Andin mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Ia menatap kamarnya untuk beberapa saat, lalu meninggalkan rumah yang hampir enam bulan ini memberinya cerita. Andin tak menyangka jika akan pergi dengan cara seperti ini, bahkan Aldebaran tak menahannya. Papa Andin memang sudah kembali ke rumahnya dua hari yang lalu karena kurang nyaman jika berada di rumah Al. Jadi Andin tak perlu menjelaskan apapun ketika ia memutuskan untuk kembali pulang.
Sekali lagi Andin menatap rumah Pondok Pelita dengan sayu. Terlalu banyak kenangan yang sudah hadir diingatannya. Potongan-potongan kisah itu kembali menghiasi kepala Andin, membuatnya tersenyum miris.
Setelah memastikan dirinya siap untuk meninggalkan Aldebaran, Andin berlalu tanpa pamit. Al yang sedari tadi memandang Andin dari ruang kerjanya pun hanya bergeming. Dua insan itu tengah diselimuti ego yang menggebu, saat emosi tengah menguasai tak ada lagi rasa simpati.
Uya pun hanya memandang Andin dengan sedih. Ia sebenarnya ingin bertanya ada masalah apa, tapi itu bukan haknya untuk ikut campur.
"Mba Andin hati-hati, ya," ucap Uya ketika Andin hendak masuk ke dalam taxi onlinenya.
"Makasih, ya, Uya. Maaf, saya nggak bisa pamitan langsung. Salam buat Kiki dan yang lain, ya. Aku titip mas Al." Andin lalu masuk ke dalam mobil. Ia sudah memantapkan diri.
"Aku tidak pernah menginginkan duri dalam hubungan kita, Mas, tapi sepertinya ada batasan yang kamu jaga agar aku tak terlalu jauh melangkah." Andin menangis dalam diamnya.
Begitu pula yang dialami Aldebaran. Ia hanya mampu terdiam dengan mata memerah. Melihat kepergian Andin membuat hatinya hancur. Al telah salah melepas sumber kebahagiaannya selama ini.
***
Andin memejamkan mata ketika berada di depan rumahnya. Ia berusaha menyadarkan dirinya lagi jika sekarang semua telah kembali seperti semula. Surya keluar dari dalam rumah dan sedikit terkejut mendapati putrinya yang pulang membawa koper.
"Andin," panggil Surya. Mendengar suara itu, Andin menghampiri papanya dan memeluk pria itu.
"Andin pulang, Pa," ucap Andin dipelukan papanya.
"Iya, Papa tahu, Nak." Surya berusaha menguatkan Andin. Ia mengerti jika putrinya kini sedang tidak baik-baik saja, Surya lalu mengajak Andin masuk ke rumah karena hari sudah larut malam.
Surya menyiapkan makan malam untuk Andin sambil menunggu anaknya itu beberes. Selesai menata pakaian dan mandi Andin pun turun untuk mengambil air minum.
"Makan dulu, Ndin." Surya menuangkan air minum digelas.
"Aku nggak laper, Pa."
"Tapi kamu harus makan."
"Aku mau istirahat aja di kamar." Andin berlalu membawa segelas air yang dituangkan Surya tadi. Memaksa Andin untuk makan saat ini memang akan sia-sia. Ia butuh ruang untuk berpikir sejenak.
Sementara itu, Aldebaran yang hendak pergi ke kamarnya terhenti di depan kamar Andin. Ia kembali menatap kamar kosong tersebut, mengingatkan lagi akan kehadiran Andin. Aldebaran masuk ke kamar tersebut dan duduk di tepi ranjang.
"Apa kamu sudah tidur, Ndin?" Aldebaran menatap seisi kamar.
"Maafin saya, Ndin," gumam Al. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Namun yang jelas, Al tak ingin kalah oleh perasaannya.
Ketika pagi buta, Al sudah berolahraga seperti biasanya seolah tak terjadi apa-apa semalam, membuat Kiki dan Uya heran melihatnya.
"Mas Al itu loh, semalem kayak orang depresi, sekarang pagi-pagi udah biasa aja. Apa mas Al punya dua kepribadian, ya, Uya?" tanya Kiki kepada Uya.
"Aduh, aduh..., Ayang Kiki mikirnya kejauhan."
"Ya, kalau kejauhan tinggal dideketin dong, Uya."
"Kayak gini, ya?" Uya malah menempelkan dirinya kepada Kiki, membuat perempuan itu meronta tak terima.
"Uya apaan, sih. Kamu minta Kiki jitak nih?" Kiki sudah siap ingin menjitak kepala Uya, tapi Uya segera kabur menghindar.
"Kamu ngapain di situ, Ki?" tanya Aldebaran.
"Eh, Mas Al, itu tadi Kiki abis buang sampah, Mas."
"Yaudah pergi masak sana, ngapain ngobrol di sini?"
"Iya-iya, Mas Al, galak banget, sih."
Aldebaran tak menggubris ucapan Kiki. Seperti biasa, ia menampilkan raut muka datar dan sinis. Kiki merasa suasana di Pondok Pelita kembali seperti semula, bahkan lebih mencekam lagi.
***
Kehadiran Aldebaran pagi ini di kantor membuat suasana tiba-tiba menjadi hening. Sapaan yang dilontarkan karyawannya tak dibalas dengan ramah oleh Aldebaran, membuat sebagian orang merasa sang Devil telah kembali.
"Pak Al kenapa, sih, kok, balik setelan awal lagi," gumam salah satu karyawan.
"Iya, nih, padahal kemarin kayaknya udah normal-normal aja. Kan enak kalo dia senyum, nggak nyureng kayak gini."
"Bener tuh, lagi sensi kayaknya dia."
Berbagai komentar bergema di kantor pagi ini, tapi Aldebaran tak sekalipun menggubris. Ia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Hal tersebut juga dilakukan oleh Andin. Walau sebenarnya ia segan jika bertemu dengan Al, tapi melihat Aldebaran seperti biasa-biasa saja membuat Andin juga merasa tak perlu mengkhawatirkan sesuatu.
"Ndin, nanti ada rapat jam sembilan, ya...," ucap Mirna mengabari Andin.
Andin pun mengangguk dan menyiapkan segala berkasnya. Ketika jam sudah menunjuk pukul sembilan kurang sepuluh, Andin segera bersiap ke ruang rapat. Sudah ada beberapa orang yang hadir di sana.
Tak lama, Aldebaran muncul dan langsung memulai rapat. Andin pun segera bangkit untuk menyampaikan presentasinya. Ia berusaha untuk tenang, tapi tatapan Aldebaran seolah mengganggunya.
"Saya nggak suka dengan proposal yang kamu ajukan," ucap Aldebaran.
"Tapi itu produk yang Pak Al inginkan bulan lalu, dan saya mencoba berkoordinasi dengan bagian penjualan terkait produk tersebu," sanggah Andin.
"Saya minta proposal yang baru. Besok pagi harus sudah ada di ruangan saya." Aldebaran berdiri dan mengancingkan jasnya, lalu pergi meninggalkan ruang rapat.
Andin menghela napas kasar menahan emosinya. Aldebaran sepertinya sedang mempermainkan dirinya. Diruangannya, Andin terus merutuki Aldebaran. Ia benar-benar murka dengan lelaki tersebut.
"Kamu ada masalah sama pak Bos, Ndin?" tanya Mirna.
"Masalah? Hahaha..., dia yang nyari masalah, Mir," jawab Andin.
"Kemarin-kemarin kan, pak Bos kayaknya nempel banget sama kamu, tapi sekarang, kok aneh, ya...."
"Iya, dia emang orang teraneh, Mirna."
Mirna tak bisa berkomentar apa-apa lagi, ia merasa ada pertumpahan darah yang sedang terjadi.
"Aku harus ngomong sama mas Al."
"Eh, Andin, kamu ke mana?" Mirna berteriak ketika Andin dengan tekadnya ingin melabrak bosnya tersebut. "Haduh, kalau ada masalah nggak ikut-ikutan, deh," ujar Mirna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Feel Me at Ease
FanfictionAndini Kharisma Putri tak menyangka jika hidupnya akan berurusan dengan Aldebaran alfahri, laki-laki yang teramat menyebalkan dihidupnya. Bagi Andin, masuk ke dalam dunia Aldebaran adalah sebuah musibah. Hingga ia bertemu dengan Sal Pradipa, seseora...