#HUJAN.SERIES.4
"Where have you been all this time?"
"Nowhere. Not your bussiness by the way."
"Air, please?"
"No! Berhenti panggil gue dengan nama Air. Nama itu cuma bisa digunakan untuk orang-orang yang berarti buat gue. Dan lo, Aidan, jelas buka...
Banitsa is a Bulgarian pastry. Prepared by layering a mixture of whisked and pieces of between filo pastry, which is then baked in an oven.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Trusting you is my decision. Proving me right is your choice.
-Anonim-
Air POV
Berjalan di ruangan tengah, aku berhenti pada sebuah lemari besar yang berisi banyak buku. Awalnya—sepuluh tahun lalu—lemari ini hanya terisi separuh dengan buku-buku milikku. Buku yang aku beli hanya karena ingin mengisi lemari kosong di rumah ini. Buku yang ternyata disukai oleh seseorang yang pernah bekerja di sini.
Aku menyentuh beberapa buku baru dengan sampul meriah penuh warna. The Cloud, the Rain, and a Puddle yang sepertinya terinspirasi oleh pengalaman hidup pengarangnya. A Puddle in Big World, The Girl Who Finally Get Happiness, dan When a Puddle Loves. Empat buah buku yang sudah diterbitkan dan disadur dalam beberapa bahasa, menghiasi lemari buku besar itu sebagai sorotan utama di ruangan ini.
Mengalihkan pandangan, aku kembali melangkah ke arah belakang rumah. Melewati dapur yang dilengkapi sebuah kitchen island besar dan berjalan ke luar melalui satu pintu Perancis indah yang memisahkan ruangan di dalam rumah dengan halaman belakang. Menemukan satu buah taman besar—jauh lebih besar dari yang terakhir kali aku ingat—dipenuhi oleh berbagai macam tanaman hias.
Aku tersenyum menyadari kalau sentuhan feminin akhirnya bisa membuat rumah dan halaman belakangnya lebih indah. Dulu, rumah ini hanya diisi oleh seorang laki-laki dengan disabilitas yang tidak mempunyai waktu dan keinginan merawat lingkungannya. Kini, rumah ini bertambah hidup dengan kehadiran anggota keluarga tambahan yang memberikan tawa di setiap sudut ruangan.
Perlahan langkah kakiku terhenti di undakan tangga, kemudian duduk di undakan teratas. Merasakan dinginnya lantai marmer yang merasuk ke kulit walaupun dihalangi oleh celana katun tipis yang aku pakai. Aku menjulurkan telapak tangan ke depan, berusaha menangkap sisa hujan yang menetes dari atap.
Entah ada apa dengan hujan dan rumah ini, rasanya rintik itu selalu menyapa ketika aku berada di sini.
"Air."
Satu suara lembut mengagetkanku, membuat tubuhku tersentak karena baru saja melamun panjang. Aku menoleh ke belakang dan menemukan sesosok mungil menatapku dengan pandangan ingin tahu.
"Kak Senja," jawabku. Memberikan senyuman yang aku tahu akan selalu mereka balas, dua orang pasangan suami istri yang selalu tersenyum menenangkan.
Senja mendekat dan ikut duduk di lantai, mendekatkan diri hingga pundaknya menyentuhku ringan. "Lagi apa?"
Menggeleng malas, aku tidak menjawab pertanyaannya. Merasa lelah bahkan jika untuk berkata-kata.
Senja duduk di sampingku, tangannya ikut terjulur ke depan, juga berusaha mengambil tetesan air yang sayangnya kembali menghilang dari sela tangan. Dia terlihat bahagia ketika melakukannya, seakan tidak pernah cukup mengagumi hujan.