisa dari lama dan tahu bagaimana sifatnya, Jungkook masih belum rela kalau Lisa berpacaran dengan Jin. Bukan karena Lisa tidak sayang Jin, Lisa terang-terangan membela Jin pada saat Jin diserang Hyorin di taman kampus kala itu. Bukan juga karena Lisa tidak tulus menyayangi Jin, Lisa bahkan yang sering menasihatinya untuk lebih sabar dan bijak menghadapi perubahan sikap Jin sejak ia lumpuh.

Ia hanya tidak rela adik bungsunya, hamster kecilnya, si gembul kesayangannya yang semula bermanja pada dirinya, merengek minta dibelikan ini itu ketika menginginkan sesuatu, berubah bermanja pada seorang gadis. Sungguh, Jungkook tak sanggup membayangkannya.

“Lohaaa... Kook! Kok lo ngelamun?” tanya Eunwoo.

“Lo pasti ngelamun gara-gara omongan gue kan?!”

“Lo bercanda, Lis?” tanya Mingyu.

“Jadi lo semua percaya? Ya ampun! Gue bercanda teman-temanku sekalian. Jin itu udah gue anggep kayak adik sendiri.”

Fiuuuhh..

Jungkook bisa sedikit bernapas lega sekarang. Setidaknya dalam waktu dekat, tidak ada yang menjadi saingannya sebagai tempat Jin untuk bermanja-manja. Meskipun sebenarnya, Jin bukan tipe anak yang benar-benar manja dan bergantung pada para hyungnya.

Manjanya Jin mungkin hanya sekedar minta dibelikan es krim ke Jungkook ketika hyungnya yang lain sedang tidak mengijinkannya, atau minta untuk tidur bersama di kamar Jungkook karena Jin suka dengan dekapan hangat yang diberikan Jungkook. Mungkin karena badan Jungkook memang lebih besar diantara yang lain. Padahal badan Namjoon juga bisa dibilang besarnya juga seperti Jungkook, namun Jin lebih nyaman berada di dekapan Jungkook, si kakak yang menurutnya mirip dengan Kangguru itu.

“Dah yok! Ke kantin! Laper niihh!”

“Makan mulu pikiran lo, Bam!”

Bambam langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukan perkataan Mingyu yang selanjutnya diikuti oleh lainnya untuk menuju ke kantin.


---

Waktu sudah menunjukkan jam 6 sore, itu artinya jam latihan Jin, Soobin, dan Kai telah usai. Mereka bertiga pun mulai berjalan keluar menuju lobby kampus.

“Ahh! Hari ini melelahkan sekali..” keluh Soobin yang dibalas anggukan oleh Jin dan Kai.

“Hari perlombaan semakin dekat. Aku benar-benar gugup.”

“Wajar kalau gugup, Jin. Namanya juga mau lomba, jelas gugup,” balas Kai.

“Kau tidak gugup, Kai?”

“Gugup sih, tapi dikit. Hehe.. Menurutku persiapan kita sudah cukup matang untuk perlombaan ini. Lagian perlombaan debat semacam ini kan bukan kali pertama untuk kita. Jadi aku cukup percaya diri untuk hasilnya.”

“Jangan sombong dulu, Kai. Kita belum tahu bagaimana lawan kita nanti dan aku yakin kalau mereka bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan.”

“Ini bukan sombong, Jin. Tapi lebih ke percaya diri. Aku tidak meremehkan siapa-siapa di sini. Aku bisa menebak kalau lawan kita nanti cukup tangguh dan punya wawasan yang luas. Tidak mungkin juga universitas mereka mengirimkan wakil yang lemah. Tapi menurutku, kita cukup hebat kok untuk melawan mereka semua. Udah lah! Nggak usah dipikirin terlalu serius. Ntar kita jadi botak.”

“Kok jadi botak?”

“Asal ngomong aja sih, Jin. Hehe..”

Soobin menggelengkan kepala mendengar perkataan Kai.

“Apa yang tadi dibilang Kai benar, Jin. Gugup boleh, tapi jangan terlalu berlebihan. Okay?”

Jin hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Sebenarnya, rasa gugup Jin semakin bertambah seiring semakin dekatnya hari perlombaan. Belum lagi ini adalah kali pertama untuk Jin tampil di depan banyak orang asing dengan keadaannya yang sekarang.

Lumpuh

Mungkin bagi Soobin dan Kai beban yang mereka tanggung hanya berkutat di seputar perlombaan. Namun tidak bagi Jin. Ia tidak hanya menanggung beban untuk berlomba, tapi juga tekanan dari orang-orang di sana tentang keadaan dirinya. Bukan tidak mungkin, bila Jin akan mendapatkan tatapan remeh, sinis, dan tajam. Belum lagi bisik-bisik kanan kiri tentang kelumpuhannya. Membayangkannya saja sudah cukup menakutkan baginya. Tapi benar apa yang dibilang sama Soobin, akan lebih baik bila dia bisa mengendalikan rasa gugupnya.

Toh juga belum tentu terjadi dan kalaupun terjadi Jin akan berusaha menulikan telinganya dan fokus dengan perlombaan mereka. Kemenangan timnya jauh lebih penting dibandingkan cibiran orang asing yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sedang mengawasi mereka lengkap dengan tatapan tajamnya. Sosok itu benar-benar menatap salah satu dari mereka dengan tidak suka. Kebencian dan amarah sudah tercetak jelas di wajahnya. Jin, dialah targetnya.

“Urusan kita belum selesai, Jin.”

TBC

PrécieuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang