32

512 56 28
                                    

Hyorin terdiam. Ia memikirkan tawaran yang diberikan oleh Jungkook. Baginya sama saja. Bukan tidak mungkin bila keluarga Kim akan menghakiminya dan memberikan kekerasan verbal . Belum lagi dengan gelar “kesayangan keluarga Kim” yang disandang oleh Jin, membuat pikiran-pikiran negatif tentang keluarga Kim semakin menjadi-jadi.

“Semakin lama lo jawab pertanyaan gue, semakin– .....”

“Gue terima tawarannya, Kook. Besok gue akan ke rumah lo.”

“Besok jam 7 malam. Telat sedikit saja, gue anggap tawaran gue hangus.”

“Iya, Kook. Gue nggak akan telat. Makasih, Kook.”

“Jangan seneng dulu lo! Keputusan lo akan dilaporin apa nggak tergantung dari keluarga gue, terutama Jin.”

Dengan senyum smirk-nya, Jungkook berpaling dan meninggalkan Hyorin sendiri di sana. Tanpa peduli bagaimana kalutnya pikiran Hyorin saat ini.


❤️❤️❤️

Jin masih setia menunggu Jungkook datang menjemputnya. Ia tidak berniat untuk menghubungi kakaknya yang lain untuk segera membawanya pulang. Ia yakin pasti ada sesuatu yang penting yang harus Jungkook selesaikan sehingga membuatnya telat datang menemuinya.

“Kok tumben Kookie hyung lama? Apa mungkin ada pertemuan tambahan dari dosennya ya? Lebih baik aku main game saja sambil menunggu Kookie hyung datang.”

Begitulah perkataan Seokjin pada dirinya sendiri. Memang yang paling tepat saat ini adalah bermain game untuk mempercepat waktu.

Tak berselang lama seorang laki-laki datang menghampiri Jin yang sedang asyik main game dengan kepala yang tertunduk.

“Permisi, dengan Kim Seokjin?” Sapa laki-laki itu.

“Iya, saya,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphone.

Namun sejenak kemudian, Jin terdiam. Ia merasa familiar dengan suara tersebut. Pandangan yang semula fokus pada layar benda pipih tersebut, kini terangkat melihat wajah laki-laki yang saat ini berada tepat di hadapannya.

“Appa!” Pekikan senang keluar begitu saja dari mulutnya ketika melihat sang ayah yang sedang membalasnya dengan senyuman. Langkahnya ia bawa untuk mendekat dan menyejajarkan badannya dengan si bungsu yang berada di kursi roda.

“Menunggu lama ya? Maaf ya, tadi jalanan sedikit macet.”

“Hari ini appa yang menjemput?”
Jaewook hanya mengangguk sambil tersenyum menjawab pertanyaan Jin.

“Kok appa sama Kookie hyung nggak bilang?”

Tangan Jaewook tergerak untuk mencubit gemas hidung si bungsu.

“Kan appa sudah bilang kemarin kalau hari ini appa yang jemput kamu. Lupa ya?”

“Iihh! Appa lepas!” rengek Jin sambil mengusap hidungnya.

Jaewook menuruti Jin sambil terkekeh. Betapa gemasnya anak bungsunya ini padahal umurnya sudah bukan anak-anak lagi.

“Aku bukannya lupa, Appa. Tapi aku tahu kan appa pasti sibuk di kantor, jadi ya nggak ngira bakalan dijemput hari ini.”

“Appa pasti luangin waktu kok kalau Jin butuh.”

“Iya, aku tahu, Appa. Tapi aku nggak mau ngerepotin appa. Udah cukup keadaanku ini merepotkan banyak orang, termasuk appa.”

Tangan Jaewook terulur untuk mengusap halus kepala si bungsu.

“Appa nggak suka kamu bilang kayak gitu. Anak-anak appa nggak ada yang merepotkan. Kalian semua adalah anak-anak luar biasa termasuk kamu, Jin. Kehadiran kalian membawa warna baru di kehidupan appa. Appa dan eomma sama sekali tidak mempermasalahkan apapun keadaan kalian. Bagi kami, kalian adalah sebuah keajaiban yang Tuhan kasih dengan cuma-cuma dan kami nggak akan membuat kesayangan kami bersedih hanya karena keadaan kalian. Jadi Jin jangan bilang kayak gitu lagi ya..”

PrécieuxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang