46. Mental Burden

161 17 1
                                    

Hawa dingin yang berhembus malam itu seolah membawa kabar jika musim gugur akan segera tiba. Kegusaran angin yang tak terbelenggu membuat daun-daun berjatuhan dan terbang kemana-mana.

Sama seperti ambisi Yuta yang tidak bisa lagi dia tahan. Yuta bersikap egois kali ini. Tidak peduli seberapa lelahnya dia setibanya dari Jepang dan kesiapan Yuhi menghadapi kenyataan, lelaki itu ingin memaksakan kehendaknya untuk segera mengakhiri misteri ini.

Yuta,Yuhi, dan Chenle berdiri mematung di depan sebuah pintu usang berwarna merah muda didampingi segerombol polisi dan seorang ahli psikologis.

Suasana rumahnya saat ini benar-benar sunyi. Kris tidak pulang dari Jepang, pria itu masih menetap disana, dan hanya ada beberapa maid yang ikut menonton jalannya penyelidikan.

Yuta menyerahkan kunci itu pada salah seorang polisi dan menunggu pintu itu terbuka dengan hati berdebar.

Yuhi meremas bagian depan dress-nya. Perasaannya campur aduk antara rasa takut, cemas dan juga penasaran. Yuhi tidak tau mengapa dia begitu terganggu dengan ruangan itu setiap kali dia melewatinya, dan dia selalu di hantui rasa ketakutan tanpa dia tau penyebabnya.

Pintu usang itu akhirnya terbuka, dengan aroma formalin yang menyengat menyambut mereka. Yuta masuk lebih dulu dengan menekan tombol lampu redup  berwarna kuning yang membuat tempat itu tak cukup terang untuk bisa melihat dengan jelas.

Suasana mencekam itu begitu terasa meskipun Yuta tak memiliki memori apapun tentang tempat itu dan ketakutan yang tiba-tiba menjamahnya sama sekali tidak berdasar. Lelaki itu menatap kosong pada lantai kayu lapuk dengan jejak menghitam di tengahnya, lantai itu hangus, seperti pernah ada api yang  bergelung di atasnya.

Tatapan mata Yuta perlahan mengedar, menatap sebuah peti mati  kaca yang terletak rapi diatas meja kayu dengan ukiran aksara Jepang kuno. Langkah kakinya perlahan melambat. Menatap lamat-lamat tubuh tak bernyawa seorang wanita yang terbaring cantik dengan yukata putih bergambar bunga lily.

Wajah itu tidak asing untuknya tapi dia juga tidak mengingat dengan jelas setiap detail anatomy nya. Yuta mengenalinya meskipun wajah itu terlihat lebih pucat dari apa yang tergambar dalam ingatannya.

Lelaki itu berhenti tepat di depan peti mati, kaki-kakinya mendadak lemas dan membuatnya jatuh bersimpuh di depan peti mati ibunya. Tidak ada kata yang bisa dia ucapkan selain tangisan pedih dan penyesalannya.

Sementara Yuhi masih membeku di tengah ruangan. Wajah pucat itu tampak persis seperti dalam mimpinya, namun bukan wajah Yukina yang tertidur yang dia lihat, melainkan wajah Yukino yang lemah dengan nyala api yang melahap tubuhnya.

Yuhi tidak bisa mengendalikan ini. Jantungnya berdetak sangat cepat dengan nafasnya yang memburu. Bekas hangus di bawah telapak kakinya seolah hidup dan membawa kembali gambaran menyeramkan tentang tragedi malam itu.

Lantai kayu itu seolah kembali menyala, dengan api yang meliuk-liuk di depan matanya. Nada lirih dari seorang wanita itu kembali mengalun di dalam kepalanya.

Sungguh Yuhi tidak ingin mendengarnya lagi, Yuhi membenci suara itu. Gadis itu menutup kedua telinganya dengan tangan berharap suara itu akan hilang dari kepalanya, tapi itu sia-sia. Suara lirih itu bergaung semakin keras menyanyikan lagu tidur untuknya dan bersautan dengan suara api yang memakan tubuh seorang wanita.

Yuhi menangis, dia bersusah payah untuk tidak berteriak. Langkah kakinya mulai gusar dan melangkah mundur dengan tidak sabaran hingga dia hampir jatuh kebelakang jika saja Chenle tidak menangkap tubunya.

"Dia mati... Chenle dia mati... " Lirih Yuhi dengan kepala menggeleng cepat.

"Api itu membakarnya... Dia mati.. dia menatapku.."

Young Master | Zong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang