Heart Defense (Iqbal)

16.3K 1.5K 91
                                    

Ada yg masih melek jam segini?
Yuk, vote dulu💅🏻

***

Seorang gadis berambut hitam sebahu tengah menatap seksama temannya yang sedang bercerita. Sering kali setiap mereka berkumpul, ia yang akan menjadi pendengar. Kadang ia suka berpikir, kenapa orang-orang punya cerita menarik setiap harinya?

"Lo yakin itu Lutfi?" tanyanya berkomentar.

"Yakin banget, Ya. Gue bahkan noleh tiga kali buat mastiin kalau yang meluk pinggang tuh cewek si brengsek Lutfi!"

Denia, gadis 23 tahun yang sudah setahun menjadi pengangguran itu mengangguk saja sambil menyuruh temannya untuk melanjutkan cerita. Sesekali Denia akan terkekeh melihat wajah temannya yang begitu ekspresif.

"Lo tahu gak, dia masih mikir gue belum move on. Gila aja gue gamon sama cowok kayak dia. Bahkan tuh cewek kayaknya gak lebih baik dari gue," kekeh teman Denia.

"Tapi, Zaf, gue yakin yang belum move on sebenarnya tuh si Lutfi deh. Buktinya dia masih sering gangguin lo, kan?"

"Bener! Dia nyebelin banget tahu gak, Ya, astaga... Tiap gue posting apa pun itu, dia komen. Lama-lama gue blok juga tuh manusia," kesal gadis yang Denia panggil Zaf tersebut.

Zafhirah, gadis 23 tahun yang berteman dengan Denia setahun belakangan ini. Mereka setiap hari bertemu karena Denia langganan toko kue Zafhirah. Dan yang membuat Denia betah berlama-lama di toko Zafhirah adalah cerita gadis itu.

"Lo sama sepupu lo itu gimana? Masih suka?" tanya Zafhirah mengganti topik.

Denia mencebikkan bibir. Ia tengah berusaha untuk melupakan lelaki yang Zafhirah sebutkan. Tapi sepertinya sangat sulit mengingat mereka tinggal di atap yang sama.

"Masih. Tapi ya, gitu, gak pernah ngobrol."

"Aneh ya. Sepupuan dekat tapi gak pernah ngobrol. Sepupu lo itu cuek banget. Kaku. Gue yakin gak bakal ada yang mau jadi pacarnya kecuali lo."

Denia terkekeh, "sembarangan lo. Gitu-gitu dia playboy. Gue dengar Bang Beryl pernah bilang kalau ada cewek yang nyamperin dia ke kantor cuma buat nanyain tuh cowok. Gak cuma 1, tapi banyak."

"Parah. Lo suka sama orang yang salah. Mending sama Tora. Tahu banget dia ngejar-ngejar lo dari tahun lalu."

Denia bergidik membayangkan lelaki bernama Tora yang Zafhirah sebutkan. Denia malah berharap tidak akan bertemu lagi dengan lelaki itu. Denia masih malu dan tidak punya muka rasanya jika harus berhadapan dengan Tora.

"Gue tinggal dulu ya. Kasihan tuh keteteran," kekeh Zafhirah melihat pegawainya yang melayani banyaknya pelanggan siang ini.

Denia mengangguk dan membiarkan Zafhirah pergi. Ia kembali menyantap kue yang tersisa setengah potong. Setelah kuenya habis, Denia akan segera pulang. Ia tidak mau mendengar ibunya mengoceh hanya karena ia pergi terlalu lama.

Setahun menjadi pengangguran membuat Denia mengenal banyak orang. Bukan karena ia terkenal. Tapi karena ia suka bepergian ke sana kemari menghabiskan waktu luangnya. Tentunya dengan uang dari ayahnya.

Menjadi anak bungsu membuat Denia sedikit manja. Meski ayahnya memiliki perusahaan dan abangnya juga bekerja di sana, Denia tidak mau mengikuti jejaknya. Apalagi ia lulusan Ilmu Komunikasi. Harusnya ia menjadi reporter atau wartawan. Tapi ibunya bersikeras menolak. Katanya pekerjaan itu tidak cocok untuk anak manja sepertinya.

Dan akhirnya beginilah nasib Denia. Menghabiskan uang tanpa tahu berapa limit yang kadang ia gunakan dalam sehari. Tidak ada yang marah bahkan menegur keborosannya.

***

"Mama mana, Mbak?" tanya Denia saat ia memasuki dapur dan hanya ada asisten rumah tangga yang bekerja.

"Ibu pergi ke Bogor, Non, Neneknya Non Denia sakit. Ibu gak sempat bilang karena Bapak ngajaknya dadakan," jelas wanita 40 tahun itu.

"Kapan pulang?"

"Duh, kurang tahu, Non."

Denia berlalu dari dapur sambil merogoh ponsel di celananya. Ia mendial nomor sang ibu dan terjawab pada deringan ketiga.

"Ma—"

"Nenek meninggal, Dek, serangan jantung."

Langkah kaki Denia seketika terhenti bersamaan dengan pintu rumah yang terbuka. Denia menoleh dan menatap seorang lelaki 30 tahun yang mendekat padanya.

"Siap-siap, kita berangkat sekarang," katanya berlalu menaiki undakan tangga.

"Kalian hati-hati. Abang udah di sini. Tadi kamu mau Mama ajak sekalian tapi gak sempat. Kata Papa sama Iqbal aja."

"Oke."

Denia melangkah kembali. Ia mengikuti jejak lelaki bernama Iqbal yang lebih dulu menaiki undakan tangga. Kamar mereka sama-sama di lantai dua. Ada kamar abang Denia juga di sana.

Bersiap cukup cepat, Denia akhirnya keluar kamar. Ia membawa beberapa pakaian untuk berganti karena pasti mereka akan menginap di sana beberapa hari. Ibunya juga berpesan untuk membawa pakaian miliknya dan sang suami.

Usai dengan barang bawaannya, Denia menunggu Iqbal di ruang tamu. Lelaki itu turun dari lantai 2 beberapa menit setelahnya. Iqbal tidak membawa apa pun selain ponsel di tangannya.

"Gak bawa baju?" tanya Denia.

"Gak. Aku balik sama Beryl besok pagi. Ayo."

Denia keluar dari rumah setelah berpamitan pada asisten rumah tangga. Iqbal membantunya memasukkan barang bawaan Denia ke bagasi, lalu ia masuk di kursi kemudi dan Denia di sebelahnya.

Mobil melaju meninggalkan kediaman orangtua Denia. Suara sepi di dalam mobil menjadi pengantar perjalanan mereka. Denia memilih untuk menatap jalanan di sebelah kirinya. Ingatannya tiba-tiba terlempar ke 5 tahun lalu.

Denia ingat saat itu neneknya berkunjung dan menginap hampir sebulan di rumahnya. Denia tentu saja senang. Tapi ada kejanggalan selama neneknya di rumah. Sikap Iqbal yang perlahan berubah. Lelaki itu menjadi lebih pendiam dan tidak lagi menyapanya seperti biasa yang terjadi.

Seingat Denia, ia tidak membuat kesalahan apa pun yang menyinggung Iqbal. Bahkan hari itu, paginya mereka masih bercanda dan tertawa. Tapi saat malam tiba, sikap Iqbal sontak berubah.

Denia tidak pernah mempertanyakan perubahan itu. Ia mengira Iqbal sedang tidak ingin diganggu saja. Tapi seiring waktu berlalu, mereka semakin asing. Denia merasakan betul perubahan itu. Apalagi saat menyadari kalau benih-benih cinta mulai memenuhi hatinya.

"Udah ada yang keterima?"

Denia menoleh dengan bingung. Iqbal tiba-tiba bersuara. Denia hanya ingin memastikan kalau pertanyaan lelaki itu benar ditujukan untuknya.

"Beryl bilang kamu masukin lamaran lagi di Pink Media dan Suara Gadis. Gimana?"

Denia langsung paham. Ia menggeleng pelan. Meskipun nada bicara dan bertanya Iqbal biasa saja, tapi Denia tetap merasa ada yang berbeda. Ada jarak yang sangat jelas lelaki itu bangun di antara mereka.

"Belum. Katanya nunggu sebulan. Kalau gak dihubungi berarti aku gak diterima."

Iqbal tidak lagi bertanya atau menanggapi. Denia pun ikut diam. Beginilah mereka sekarang. Kalau Iqbal yang 5 tahun lalu, pasti akan berusaha untuk tetap emlanjutkan obrolan mereka agar tidak terputus. Banyak hal yang lelaki itu akan bahas dengannya. Hal apa pun.

Karena tidak mau membuat suasana hatinya memburuk, Denia memilih untuk memejamkan mata. Tidur lebih baik daripada hanyut dalam keheningan yang menyiksa. Diam-diam Iqbal menoleh padanya. Rahang lelaki itu mengeras tiba-tiba.

***



Ciyeeee update lageeehhh🥵

Tebak-tebak tak berhadiah. Perasaan Denia terbalas apa enggak nih?

Jangan lupa mampir di Karyakarsa ya! Aku bakal up semua novel di sana sampai tamat. Novel yg pernah aku up di wp.

Kamu bisa cek judul2 novelnya di Bio aku dan update di platform mana aja.

Bwt, Anya - Edward udah update bab 37. Tuan dan Nyonya

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang