Heart Defense (Iqbal 2)

11.5K 1.5K 39
                                    

Nenek Denia sudah dimakamkan pada sore harinya. Malam ini diadakan yasinan di kediaman almarhumah. Denia menempati kamar ibunya saat masih gadis dulu. Banyak figura yang tergantung di dinding kamar tersebut.

Denia memperhatikan setiap potret di dalamnya. Sesekali senyum Denia akan terbit saat melihat ia semasa kecil yang begitu kucel. Rambut pendek, badan kurus dan kulitnya hitam. Berbeda sekali dengan Denia yang sekarang. Ia sudah bisa merawat diri.

Tatapan Denia terhenti lama pada satu figura. Ada potret dirinya dan Beryl di sana. Di belakang Denia sosok Iqbal melengok dan terabadikan. Wajah lelaki itu tersenyum lebar dengan gigi ompong di tengah-tengahnya.

"Aku kangen kamu yang dulu," gumam Denia dengan sesak yang memenuhi dadanya.

Di luar, acara yasinan sudah usai. Denia memang memilih lebih dulu undur diri karena ia merasakan kantuk. Tapi saat berada di kamar, kantuknya seketika hilang entah ke mana.

Pintu kamar terbuka. Ibu Denia masuk dan mendekatinya. Mata wanita itu sembab tapi bibirnya masih bisa tersenyum. Mau setua apa pun orangtua, yang namanya kehilangan tidak ada yang menyenangkan. Air mata selalu menjadi penghantarnya.

"Mama, oke?" tanya Denia sambil mengusap lengan ibunya.

Wanita yang melahirkan Denia 23 tahun silam itu tersenyum sambil mengangguk. Ia memeluk Denia sebelum menjelaskan maksudnya menemui sang putri.

"Pengacara Nenek mau kita kumpul semua. Wasiat Nenek mau dibahas malam ini juga."

"Gak bisa besok, Ma? Kita baru aja berduka," kata Denia heran.

"Harusnya tunggu peringatan 7 hari Nenek dulu. Tapi pengacara Nenek harus ke Dubai subuh nanti dan belum bisa balik dalam waktu dekat. Mama sebenarnya gak masalah kapan aja. Tapi yang lain inginnya malam ini aja. Ayo, Dek," jelas sang ibu sambil menggenggam tangannya keluar dari kamar.

Denia menghela napas panjang. Pasti adik-adik ibunya yang memberi usulan itu. Karena seingat Denia, hanya ada 2 pamannya yang tamak akan harta.

Semua orang berkumpul di ruang keluarga. Di sana juga banyak terjejer rapih figura potret keluarga. Neneknya memang suka mengoleksi dan mengabadikan momen-momen penting dalam hidup anak dan cucunya.

"Jadi, ini ada 2 surat yang ditinggalkan Nyonya Dewi. Yang pertama ini pembagian harta beliau. Yang kedua ini pembagian harta Tuan Martin. Dulu, saat Tuan Martin meninggal dunia, surat ini ditahan Nyonya Dewi karena beberapa faktor. Dan sekarang baru saya informasikan sekaligus."

Denia duduk diam sambil memperhatikan pengacara neneknya memberi tahukan surat yang Denia tidak terlalu peduli. Ia tidak memusingkan soal harta warisan. Denia masih bisa mengandalkan harta orangtuanya.

"Saya akan bacakan dulu isi surat Tuan Martin. Yang pertama, perusahaan induk di Swiss diambil alih penuh oleh Tuan Karim. Kedua, villa dan hotel di Bali diambil alih penuh oleh Nyonya Melani. Ketiga, perusahaan cabang di Jakarta diambil alih penuh oleh Tuan Sudi. Keempat, perusahaan cabang di Bali diambil alih penuh oleh Tuan Yusuf."

Denia tidak begitu memdengarkan. Ia hanya sesekali mecuri lihat pada Iqbal yang duduk di sofa yang berhadapan dengannya. Ada Beryl juga di sana.

"Itu semua pembagian harta Tuan dan Nyonya. Berikutnya ada surat wasiat yang Nyonya Dewi tinggalkan. Ini khusus untuk cucu-cucunya."

Kening Denia mengernyit. Perasaannya tiba-tiba tidak tenang. Ia gelisah entah karena apa. Apalagi saat matanya dan mata Iqbal bertemu, jantung Denia berpacu cukup kuat.

"Yang pertama, untuk cucuku Iqbal Zakir Rashid. Perusahaan pertambangan di Kalimantan Timur bisa kamu ambil alih sepenuhnya saat kamu sudah menikah."

Semua mata memandangan Iqbal. Ada tatapan iri dari beberapa sepupu Iqbal. Ia merupakan cucu pertama dari anak pertama kakek dan neneknya. Harta bagiannya lebih besar dibandingkan yang lainnya.

"Di sini Nyonya Dewi juga menuliskan dengan siapa Iqbal akan menikah."

Semua orang kembali dibuat memandang lelaki itu. Denia yang tidak bisa mengalihkan tatapannya. Rasa panas menjalar di matanya. Sial.

"Ada copyan nya, Pak? Biar kami baca sendiri," tanya Beryl.

"Tentu. Silakan."

Denia dan semua cucu neneknya mendapatkan selembar kertas berisi wasiat neneknya. Ia gila. Denia tidak bisa membaca dengan fokus saat harapannya tidak dikabulkan. Sejak tadi, ia berharap namanya yang akan ditulis oleh sang nenek. Tapi sayang, nama yang ada di sana adalah nama sepupu jauh mereka. Cucu dari adik lelaki neneknya.

"Saya menolak," tolak Iqbal sambil meletakkan kertas di tangannya ke atas meja.

"Syaratnya sudah jelas di sana. Kalau kamu menolak, artinya tidak ada sepersenpun bagian untukmu," jelas pengacara itu dengan tenang.

Iqbal mengangguk. Ia beranjak dari duduknya dan berlalu begitu saja meninggalkan semua orang. Dari ekor matanya ia bisa melihat Denia menatap kepergiannya.

"Dek," panggil ibu Denia.

"Aku boleh nolak juga?" tanya Denia menahan tangis.

Denia menatap ibu dan ayahnya bergantian. Kedua orangtuanya itu mengangguk menyetujui. Apa pun keputusan putrinya, mereka akan mendukung.

"Saya menolak."

Denia membuat semua orang kini menatapnya. Meski tatapan penuh tanya itu menyerangnya, Denia tidak lagi menghiraukan. Ia berlalu dari sana menuju kamar ibunya.

"Aneh. Orang-orang pada nolak harta. Ini kalau saya setuju bagaimana? Denia menolak."

Pengacara itu tersenyum. "Kamu tetap akan mendapatkan bagianmu. Dan sisa untuk Denia akan disumbangkan ke Yayasan amal. Begitupun dengan Iqbal. Karena dia sudah menolak. Bagiannya akan disumbangkan juga. Di sini Nyonya Dewi tidak menulis untuk bisa digantikan oleh siapa pun dalam keluarganya. Jadi, selain Iqbal tidak ada yang berhak untuk perusahaan tersebut."

"Goblok. Nolak jaminan hidup tenang karena gak mau dijodohin," ejek sepupu Denia yang memang bermulut tajam.

Beryl yang sejak tadi diam seketika ikut bangkit juga. "Saya juga menolak."

Kedua orangtuanya tersenyum maklum. Mereka paham dengan keputusan anak-anaknya. Kebahagiaan tidak selalu diukur oleh harta melimpah.

"Pada kenapa sih? Sombong banget gak mau harta," celetuk salah satu paman Denia, adik bungsu ibunya.

"Itu saja. Kalau sudah jelas dan disetujui, kita bisa tandatangan berkas malam ini," kata si pengacara.

Ibu Denia dan ayah Iqbal meninggalkan ruang keluarga lebih dulu karena mereka hanya membubuhkan tandatangan di 1 lembar masing-masing. Berbeda dengan 2 adik mereka yang masih sibuk mempertanyakan wasiat sang ibu untuk para cucu.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Karim pada adiknya, Melani.

"Hm. Aku lega karena anak-anak udah bisa milih dengan bijak," jawab ibu Denia.

Ayah Iqbal mengangguk membenarkan. "Harta masih bisa dicari. Kebahagiaan anak-anak yang paling utama," balasnya.

***





Restu nenek sudah tak berguna. Eh. Keceplosan.

Kenapa pada nagih PO sih🥲
Baru juga update bab 2🤣
Sabar atuh. Jangan agresif banget💦
Sesak napas jadinya nces🥵

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang