bab 4

1.1K 193 15
                                    

Andin kembali ke rumah sakit ditemani Aldebaran. Awalnya ia tak menginginkan lelaki tersebut ikut dengannya. Namun karena Aldebaran yang memaksa, Andin tak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan bosnya itu ikut.

Sesampainya di ruangan Surya, Andin melihat dokter selesai memeriksa kondisinya. "Kondisi pak Surya mulai membaik, kita tunggu beberapa hari ke depan," ucap dokter.

"Baik, Dok, terima kasih," kata Andin. Dokter lalu pamit untuk kembali memeriksa pasien lain.

Andin duduk di kursi sebelah brankar papanya. "Papa udah ngerasa baikan?" tanya Andin.

Surya mengangguk. Ia lalu beralih menatap Aldebaran. "Dia siapa, Ndin?"

"Dia...."

"Perkenalkan, Om, saya calon suaminya Andin," kata Aldebaran memotong ucapan Prilly.

Surya tampak kaget mendengarnya. Ia lalu meminta Andin untuk membantunya duduk. "Calon suami?" tanya Surya tak percaya. "Andin, ada apa ini?"

Andin bingung harus menjelaskan dari mana. Ia juga tak mungkin jika memberitahu papanya jika hubungannya dengan Aldebaran hanya sebatas kontrak.

"Andin adalah karyawan saya di kantor, Om..., dan kita akhirnya saling jatuh cinta," ucap Aldebaran mencoba memberi penjelasan.

"Sejak kapan?"

"Sejak satu bulan yang lalu, Om. Saya tahu hal ini mendadak untuk Om Surya, tapi izinkan saya meminta restu untuk menikahi anak Om."

Andin menatap Aldebaran dengan tak percaya, sejak kapan lelaki itu menyusun kata-kata manis seperti itu. Andin rasanya hampir tak percaya jika yang barusan berbicara adalah seorang Aldebaran.

Surya menghela napas. "Semua keputusan ada di Andin. Jika memang kalian sudah yakin, om hanya bisa mendoakan yang terbaik." Surya meraih tangan Andin. "Papa cuma berharap kamu bisa bahagia dengan pilihan kamu, Ndin. Dan Nak Al..., tolong jaga anak om dengan baik. Jangan pernah sakiti dia."

"Saya akan berusaha menjaga dan melindungi Andin, Om," kata Aldebaran.

"Yaudah, Papa istirahat, ya. Kita bahas masalah ini nanti lagi." Andin membantu Surya rebahan kembali.

Setelah memastikan papanya tidur, Andin segera keluar dan duduk di kursi tunggu.

"Mas Al lancar banget, ya, bohongnya," sindir Andin.

"Bohong apaan?"

"Tadi, pas ngomong sama papa lancar banget gitu."

"Terus kamu berharap saya bicara di depan om Surya kalau kamu ada kontrak dengan saya?"

"Ya nggak gitu juga, lah, Mas."

Ddrrtt...
Ponsel Aldebaran berdering. Ia lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Saya harus pergi, ada urusan yang harus saya selesaikan," kata Aldebaran.

"Yaudah, sana."

"Kamu ngusir saya?"

"Mas Al ada urusan, kan, yaudah silakan." Andin pun mempersilakan Aldebaran untuk pergi.

Setelah memastikan Al pergi, Andin langsung menggerutu sendiri. Ia benar-benar tak menyangka jika harus berurusan dengan Aldebaran. Lelaki itu memang punya pesona yang mampu memikat hati perempuan, tapi sikapnya sangat tidak rekomend untuk dipertahankan.

***

Andin menatap meja kerjanya dengan nanar. Baru dua hari ia tak masuk kerja, sudah ada setumpuk berkas yang harus ia selesaikan. Andin menghela napas kasar, tampaknya ia akan lembur hari ini.

Please Feel Me at EaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang